PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan pondasi pembangunan suatu bangsa, jika
pendidikan tidak berjalan dengan semestinya maka pembangunan tidak akan
terlaksana, atau bahkan dapat mengakibatkan krisis multidimensi yang
berkepanjangan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan media
pembangunan yang memiliki posisi strategis dalam mengintegrasikan dan
mengatur sub-sub sitem dalam masyarakat. Pendidikan juga merupakan
sarana transformasi ilmu pengetahuan, yang meliputi sosialisasi ilmu
pengetahuan, pengembangan ilmu pengetahuan, sosialisasi norma dan nilai
dalam masyarakat, baik budaya, agama, maupun idiologi.
Indonesia merupakan negara dunia ketiga yang sedang melakukan
pembangunan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar
1945, namun dalam perjalanannya timbul berbagai penyimpangan dan
masalah-masalah didalam proses perealisasiannya. Kualitas pendidikan di
Indonesia saat ini dapat dikatakan masih sangat rendah, hal ini
dibuktikan dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari
peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kapita
yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia semakin
menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan
ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Masalah pendidikan di indonesia bukan saja karena kualitas
intelektualitas yang masih rendah, tetapi juga diperparah dengan
degradasi moral generasi muda yang masih belum bisa menyaring
perkembangan globalisasi. Tawuran antar pelajar, free sex,
narkoba, dan tindakan asusila maupun pelanggaran hukum banyak mewarnai
pendidikan Indonesia, bahkan hal ini dapat kita saksikan baik secara
langsung maupun dimedia massa. Banyak masyarakat mempertanyakan kinerja
pendidikan dengan pandangan sekeptis, namun kita juga tidak bisa
menyalahkan lembaga pendidikan karena sebagai masyarakat kita juga
memiliki andil yang besar dalam proses pendidikan.
Berbicara mengenai masalah-masalah pendidikan tentunya tiada
habisnya, namun kita sebagai generasi muda harus memiliki sikap kritis
dalam membaca realitas yang sedang terjadi dalam masyarakat, dan
mungupayakan pencarian solusi terhadap permasalahan tersebut. Upaya
perbaikan tersebut sangat diperlukan dalam rangka membangun intelektual
yang mandiri dalam pembangunan dan bersaing dalam masyarakat global.
Bukan saja dalam membangun kecerdasan intelektual tetapi juga membangun
kecerdasan emosional dan spiritual generasi muda.
B. Rumusan Masalah
- Masalah apa saja yang dapat timbul dalam proses perealisasian pendidikan?
- Dimanakah posisi masyarakat dan orang tua dalam proses pendidikan?
- Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong timbulnya masalah dalam pendidikan?
- Bagaimanakah cara mengatasi dan meminimalisir masalah-masalah dalam pendidikan?
C. Tujuan Dibuatnya Makalah
Adapun tujuan penulis membuat makalah sosiologi pendidikan yang
bertemakan “ Problematika pendidikan dan dampaknya terhadap generasi
muda” adalah:
- Menjelaskan permasalahan pendidikan dan upaya-upaya untuk menanggulanginya
- Menjadi sarana belajar bagi mahasiswa dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan yang ada didalam masyarakat
- Sebagai instrumen belajar mahasiswa dalam menganalisis relitas dengan menggunakan teori-teori sosial
- Sebagai sarana dalam mempelajari masalah pendidikan secara mendalam dengan melibatkan struktur sang saling terkait.
D. Landasan Teori
Teori yang kami gunakan dalam menganalisis makalah ini adalah teori
fungsional struktural, dimana makalah ini akan memaparkan masalah
pendidikan secara sistematis dan saling berkaitan antara
subsistem-subsistem dalam masyarakat. Pendidikan memiliki berbagai
keterkaitan dengan sitem-sistem lainnya misalnya ekonomi, politik dan
linkungan sosial. Sehingga didalam pengkajiannya membutuhkan berbagai
pisau analisis yang multidimensional baik dari segi kebijakan kurikulum,
output pendidikan, konsep pengajaran dan sebagainya.
Namun dalam mempertajam analis kami cenderung mengutamakan pendekatan
teori konflik dan teori kritis yang dapat menelaah pendidikan secara
mendalam. Dalam pengkajian permasalahan pendidikan lebih cocok
menggunakan perspektif kritis ataupun konflik, dikarenakan pendekatan
ini lebih cenderung memaparkan masalah-masalah pendidikan secara lebih
mendalam dan menyeluruh.
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Gambaran Umum Permasalahan Pendidikan Indonesia
Pendidikan merupakan suatu diskursus yang terpenting dan menempati
posisis sentral dalam bidang kajian sosiologi. Dalam sosiologi
pendidikan inilah kemudian dibahas berbagai masalah tentang pendidikan
dengan tujuan mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan
kepribadian individu agar lebih baik (Nasution, 1983). Pendidikan bukan
hanya terpusat pada instansi pendidikan saja melainkan juga pada tri
pusat pendidikan yaitu pendidikan dalam keluarga, pendidikan dilembaga
pendidikan formal (sekolah dan kampus/universitas) serta pendidikan
dimasayarakat.[1]
Namun dalam makalah ini kami lebih mengutamakan pengkajian lembaga
pendidikan formal. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pelebaran
pokok pembahasan, selain itu pada umumnya lembaga pendidikan formal
memiliki peran terbesar dalam pembentukan karakter pelajar hal ini
disebabkan oleh banyaknya waktu yang dihabiskan pelajar dalam kehidupan
sehari-harinya.
Kenakalan remaja (jevenile delinquency) bukanlah murni
disebabkan oleh kesalahan pelajar atau siswa, melainkan kenakalan
remaja muncul dari permasalah multidimensional dalam diri pendidikan itu
sendiri. Asumsi dasarnya adalah individu merupakan representasi dari
masyarakat, sebagaimana konsep fakta sosial Durkheim.
Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak,
yang dapat berlaku pada diri individu sebagaimana sebuah paksaan
ekternal; atau bisa dikatakan fakta sosial adalah keseluruhan cara
bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama
keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individu” (Durkheim,
1895/1982:13).[2]
Dari pernyataan Durkheim itu dapat kita tarik kesimpulan bahwa,
tejadinya menyimpangan kepribadian pelajar dari norma-norma masyarakat
tersebut bersumber dari pengaruh eksternal yang terjadi diluar individu (
pranata, institusi, sosial dan lain sebagainya). Sehingga dapat
dikatakan penyimpangan dalam diri pelajar ataupun generasi merupakan
hanyalah akibat dan bukanlah pokok penyebab atau persoalan. Sehingga
dalam menganalisis pendididkan diperlukan kesatuan global dari
sistem-sistem dalam masyarakat.
Terdapat pelbagai penyebab munculnya masalah pendidikan yang mendasar didalam pendidikan indonesia antara lain:
- 1. Minimnya Sarana dan Prasarana Penunjang Pendidikan
Sampai saat ini 88,8 persen sekolah di indonesia mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal.[3]
Pada pendidikan dasar hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru,
bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku
pelajaran dan pengayaan, serta buku referensi masih minim. Pada jenjang
Sekolah Dasar (SD) baru 3,29% dari 146.904 yang masuk kategori sekolah
standar nasional, 51,71% katekori standar minimal dan 44,84% dibawah
standar pendidikan minimal. pada jenjang SMP 28,41% dari 34.185, 44,45%
berstandar minimal dan 26% tidak memenuhi standar pelayanan minimal. Hal
tersebut membuktikan bahwa pendidikan di indonesia tidak terpenuhi
sarana prasarananya.
Dari data diatas menggabarkan bagaimana lembaga pendidikan kurang
memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan diri. Akibat
tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar mengalokasikan
kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif, misalnya
tawuran antar pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya
meresahkan masyarakat. Setidaknya ada dua dampak dari kurangnya sarana
dan prasaranan pendidikan yaitu:
- a. Rendahnya Mutu Output Pendidikan
Kurangnya sarana pendidikan ini berdampak pada rendahnya output
pendidikan itu sendiri, sebab di era globalisasi ini diperlukan
transormasi pendidikan teknologi yang membutuhkan sarana dan prasaranan
yang sangat kompleks agar dapat bersaing dengan pasar global. Minimnya
sarana ini menyebabkan generasi muda hanya belajar secara teoretis tanpa
wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar dalam angan-angan
yang keluar dari realitas yang sesungguhnya.
Ironisnya pemerintah kurang mendukung bahkan cenderung membiarkan
tercukupinya fasilitas pendidikan. Kerusakan sekolah, laboratorium, dan
ketiadaan fasilitas penunjang pendidikan lainnya menyebabkan gagalnya
sosialisasi pendidikan berbasis teknologi ini. Kerusakan sekolah
merupakan masalah klasik yang cenderung dibiarkan berlarut-larut dan
celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi permainan politik disaat
pemilu saja.
- b. Kenakalan Remaja dan Perilaku yang Menyimpang
Secara psikologis pelajar adalah masa transisi dari remaja menuju
kedewasaan diamana didalamnya terjadi gejolak-gejolak batin dan luapan
ekspresi kretivitas yang sagat tinggi. Jika lupan-luapan dan pencarian
jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan cenderung
mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk
negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya
laboratorium, perpustakaan, ataupun peralatan edukatif saja, tetapi
juga sarana-sarana olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri
mereka.
Kehidupan remaja diera modern ini tentulah berbeda dengan kehidupan
pada generasi sebelumnya, pelajar saat ini membutuhkan ruang gerak
dalam pengembangaan kematangan emosi misalanya saja grup band, sepak
bola, basket, otimotif dan sebagainya. Jika hal ini tidak dipenuhi
ataupun dihambat maka akan cenderung membuat perkumpulan-perkumpulaan
yang cenderung menyalahi norma.
Di indonesia sendiri masih banyak sekolah ataupun kampus yang tidak
memiliki sarana penyaluran emosi ini, di UIN Sunan Kalijaga misalnya
hanya terdapat tenis indor, lapangan futsal itupun tersedia digunakan
seara inklusif untuk ornag-orang tertentu saja.
- 2. Kontradiksi-Kontradiksi dan Kakunya Kurikulum Pendidikan
Dalam rangka mengatur dan mengendalikan pendidikan yang sangat
kompleks dibutuhkan suatu batasan dan aturan dalam mengawasi mutu
pendidikan suatu negara. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang
membutuhkan data yang tepat mengenai tingkat mutu pendidikan sebagai
alat untuk merancang arah pembangunan bangsa. Sehingga pemerintah
berusaha meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan standar-standar
pendidikan agar dapat mempermudah negara dalam melakukan pembangunan.
Kurikulum pendidikan merupakan salah satu realisasi penjamin
berjalannya mutu pendidikan. kurikulum merupakan program dan isi dari
suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses akumulasi
pengetahuan antar generasi dalam masyarakat.[4]
Maksud baik pemerintah ini ternyata kurang sesuai dengan kultur dan
perkembangan zaman, dikarenakan kurikulum yang sekarang dijalankan masih
berbasis pada langkah teoretis dan cenderung mengesampingkan nilai
praksis pendidikan. Kurikulum yang sekarang digunakan dalam proses
belajar tidak jauh berbeda dengan zaman penjajahan belanda, dimana
proses pendidikannya hanyalah dalam langkah teoretis dan cenderung
mencetak tenaga kerja.
Standar pendidikan berupa Ujian Nasional (UN) dengan maksud
menyamaratakan nilai kemajuan dari sabang sampai merauke ini justru
menimbulkan ketidak adilan baru, di daerah timur Indonesia yang sangat
jauh dari standar minimal itu dipaksa mengikuti standar jakarta ataupun
jawa yang notabene lebih memiliki sarana pendidikan. Belum lagi
kecurangan-kecurangan pendidikan dalam ujian nasional. Penentuan
kelulusan yang hanya ditentukan waktu kurang dari satu minggu mendapat
banyak kecaman dari masyarakat, dengan alasan pemaksaan nilai tersebut
bukanlah ukuran kemajuan pendidikan justru menimbulkan tekanan batin dan
kecurangan-kecurangan dalam pendidikan.
Kurikulum pendidikan indonesia kurang mengajarkan sikap kritis dan
kreatif dan cenderung bersifat mendoktrin pelajar. Selain itu
kurikulumnya lebih bersifat mencetak pekerja daripada menumbuhkan
pembuat pekerjaan (interprener). Hal itu dibuktikan dengan superioritas
guru terhadap pelajar, sehingga proses belajar bukannya transformasi
melainkan doktrinasi.
Dampak yang paling nyata dari rancun dan kakunya kurikulum pendidikan
ini adalah pengangguran terdidik yang semakin meningkat. Menurut data
??. hal ini mengindikasikan bukanlah transformasi ilmu melainkan
doktrianasi ilmu
- 3. Pendeskreditan Moralitas
Pendidikan moralitas merupakan suatu hal yang sangat pendting dalam
mendukung pembanguanan suatu bangsa sebagai alat untuk mengimbangi
globalitas dan degradasi norma dalam masyarakat. Bahkan Durkheim
mengkaji moralitas sebagai kajian pokoknya. Moralitas tentunya tidak
akan hilang dari masyarakat melainkan moralitas hanya berubah dari suatu
bentuk kebentuk lainnya, namun jika bentuk tersebut kacau maka akan
cenderung menghambat perkembangan masyarakat.
Dalam perjalanannya banyak kasus moralitas dalam pendidikan
indonesia, kasus kekerasan iini tidak hanya dilakukan sesama murid
ironisnya guru juga melakukan kekerasan secara fisik kepada murid
sebaimana diberitakan dimedia massa. Tentunya kekerasan ini mengganggu
perkembangan secara psikologis pelajar dan mendorong legalisasi
kriminalitas dan kekerasan kepada siswa yang. Misalnya saja kasus IPDN,
dengan alasan meningkatkan disiplin senior diberi kewenangan untuk
menyiksa juniornya yang telah menyebabkan banyak hilangnya nyawa seperti
klif muntu. Sehingga pendidikan moral, baik menggunakan instrumen agama
ataupun sosialisasi moralitas seperti menanamkan sifat disiplin, jujur,
kreatif, dan sebagainya secara partisipatif sangat diperlukan.
- 4. Liberalisasi Pendidikan
Jika kita melihat sejarah kebelakang, sebenarnya liberalisme
merupakan tahap perkembangan lanjut dari penjajahan negara-negara maju
kepada negara dunia ketiga. Dalam sejarah domonasi eksploitasi ini
dibagi dalam tiga fase. Fase pertama disebut dengan masa kolonialisme
yang ditandai dengan ekspansi secara fisik kapitalisme di eropa untuk
memastikan perolehan bahan baku. Fase kedua disebut masa neokolonialisme
dimana penjajah tidak lagi mencengkram secara fisik melainkan secara
substantif melalui teori dan proses perubahan sosial, yaitu dengan
mendekte atau mengintervensi kebijakan ekonomi, sosial dan politik yang
cenderung merugikan negara bekas koloni. Fase yang ketiga adalah masa
liberalisasi yaitu dengan memberlakukan perdagangan bebas dalam lingkup
global tanpa melihat kondisi negara berkembang yang masih buta
teknologi, sehingga liberalisasi cenderung menguntungkan negara-negara
maju. Perkawinan antara globalisasi dan liberalisasi ini menimbulkan
monopoli-monopoli perusahan besar TNC (Trans Nasional Coorporation) TMC
(Trans Multinational Coorporations).
Ironisnya bukan hanya ekonomi saja yang mengalami liberalisasi,
kesehatan bahkan pendidikan tidak luput dari liberalisasi yang menjurus
pada komersialisasi pendidikan. Dengan landasan mengikuti “Konsesus
Washington” pemerintah membiarkan dan melepas tanggung jawab sebagai
penjamin hak memperoleh pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD
1945.
Bentuk pelepasan tanggung jawab ini dapat dilihat dalam peraturan
presiden 1ndonesia no 77 tahun 2007, tentang Daftar Bidang Usaha yang
Tertup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Dibidang
Penanaman Modal atau biasa disebut BHP pendidikan (Badan Hukum
Pendidikan). Dalam peraturan disebutkan bahwa pendidikan dasar,
menengah, pensisikan tinggi dan pendidikan nornformal dapat dimasuki
oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal maksimal 49 persen.
Ini indikasi jelas bahwa telah terjadi komersialisasi pendidikan sebagai
komunitas dagang atas nama liberalisasi.[5]
Liberalisasi pendidikan tanpa melihat kondisi objektif masyarakat
indonesia yang sebagaian besar tidak miskin ini, justru menjerumuskan
rakyat kepada kebodohan. Pendidikan tak ubahnya menjadi sarana
mobilisasi dalam merebutkan kekayaan dan mempertahankan status quo bagi
orang-orang yang kaya. Akibat liberalisasi pendidikan ini tentunya
rakyat miskin tidak mampu membiyayai pendidikan, sehingga dapat dikatan
liberalisasi dan sahamisasi pendidikan ini adalah suatu bentuk kebijakan
pembodohan massal terhadap rakyat. Lalu mau dikemanakan masyarakat
miskin jika pendidikan semakin mahal?.
- B. Wacana Reformasi Pendidikan
Reformasi pendidikan merupakan upaya dalam memperbaiki dan
mengembalikan fungsi pendidikan sebagai mestinya. Jika pendidikan tidak
segara direformasikan maka akan memperburuk kualitas pendidikan dan
akhirnya dapat menyebabkan terbengkalainya pembangunan. Untuk
mereformasi pendidikan diperlukan suatu sistem yang kritis konstruktif,
terbuka, dan emansipatif. Pendidikan kritis merupakan solusi terbaik
dalam memperbaiki pendidikan, lalu kemudian timbul pertanyaan kenapa
harus pendidikan kritis! karena pendidikan kritis bertujuan untuk
mengaitkan antara teori dan praksis serta memanusiakan manusia.
Dalam hal ini tentunya kita tidak boleh terjebak pada idiologi
marxisme, dalam mengkonstruksi pendidikan kritis kita harus membebaskan
diri dari segala kepentingan, dan lebih mengutamakan kesejahteraan
bersama. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam memperbaiki
anomali-anomali pendidikan ini antaralain:
- 1. Meningkatkan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Dalam rangka meningkatkan output pendidikan tentunya kita harus
menaikan cost (harga), menaikkan harga disini maksudnya adalah
meningkatkan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Adapun sarana
tersebut meliputi sarana fisik dan non fisik.
- Sarana fisik
Pemenuhan sarana fisik sekolahan ini meliputi pembanguan gedung
sekolahan, laboratorium, perpustakaan, sarana-sarana olah raga, dan
fsilitas pendukung lainnya. Dalam hal ini tentunya pemerintah memegang
tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan ini, karena pemerintah
berkepentingan dalam memajukan pembangunan nasiaonal. Jika sarana
belajar ini telah terpenuhi tentunya akan semakin memudahkan
transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Sarana non fisik
Sarana non fisik ini diibaratkan soft ware dalam komputer, jika soft
ware ini dapat mengoprasikan perangkat komputer dengan baik maka
pekerjaan akan cepat selesai. Begitu juga dalam pendidikan jika sistem
dan pengajarnya bermutu maka akan mempercepat pembangunan nasional. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara:
- Peningkatan kualitas guru
Kualitas guru harus ditekankan demi berjalannya pendidikan itu
sendiri, tugas guru adalah merangsang kreativitas dan memberi pengajaran
secara fleksibel, artinya berkedudukan seperti siswa yang belajar tidak
ada patron client. Peningkatan mutu ini bukan hanya pada intelektual
guru saja, melainkan juga mengembangkan psikologis guru itu sendiri
misalnya dengan memahami karakteristik siswa, psikologi perkembangan dan
sebagainya.
Dengan adanya peningkatan ini tentunnya akan berdampak pada
membaiknya output pendidikan. Dikarenakan guru dapat menempatkan dirinya
sebagaimana mestinya dan bersifat fleksibel. Kenakalan remaja biasanya
terjadi justru karena prilaku guru itu sendiri misalnya melakukan
hukuman fisik kepada siswa ataupun penekanan psikologis.
- Pembentukan lembaga studi mandiri
Pembentukan lembaga studi mandiri ini berfungsi sebagai wadah
pengembangan kpribadian siswa. Di kampus UIN misalnya jurun sosiologi
belum memiliki lembaga penelitian dan lembaga diskusi mahasiswa, adapun
lembaga diskusi resminya telah lama mati karena tidak adanya regenerasi
yang baik. Jika lembaga studi ini dapat dibentuk tentunnya akan
memperbaiki kualitas fakultas maupun menambah pengalaman mahasiswa.
- 2. Reformasi Kurikulum Pendidikan
Kurikulum merupakan jiwa dari lembaga pendidikan, jika dalam
kurikulum terdapat banyak penyimpangan dan kontradiksi-kontradiksi
tentunya akan merusak citra pendidikan itu sendiri. Pengembangan
kurikulum diharuskan sesuai dengan kultur masyarakat artinya tidak
begitu saja menelan mentah-mentah teori pendidikan barat kedalam
pendidikan indonesia. Negeri jepang misalnya walaupun mempelajari bahan
ajaran Barat namun mereka menyesuaikan dengan kultur dalam masyarakat.
Dalam kurikulum ini harusnya mengutamakan keadilan dan kesetaraan,
tidak ada pengelompokan berdasarkan suku, agama, maupun
golongan-golongan. Pendidikan merupakan hak dasar bagi masyarakat
sebgaimana diamanatkan oleh UUD 1945, jadi dalam masalah biaya tentunya
negara mempunyai kewajiban dalam pendanaan pendidikan. Anggaran
Perencanaan Belanja Negara 20% untuk pendidikan harus diawasi dan
direalisasikan perwujudannya sehingga bukan hanya menjadi wacana politik
saja.
- Mewujudkan pendidikan inklusif dan anti diskriminasi
Pendidikan yang saat ini masih terlibat dengan berbagai diskriminasi
dan ekskluisasi terhadap pelajar. Sehingga kadangkala masyarakat
memandang bahwa pendidikan hanyalah sebagai alat untuk mobilitas sosial
dan mempertahankan satatus quo orang-orang kaya. Anak-anak pemilik modal
lebih mendapatkan keistimewaan fasilitas dari pada masyarakat miskin
sehingga timbul pesimisme terhadap netralitas pendidikan.
Pendidikan inklusif didiasarkan pada beberapa prinsip dasar antara lain:
Pertama, setiap orang secara inheren punya hak terhadap pendidikan
atas dasar kesamaan kesempatan sebagaimana yang diamanatkan UU, jadi
tidakada alasan sekolah untuk menolak pelajar yang miskin. Kedua, tidak
boleh ada siswa yang tereksklusi dan terdiskriminasi dalam pendidikan
dengan berbagai alasan apapun, baik dari ras, warna kulit, gender,
bahasa, agama, politik, difabelitas, dan lain sebagainya. Ketiga, semua
anak pada dasarnya dapat belajar dan mendapat manfaat dari pendidikan,
sehingga pendidikan bertugas mengembangkan potensi otak anak. Keempat,
sarana dan prasarana disediakan pemerintah dari pajak. Kelima, pandangan
dan opini peserta didik harus didengarkan dan diperhatikan (demokrasi
pendidikan). Keenam, perbadaan individu merupakan suatu anugrah,
sehingga guru harus mencari pendekatan karakteristik dan kompetensi
peserta didik. Ketujuh, pendidikan bukanlah asimilasi tetapi apresiasi
perbedaan, adupun pelaksanaannya dilakukan secara kontinyu bukannya
instan.
Selain itu pendidikan juga harus lebih mengutamakan langkah praksis
dengan mencetak generasi muda yang mandiri dan dapat mengolah
sumberdaya alam serta memproduksi lapangan kerja bukan hanya mencetak
mental pekerja. Kesadaran sosial generasi muda juga perlu ditingkatkan
sebagai wujud pengabdian pendidikan terhadap masyarakat. Mewujudkan
pendidikan yang memanusiakan manusia bukanlah mimpi, jika dilakukan
secara kontinyu dan intensif.
BAB III
KESIMPULAN
Tejadinya menyimpangan kepribadian pelajar dari norma-norma
masyarakat bukanlah murni disebabkan oleh kesalahan pelajar atau siswa,
melainkan penyimpangan ini muncul dari permasalah multidimensional
dalam diri pendidikan itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan penyimpangan
dalam diri pelajar ataupun generasi muda, hanyalah sebagian dampak
kecil dari berbagai masalah dalam dunia pendidikan dan bukanlah pokok
penyebab atau persoalan. Sehingga dalam menganalisis pendididkan
diperlukan kesatuan global dari sistem-sistem dalam masyarakat.
Masalah pendidikan di Indonesia bukan saja karena kualitas
intelektualitas yang masih rendah, tetapi juga diperparah dengan
degradasi moral generasi muda yang masih belum bisa menyaring
perkembangan globalisasi. Tawuran antar pelajar, free sex,
narkoba, dan tindakan asusila maupun pelanggaran hukum banyak mewarnai
pendidikan Indonesia, bahkan hal ini dapat kita saksikan baik secara
langsung maupun dimedia massa. Namun semua itu bukanlah alasan bagi kita
untuk cenderung menyalahkan pendidikan, karena kita sendiri memiliki
tanggung jawab yang besar dalam proses pendidikan.
Dalam memperbaiki maslah pendidikan itu dapat dilakukan dengan cara
mereformasi kurikulum yang lebih merakyat, menyediakan sarana,
prasarana, menjalankan pendidikan antri diskriminasi, dan sebaginya.
Selain itu pendidikan juga diharapkan melaksanakan tugasnya yaitu,
memperjuankan masayarakat dari penindasan dengan menanamkan sikap sadar
sosial dan membangun mentalitas kemandirian anak didik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin dkk. 2006. Sosiologi Reflektif. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Ritzer, George. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penerjemah, alimandan. Jakarta: Rajawali press
Kompas, Rabu 23 Maret 2010, 88,8 persen sekolah tak lampaui mutu standar
A. Ferry T. Indriarto. 2007. Kurikulum Identitas Kerakyatan dalam Kurikulum yang Mencerdaskan, Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. Jakarta: Kompas
Nuryanto Agus. 2010. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book
Maragustam, 2010, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna ; Filsafat Pendidiakan. Yogyakarta : Nuha Litera
[1] Amin Abdullah dkk, Sosiologi Reflektif ( Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006). Hlm 107
[2] George Ritzer dan Douglas, Teori Sosiologi (New York: McGraw-Hill, 2004). 81
[3] Kompas, Rabu 23 Maret 2010, 88,8 persen sekolah tak lampaui mutu standar
[4] A. Ferry T. Indriarto, Kurikulum Identitas Kerakyatan dalam Kurikulum yang Mencerdaskan, Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif (jakarta: Kompas 2007), hlm 108
[5] M Agus Nuryanto Mazhab Pendidikan Kritis (Yogyakarta: Resist Book, 2010). Hal. 73