Judul
diatas adalah judul sebuah buku baru terbitan tanggal 13 Maret 2008
yang di tulis oleh Munir Che Anam. buku ini sebenarnya suatu bentuk keprihatinan dari
seorang cendekiawan muslim bahwasanya pemikiran-pemikiran Marx selalu
diidentikkan dengan pemikiran yang keluar dari frame keislaman , namun
pada kenyataannya jauh sebelum timbulnya pemikiran Marx Kanjeng Nabi
Muhammad telah mereposisikan dakwahnya dalam bingkai bebas dari
penindasan kaum-kaum kapitalis dan borjuis mekkah pada jaman itu.
Berikut adalah Sekelumit Peresensi Buku Tersebut, semoga buku ini
dapat menjadi tambahan khasanah kita dalam beragama dan dalam
berkehidupan sehingga timbul suatu masyarakat madaniah atau civil
society tanpa adanya kesenjangan ekonomi terutama di negara Republik
Indonesia…
Kemiskinan, eksploitasi ekonomi, feodalisme dan perbudakan telah
menyebabkan stratifikasi sosial yang tidak adil, terutama bagi
masyarakat proletar. Para kapitalis dan golongan borjuis lainnya, secara
terstruktur menindas golongan lemah, mereka memanfaatkan golongan
orang-orang yang lemah ini untuk mengeruk keuntungannya sendiri.
Sehingga kemiskinan yang terstruktur ini tak pernah reda dan selalu
mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Tindakan pengeskploitasian
tenaga orang-orang miskin yang dibayar rendah ini kemudian menimbulkan
gerakan perlawanan yang menuntut keadilan dan persamaan hak di antara
sesama warga negara.
Kehadiran Karl Marx di tengah-tengah sibuknya pengeksploitasian
ekonomi atas orang-orang miskin ini, memberikan angin perubahan bagi
mereka. Maka, kemudian ajaran sosialisme yang dibawa Marx, pada satu
sisi, mendapat sambutan yang menggembirakan dari para kaum proletar.
Sementara, pada sisi yang lain, terutama bagi para kapitalis, kemuculan
Marx di tengah-tengah kaum miskin ini merupakan sebuah ancaman besar
yang menawarkan nasib suram atas masa depan mereka.
Sosialisme yang digagas Marx mencoba untuk mengangkat derajat
orang-orang miskin yang tertindas dan mendirikan masyarakat egaliter di
tengah-tengah gempuran pengaruh kapitalisme Barat. Ajaran sosialismenya
mencoba untuk menghapuskan sistem stratifikasi sosial di tengah-tengah
masyarakat yang selama ini hanya menguntungkan para kaum
borjuis-kapitalis dan merugikan kaum miskin.
Bahkan, hingga saat ini, sosialisme yang diperkenalkan Marx masih
memiliki posisi yang sangat dominan di beberapa wilayah negara di
belahan dunia, yang meskipun pada Perang Dunia II telah dimenangkan
ideologi demokrasi yang dibawa Amerika Serikat dan para sekutunya yang
merupakan kaum-kaum kapitalis.
Berkaca pada Indonesia sendiri yang menganut Demokrasi Pancasila,
pengaruh ajaran Marx pernah menjadi sebuah kekuatan yang sangat penting,
yang dipelopori Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan, presiden
pertama Indonesia Soekarno, disinyalir memiliki kedekatan tersendiri
dengan kalangan komunis, yang kemudian dia rintis untuk mencoba
menggabungkan tiga pemikiran kenegaraan yang berkembang di Indonesia
saat itu, yakni paham Nasionalis, Agamis dan Komunis ke dalam satu
kekuatan ideologi baru yang kemudian lebih dikenal dengan Nasakom.
Dalam pandangan Islam, sosialisme yang diusung Marx dengan ajaran
persamaan kelas ini, pada dasarnya tidak memiliki perbedaan pandangan
yang cukup berarti dengan ajaran yang dibawa Rasulullah Muhammad.
Menurut Hasan Hanafi, dalam memberikan pengertian masyarakat tanpa kelas
ini, mengatakan bahwa masyarakat tanpa kelas atau egaliter, yang dalam
istilah Marx adalah sosialisme, yakni kehidupan masyarakat yang
menempatkan semua anggota warganya pada posisi yang setara, tidak ada
orang yang kuat, superior dan inferior, penindas dan tertindas. (Hasan
Hanafi, Islam in the Modern World, Volume II)
Dalam catatan sejarah, penyebaran Islam awal di Mekah, sebelum
Muhammad hijrah ke Madinah, tercatat bahwa masyarakat Mekah yang
mayoritas para hartawan/kapitalis pada saat itu, menolak agama baru yang
dibawa Muhammad dengan alasan karena lebih adanya ketakutan terhadap
ajaran egalitarian yang ditawarkan. Persoalan yang timbul antara
kelompok elit Mekah dengan Muhamad, sebenarnya bukan seperti yang banyak
kita pahami selama ini, yakni hanyalah persoalan keyakinan yang
diwariskan nenek moyang mereka. Karena, pada dasarnya, mereka mengakui
adanya Allah yang telah memerintahkan Nabi Ibrahim dan Ismail untuk
membangun Kakbah, bahkan mereka sangat menghormati kesuciannya, dan
melakukan tawaf di sekelilingnya. Tetapi, penolakan mereka atas ajaran
Muhammad, terlebih pada persoalan yang bersumber pada ketakutan terhadap
konsekuensi sosial ekonomi, dari ajaran Muhammad itu sendiri, yang
melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta,
penimbunan dan pemborosan serta perbudakan. (HR. Abu Dawud).
Inilah karakteristik sosialisme Islam yang terwakili oleh hadirnya
para nabi yang memiliki tujuan untuk membebaskan kaum lemah dan
tertindas, memproklamasikan kebenaran, membangun orde-orde sosial atas
dasar kesamaan hak, keadilan sosial, dan persaudaraan. (halaman: 137).
Dengan demikian, Muhammad hadir di tengah masyarakat bukan sekedar
mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang dibawanya. Namun,
Muhammad juga memobilisasi dan memimpin masyarakat untuk melawan
ketimpangan sosial. Dalam iklim masyarakat kapitalistik-eksploitatif,
Muhammad bersama para pengikutnya kaum tertindas berjuang untuk
menyuarakan persamaan, persaudaraan, dan keadilan.
Islam sesunguhnya telah mengajarkan tentang penghapusan kelas-kelas
sosial 1200 tahun sebelum Marx mengangkatnya ke permukaan, yang kemudian
dikenal dengan sosialisme. Dalam sejaran Islam, Abu Zar adalah salah
seorang tokoh pencetus pemikiran sosialis Islam periode Muhammad.
Muhammad dan Marx adalah ‘nabi’ bagi para pengikutnya masing-masing.
Keduanya sama-sama mengajarkan sosialisme dan melawan segala bentuk
kapitalisme. Dalam ajaran Islam, derajat seseorang tidak diukur
berdasarkan tigginya stratifikasi sosial di masyarakatnya. Tetapi,
keimanan seseoranglah yang manjadi barometer tinginya derajat seseorang
di hadapan Tuhan. Maka, tak heran jika pangikut Muhammad pada periode
Mekah lebih banyak diikuti orang-orang dari golongan stratifikasi sosial
yang paling rendah, seperti orang-orang miskin dan para budak yang
menjadi ajang penindasan bagi para kapitalis Mekah.
Bertitik tolak pada persoalan di atas, buku yang setebal 289 halaman
ini mencoba untuk memberikan pemahaman serta analisis mengenai
ajaran-ajaran yang dibawa Muhammad dan Marx tentang masyarakat tanpa
kelas. Setidaknya, dengan hadirnya buku ini, akan lebih dapat memahami
bahwa sosialisme yang dibawa Marx telah lebih dulu diserukan Muhammad.
Dan, Marx hanyalah penerus perjuangan Muhammad dalam menghapuskan
stratifikasi sosial yang hanya menguntungkan kaum kapital.
sumber : (www.nu.or.id)