Ilmu merupakan sebuah hakikat yang tidak akan lepas dari manusia,
sifat manusia yang ingin selalu tahu, heran, kagum, selalu ingin lebih
baik, dan sebagainya mendorong manusia untuk mencari jawaban-jawaban
dari realitas yang ada. Filsafat merupakan wadah dalam mencari Ilmu
secara sistematis pertama di Dunia, sebagimana sejarah filsafat Yunani
yang kemudian melahirkan segala macam ilmu pengetahuan, baik itu
biologi, fisika, kimia, ekonomi, politik, sosiologi, psikologi, dan
ilmu-ilmu lainnya.
Didalam perjalannannya awalnya ilmu berdampingan dengan kehidupan,
artinya tujuan akhir dari ilmu pengetahuan adalah “Cinta Kebijakan”
dalam arti tujuan akhirnya adalah kemaslahatan manusia itu sendiri.
Namun saat ini ilmu berjalan sendiri, seolah telah terjadi dikotomi yang
mendalam antara ilmu dan kehidupan manusia, khususnya setelah filsafat
positivisme Comte diterima secara umum oleh madzhab ilmu pengetahuan
diseluru dunia. Ilmu pengetahuan dituntut untuk melepaskan kepentingan
kepentingan-kepentingan yang terselubung dalam ilmu pengetahuan,
pengetahuan harus membangun free value dalam mencari ilmu pengetahuan.
Dalam kegundahan hati saya selalu bertanya-tanya, dan saya belum bisa
mengintegrasikan aspek keintelektualan dalam suatu wujud yang praksis,
dalam diskusi saya dengan teman saya belum bisa menemukan jawaban atas
pertanyaan tersebut. Bagaimanakah cara mengintegrasikan antara ilmu
pengetahuan dan realitas kehidupan yang ada? Pertanyaan tersebut selalu
membayangi kehidupan saya, seolah-olah pertanyaan saya tersebut harus
segera terjawab, karena percumah saja ketika saya telah menguasai segala
aspek pengetahuan namun belum kunjung mendapat sebuah jawaban yang
jelas.
Pada dasarnya ilmu social merupakan ilmu yang penuh dengan kegiatan
abstrak yang masing-masing memiliki karakterdalam membangun pola piker
manusia. Ilmu social tidaklah seperti ilmu eksak yang langsung dapat
dinikmati menjadi suatu barang (things), ilmu social perlu berbagai
abstraksi untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Sejarah pergerakan
peradaban adalah sejarah social dan sejarah teknologi masing-masing
memiliki korelasi yang saling membangun satu dengan yang lainnya,
berkembangnya filsafat membuka pemikiran manusia untuk melakukan
perbaikan dalam berbagai hal baik dalam politik, social, keagamaan,
budaya, yang berdapak pada berkembangnya alat produksi yang berimplikasi
pada peningkatan teknologi.
Lalu bagaimanakah peran ilmu social dalam membangun masyarakat secara
real? Jika kita menarik sejarah kebelakang maka kita akan menemukan
berbagai konsep social filsafat yang digunakan sebagai idiologi suatu
bangsa, revolusi prancis bukanlah sekedar revolusi yang tidak secara
sengaja dibentuk tetapi revolusi tersebut memakan waktu yang cukup lama
untuk mencapai puncaknya. Feodalisme yang berkembang di prancis berupa
kediktaktoran pemerintah yang bersikap otoriter terhadap rakyat yang
juga merupakan hasil perselingkuhan antara gereja yang cenderung
mempertahankan status quo yang berupa legitemasi penindasan
mengatasnamakan agama kemudian ditumbangkan oleh para rakyat yang
disponsori dan didorong oleh para intelektual. Di inggris revolusi
industri tidak lain hanyalah gagasan dari para intelektual social yang
mendukung perubahan kehidupan perekonomian yaitu dengan jalan
menghancurkan dominasi gereja dengan menggunakan rasionalitas dan
empirisme yang dikenalkan oleh berbagai filusuf.
Revolusi komunisme di Russia merupakan hasil pemikiran Karl Marx yang
diinterpretasikan lenin dan Stalin. Belum lagi jika kita tarik lebih
mundur lagi dizaman plato semakin banyak lagi konsep social yang
diguanakan untuk kegiatan praksis manusia. Meskipun sejarah banyak
membuktikan bahwa teori social dapat dipraksiskan dalam kehidupan namun
masih banyak terdapat pertanyaan yang dijawab, seperti perkataan dosen
politik UIN Sunan Kalijaga, Norma Permata mengatakan bahwa “spesialisasi
yang sangat dalam terhadap ilmu pengetahuan sekarang semakin gencar
dilakukan bahkan ada lelucon yang mengatakan spesialisasi dokter mata
kanan dan dokter mata kiri”. Memang diakui terdapat keuntungan yaitu
menjadikan ilmu semakin terinci karena diemban oleh para ilmuan yang
berkompeten dibidangnya, tetapi efek negatifnya adalah stagnasi ilmu
pengetahuan dan tidak bisa berkembangnya ilmu pengetahuan kesudut yang
lebih luas. Hal itu diperparah dengan ilmu pengetahuan yang cenderung
digunakan dibelakang layar sehingga para ilmuan tidak dapat
mempraksiskan sendiri teori yang dibangunnya, menurut Norma Permata,
bahkan ahli ekonomi jerman sekalipun ketika ia diberi uang sepuluh juta
umpamanya ia tidak bisa mengelola uang tersebut sesuai dengan teorinya,
ilmuan tersebut hanya bisa menjadi konsultan atau penasihat para
businessman.
Hal inilah yang menjadi dasar kebingungan saya dalam mengembangkan
konsep integrasi antara teori ilmu pengetahuan dan nilai praksis.
Dikampuspun tidak diajarkan bagaimana pengintegrasian antara imu dan
praksis ini, saya pernah menanyakan hal ini kepada dosen sosiologi
pendidikan namun jawaban yang diberikan sama sekali tidak memuaskan.
Beliau hanya menjawab pendidikan itu tidak bisa dirasakan kegunaannya
sekarang tetapi dimasa depan untuk bekerja misalnya. Saya sendiri masih
meragukan paradigma pendidikan di UIN Sunan Kalijaga yang bertekat
mengintegrasiakan antara Ilmu Sekuler dengan Ilmu Islam, mungkin hal itu
terlalu dipaksakan karena bagaimana mengintegrasikan keduanya jika
kehidupan praksis belum bisa disatukan oleh ilmu social. Hal ini mungkin
menjadi suatu diskursus yang sangat sulit dibahas untuk itu saya
mengajak pada teman-teman untuk bagaimana mengembangkan paradigma
integrasi antara ilmu dan praksi sehingga tidak hanya menjadi pergulatan
metafisik yang tiada akhirnya.
Konsep empirisme ilmu alam dapat kita jadikan sebagai inspirator untuk membangun paradigma integrasi antara ilmu dan praksis.