Dunia akademik
benar-benar terpukul. Setelah pemenjaraan sejumlah tokoh intelektualseperti
nazaruddin syamsudin, daan dimara, dan mulyana w kusumah dalam kasus korupsi di
komusi pemilihan umum (KPU). Kini sejumlah guru besar kita dalam proses menjadi
saksi pada kasus dugaan korupsi di kamous merah. Kesaksiannya pun bukan dalam
kapasitas sebagai saksi ahli. Di tempat yang lain kasus pembajakan skripsi
marak terjadi penyuapan PT Monsanto atas sejumlah pejabat Indonesia dengan
melibatkan tiga perguruan tinggi negeri (dua di Pulau Jawa dan satu di luar
Jawa). Mereka ditengarai terlibat sebagai peneliti dalam proyek kapas
transgenik yang akhirnya memberikan izin dan rekomendasi ilmiah kepada perusahaan
asal amerika serikat itu menjalankan aktifitas bisnisnya di Sulawesi Selatan.
Tawuran yang terjadi setiap saat yang melibatkan mahasiswa dengan mahasiswa,
mahasiswa dengan sopir angkutan kota, mahasiswa dengan aparat keamanan. Bahkan sampai
membakar kampus sendiri.
Praktik jual beli gelar
dan mark up beserta proyek-proyek lainnya. Gerakan mahasiswa yang bahkan (maaf)
menggauli ideolisme gerakan yang pernah dibangun oleh founding father bangsa ini. Gerakan mahasiswa dijual demi segepok materi
oleh para penggeraknya. Fakta-fakta tersebut adalah pertanda betapa rusaknya
tatanan negeri. Kampus sebagai ruang tempat kemajemukan ini diafirmasi. Di mana
nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi itu diajarkan. Kampus tempat harapan
keadilan dan kejujuran disandarkan. Kampus adalah simbol dan nilai herousme
kini tak lagi menampakkan simbol-simbol itu semua. Simbol itu mungkin sudah,
pergi entah kemana.
Di Kampus kini,
dibangun tren premanisme, dunia yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
akademik. Itu dilakukan untuk membungkam anak-anak kritis yang setiap saat bisa
melempar kritik kepada almamaternya. Lagi-lagi ini adalah perilaku tak akademik
yang tidak pantas dipelihara dunia kampus. Premanisme kampus boleh jadi hari
ini menjadi tren baru bagi penyelesaian masalah di kampus. Dunia premanisme
kampus memang sengaja dipelihara dengan menggunakan anak-anak mahasiswa untuk
membenturkannya dengan mahasiswa lain.
Fakta inilah yang
terjadi pada kasus tawuran mahasiswa beberapa hari terakhir di Universitas
Negeri Makasar (UNM). Terjadinya fenomena premanisme kampus sesungguhnya
menjadi cermin bahwa seakan tidak sah penyelesaian masalah jika tidak dilakukan
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Padahal, penyelesaian masalah seperti
tiu adalah penyelesaian masalah yang lagi-lagi tak akademis. Penyelesaian persoalan
dengan cara-cara kekerasan sekali lagi adalah bagian dari cara-cara yang tidak
berbudaya. Penyelesaian masalah mestinya dilakukan secara dialogis dengan
cara-cara yang beradab. Semua orang merasa dihargai dan diperlakukan secara
manusiawi.
Kehilangan
Identitas
Sikap hedonisme yang
melanda mahasiswa seakan memberikan trade
mark bahwa kampus saat ini tak ubahnya sebuah mall. Sebuah pasar ilmiah. Mahasiswa
datang ke kampus mengikuti mata kuliah,
membei diktatnya para dosen, lalu pulang kerymah atau ketempat kos. Itulah
siklus yang dijalaniseorang mahasiswa tradisi diskusi yang dulu menjadi ciri mahasiswa
tak pernah lagi kelihatan di kampus-kampus pun kampus menjadi tempat berkumpul
tetapi berkumpul untuk sekedar canda yang tidak memiliki makna sama sekali.
Roh kampus benar-benar
kehilangan identitas sebagai ruang ilmiah dan intelektual. Seorang mahasiswa
yang kritis tidak boleh mendapat ruang di kampus mereka karena kritisisme terpaksa tidak bisa
lulus pada suatu mata kuliah tertentu karena berseberangan pandangan dengan
dosennya. Kondisi inilah yang dikritik oleh Aslan Abidin dalam sebuah
artikelnya di harian Tribun berjudul Universitas Taturu di Indonesia Timur,
beberapa waktu lalu.
Menurut sastrawan muda
itu, bahwa kampus sejatinya adalah kamar bagi tercapainya ‘ejakulasi’ intelektual.
Tetapi kini berubah wujud menjadi forum yang hanya sekedar untuk menikmati makan
dan minum. Kesan ini lalu membangun image pubik bahwa perguruan tinggi tidak
lagi memiliki kekuatan dan tradisi intelektual yang memadai untuk melakukan
transformasi ilmu pengetahuan kepada anak didiknya.
Anda mungkin bertanya kenapa
para intelektual itu terjebak dalam dunia yang tak intelektual? Jawabannya karena
intelektual itu meninggalkan garis orbitnya. Apa garis orbitnya?. Garis orbitnya
adalah berupa nilai. Nilai inilah yang dijunjung dan dijadikan sebagai standar bertingkah laku bagi seorang
intelektual-akademisi. Ketika dia sedikit saja keluar meninggalkan nilai-nilai
ini, maka dia tak ada bedanya dengan masyarakat lain di luar kampus. Nilai-nilai
tersebut adalah kejujuran, kebenaran, pengabdian masyarakat dan objektifitas. Oleh
karena itu konsistensi dalam memegang teguh prinsip-prinsip ideal itu sangat
penting.
Jangan karena materi
dan kekuasaan kaum intelektual mengorbankan nilai-nilai idealitas. Sebab materi
dan kekuasaan merupakan godaan yang paling dahsyat membayangi kaum intelektual.
Tidak jarang orang terjebak dan lalu melacurkan diri dalam kekuasaan karena
tarikan materi yang lebih menjanjikan ketimbang berprofesi sebagai pegajar. Karena
itu pilihan menjadi seorang akademisi dan intelektual adalah pilihan sadar yang
lahir dari sebuah pemaknaan yang dalam akan arti pentingya kaum intelektual. Sehinggga
sekeras dan segencar apapun godaan itu karena kita sadar bahwa intelektual
adalah jalan dan pilihan kita, maka istiqomah pada pilihan itu.
Ejakulasi
Intelektual
Dalam keadaan seperti
itu tidak ada pilihan lain kecuali kembali membangun tradisi intelektual yang
pernah lahir di negeri ini. Dan harapan itu ada di kampus. kenapa kampus?
karena kampus merupakan tempat lahirnya kader-kader intelektual. Dari kampuslah
diharapkan muncul tokoh-tokoh bangsa yang cerdas dan visioner. Dan dari kampus
pulalah nilai-nilai kejujuran dan subjektifitas diharapkan terinternalisasi. Membudayakan
bersikap jujur, objektif, dan menghargai kebenaran adalah bagian dari upaya
membangun tradisi intelektual. Untuk sampai pada ‘ejakulasi’ intelektual maka
pendidikan harus dipandang sebagai proses bukan hasil. Sehingga mahasiswa dan
seluruh civitas akademika perguruan tinggi tidak lagi mengejar target bagaimana
mahasiswa bisa menjadi sarjana dan cepat bekerja.
Tetapi berpikir
bagaimana mahasiswa bisa mengenali fakta-fakta sosial, ekonomi dan politij
sehingga bisa melakukan analisis dan pemecahan masalah atas fakta-fakta yang
dilihatnya. ‘orgasme’ intelektual hanya akan dicapai jika terbangun budaya
intelektual yang kuat dan memadai. Budaya intelektua ini akan diraih manakala
terbangun kesadaran dalam diri mahasiswa atau dosen bahwa mereka adalah
agen-agen intelektual yang memiliki fungsi sebagai penebar kebajikan. Mereka para
intelektual harus melihat fakta-fakta sosial sebagai alat rekayasa untuk
perubahan masyarakat. Dan karena itu puncak ‘orgasme’ intelektual adalah
terjadinya transformasi sosial dari keadaan tidak adil kepada keadaan yang
berkeadilan. Dari tak akademis menjadi akademis. Wallahu A’alm Bisshowab.
Sumber : Koran Tribun Timur, 2005