Membincang
kasus korupsi tentu tidak akan ada habisnya. Sebab, korupsi merupakan
fenomena yang luar biasa. Korupsi bermula dari hal-hal kecil yang
kemudian berkembang menjadi suatu yang sangat besar. Rosihan Anwar
(2009) menilai korupsi adalah bagian dari budaya, yang sengaja
diwariskan kolonial VOC kepada penduduk di Indonesia. Maka, memberantas
korupsi terasa menyulitkan, karena ia bagian dari budaya bangsa. Senada
dengan itu, Pramoedya Ananta Toer (2002) menyebut korupsi sebagai
“Mutasi Sosial.” Korupsi diawali dari keterpaksaan yang dilakukan oleh
para pegawai kecil gara-gara tekanan ekonomi dan inflasi, gaji yang
kecil tidak mampu membiayai kehidupan keluarga. Maka, jalan pintas yang
mudah adalah melakukan korupsi.
Di Indonesia, korupsi semula tidak begitu mengenal, baik dari perspektif hukum adat, sipil maupun hukum Islam. Hukum adat (jawa), korupsi dalam bentuk upeti yang ditujukan kepada pemangku kekuasaan. Dalam hukum sipil, korupsi disebut perbuatan melawan hukum untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara. Korupsi juga disebut perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara.
Sementara dalam Islam, korupsi diidentikkan dengan pencuri, perampok, suap, menyalahgunakan wewenang, khianat, memungut cukai dan lainnya. Semua padanan kata itu tidak ada yang sama dengan korupsi, hanya saja ada illat yang sama dalam unsur-unsur tersebut. Untuk itu, kajian Islam memandang korupsi menjadi suatu yang penting. Sebab, hukuman yang selama ini ada terkesan tidak bisa membuat koruptor jera, sehingga hukuman agama bisa diberlakukan, yakni hukuman mati.
Fikih Anti Korupsi
Upaya merumuskan sebuah tatanan hukum menjadi penting untuk digali bersama. Korupsi bukan hanya pencuri biasa, perampok biasa, tetapi pencuri yang luar biasa, perampok yang luar biasa, sehingga membutuhkan penegakan hukum yang luar biasa pula. Maka wajar jika koruptor sulit dibebani sanksi hukum yang berat. Karena pada satu sisi, doktrin agama tidak memberi penekanan yang cukup berarti untuk menjerat koruptor. Hanya konon, nabi Muhammad SAW pernah menghukum orang yang menilapkan harta Negara dengan tidak dishalati sewaktu ia meninggal. Hukuman agama dengan tidak menshalati jenazah koruptor bisa terus digalakkan sebagai langkah antisipasi membentengi dari kebobrokan moral.
Hanna E Kassis dalam bukunya The Concordance of The Qur’an (1983) menafsirkan beberapa term dalam al-Qur’an sebagai kategorisasi korupsi, yakni bur, dakhal, dassa, afsada, fasada, khaba’ith dan khubuta. Secara garis besar, kata itu bermakna merusak, rusak dan kerusakan (Ahmad Khoirul Umam, 2006: 36). Tipologi ini sejalan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: 205, bahwa ”Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan (korupsi).” Kata merusak dalam al-Quran dikiaskan dengan kata dasar korupsi yang mempunyai sifat merusak. Makna merusak kemudian difahami tidak sebatas rusak secara fisik, melainkan kerusakan pada ranah sosial. Setiap kerusakan, baik terhadap alam maupun tatanan sosial merupakan pencideraan terhadap aspek keseimbangan dalam kehidupan. Dan Allah sangat membenci tindakan itu.
Berdasarkan tindakan-tindakan yang dikategorisasikan dalam hukum sipil di Indonesia dan konsep-konsep kejahatan secara umum dalam hukum Islam, maka ada tiga unsur yang bisa dinisbatkan menjadi makna korupsi. Unsur-unsur itu antara lain: adanya tasharuf (perbuatan yang bisa berarti menerima, memberi dan mengambil); adanya pengkhianatan terhadap amanat kekuasaan; dan adanya kerugian yang ditangggung oleh masyarakat luas atau publik (Bambang Widjoyanto, 2010: 127-128). Dengan kata lain, korupsi dalam Islam dimaknai dalam sebuah bentuk tasharruf yang merupakan pengkhianatan terhadap atas amanat yang diemban dan dapat merugikan publik, baik secara finansial, moral dan sosial. Jadi, korupsi merupakan tindakan yang menyalahi hukum dan merupakan pengkhianatan atas amanat serta dapat menimbulkan kerugian publik.
Korupsi yang dikiaskan dengan pencuri, karena ia telah sama-sama mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi. Definisi fikih menyebut pencuri adalah mengambil harta orang lain dari tempat yang wajar dan sembunyi-sembunyi (akhdul mal ghairu min hirzi mitslihi khifayatan). Barang yang dicuri adalah barang yang secara fisik ada wujudnya, seperti uang, barang ataupun yang lainnya, sementara korupsi tidak semata-mata berwujud fisik. Penyalahgunaan kekuasaan adalah barang yang tidak berwujud, dan pencuri tidak melakukan hal itu, sementara koruptor melakukannya. Pencuri melakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak terkait dengan amanat publik, sedangkan korupsi dilakukan secara terang-terangan dan terkait dengan amanah publik. Di samping itu, harta yang dicuri bisa saja benda milik pribadi atau juga publik, sementara harta yang dikorupsi adalah harta milik publik. Diidentikkan dengan perampokan, karena dilakukan dengan cara pemaksaan atau dilakukan secara terang-terangan.
Penyederhanaan konsep korupsi semata pada pencuri tidaklah tepat. Sebab, konsep pencuri dalam komunitas Jawa lebih dari sepuluh macam (misalnya: maling, jambret, copet, ngutil, dan lain sebagainya) yang kemudian didefinisikan kembali dalam hukum positif menjadi “barang siapa dengan sengaja mengambil barang orang lain.” Potret pencurian yang telah direduksi menjadi sebuah konstruksi bahasa, (Satjipto Rahardjo, 2010: 8).
Oleh karena semua unsur di atas ada dalam term korupsi, namun tidak lantas bisa menyimpulkan bahwa korupsi identik dalam salah satu kasus tertentu. Karena memang korupsi merupakan persoalan yang multi kompleks dan luar biasa sehingga membutuhkan cara-cara yang luar biasa. Cara-cara itu dimulai dengan berpikir kreatif dan membebaskan oleh para penegak hukum dari doktrin-doktrin, konsep, dan asas yang berlaku statis.
Korupsi sebagai kejahatan sosial dipandang lebih tepat sasaran, daripada menerima klaim bahwa korupsi sebagai kejahatan individual yang luar biasa. Masalah korupsi tidak sebatas pada persoalan boleh atau tidak, atau halal-haram, melainkan persoalan yang menyangkut kemaslahatan publik. Bahwa, menerima konsepsi korupsi sebagai kejahatan individual yang luar biasa itu iya, tetapi hal itu tidak cukup jika ingin mengentaskan soal korupsi dari akar masalah-masalahnya. Persoalan yang paling menonjol adalah perbuatan itu menyangkut domain publik, sehingga wajar dampak yang dihasilkan juga sangat membahayakan kehidupan masyarakat luas.
Konsepsi fikih anti korupsi dihadirkan bukan sebagai jalan untuk mengatakan korupsi itu baik atau buruk, kafir atau tidak. Melainkan sebagai sistem etika sosial di mana semua orang bisa menjadikan fikih anti korupsi sebagai bahan kontrol dan kritik sosial. Maka, perlu (harus) perubahan paradigmatik dalam memandang fikih. Fikih tidak hanya dilihat sebagai alat untuk mengukur kebenaran ortodoksi, tetap juga harus diartikan sebagai alat untuk membaca realitas sosial untuk kemudian mengambil sikap dan tindakan tertentu atas realitas sosial tersebut. Sehingga, fikih mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai alat untuk mengukur realitas sosial (Sosial Control) dengan ideal-ideal syarat yang berujung pada hukum halal-haram, boleh dan tidak boleh, dan sekaligus pada saat yang sama menjadi alat rekayasa sosial (Social Engineering).
Cara-cara hukum biasa seperti penegakan hukum positif terasa tidak cukup, melainkan perlu tindakan hukum yang luar biasa. Tindakan hukum yang luar biasa itu hanya ada dalam fikih. Bahwa korupsi bukan hanya pencuri biasa, perampok biasa, tetapi pencuri yang luar biasa, perampok yang luar biasa, sehingga membutuhkan penegakan hukum yang luar biasa pula.
Sanksi bagi pelaku korupsi termasuk dalam hukuman ta’zir, yang di dalamnya ada peluang untuk dijatuhkannya hukuman mati. Hukuman mati bisa diperbolehkan atau dijatuhkan, jika memang koruptor disepakati bersama telah melanggar kepentingan umum (Mashalih Al-Ammah). Dengan demikian, jika kemaslahatan umum (akal, jiwa, agama, kehormatan atau keturunan, harta) menjadi rusak karena perbuatan korupsi, maka boleh saja sanksi pidana mati dikenakan bagi koruptor. Melalui ta’zir, Negara diperbolehkan memutuskan hukuman mati.
Meski demikian, perlu dibenahi juga mentalitas masyarakat yang mudah memaafkan, harus diperkuat dengan pemahaman lain, bahwa korupsi merupakan dosa besar yang sulit untuk dimintakan pengampunan, baik kepada Tuhan, maupun kepada sesama manusia, sehingga perlahan korupsi bisa terkurangi. Semoga.
Di Indonesia, korupsi semula tidak begitu mengenal, baik dari perspektif hukum adat, sipil maupun hukum Islam. Hukum adat (jawa), korupsi dalam bentuk upeti yang ditujukan kepada pemangku kekuasaan. Dalam hukum sipil, korupsi disebut perbuatan melawan hukum untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara. Korupsi juga disebut perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara.
Sementara dalam Islam, korupsi diidentikkan dengan pencuri, perampok, suap, menyalahgunakan wewenang, khianat, memungut cukai dan lainnya. Semua padanan kata itu tidak ada yang sama dengan korupsi, hanya saja ada illat yang sama dalam unsur-unsur tersebut. Untuk itu, kajian Islam memandang korupsi menjadi suatu yang penting. Sebab, hukuman yang selama ini ada terkesan tidak bisa membuat koruptor jera, sehingga hukuman agama bisa diberlakukan, yakni hukuman mati.
Fikih Anti Korupsi
Upaya merumuskan sebuah tatanan hukum menjadi penting untuk digali bersama. Korupsi bukan hanya pencuri biasa, perampok biasa, tetapi pencuri yang luar biasa, perampok yang luar biasa, sehingga membutuhkan penegakan hukum yang luar biasa pula. Maka wajar jika koruptor sulit dibebani sanksi hukum yang berat. Karena pada satu sisi, doktrin agama tidak memberi penekanan yang cukup berarti untuk menjerat koruptor. Hanya konon, nabi Muhammad SAW pernah menghukum orang yang menilapkan harta Negara dengan tidak dishalati sewaktu ia meninggal. Hukuman agama dengan tidak menshalati jenazah koruptor bisa terus digalakkan sebagai langkah antisipasi membentengi dari kebobrokan moral.
Hanna E Kassis dalam bukunya The Concordance of The Qur’an (1983) menafsirkan beberapa term dalam al-Qur’an sebagai kategorisasi korupsi, yakni bur, dakhal, dassa, afsada, fasada, khaba’ith dan khubuta. Secara garis besar, kata itu bermakna merusak, rusak dan kerusakan (Ahmad Khoirul Umam, 2006: 36). Tipologi ini sejalan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: 205, bahwa ”Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan (korupsi).” Kata merusak dalam al-Quran dikiaskan dengan kata dasar korupsi yang mempunyai sifat merusak. Makna merusak kemudian difahami tidak sebatas rusak secara fisik, melainkan kerusakan pada ranah sosial. Setiap kerusakan, baik terhadap alam maupun tatanan sosial merupakan pencideraan terhadap aspek keseimbangan dalam kehidupan. Dan Allah sangat membenci tindakan itu.
Berdasarkan tindakan-tindakan yang dikategorisasikan dalam hukum sipil di Indonesia dan konsep-konsep kejahatan secara umum dalam hukum Islam, maka ada tiga unsur yang bisa dinisbatkan menjadi makna korupsi. Unsur-unsur itu antara lain: adanya tasharuf (perbuatan yang bisa berarti menerima, memberi dan mengambil); adanya pengkhianatan terhadap amanat kekuasaan; dan adanya kerugian yang ditangggung oleh masyarakat luas atau publik (Bambang Widjoyanto, 2010: 127-128). Dengan kata lain, korupsi dalam Islam dimaknai dalam sebuah bentuk tasharruf yang merupakan pengkhianatan terhadap atas amanat yang diemban dan dapat merugikan publik, baik secara finansial, moral dan sosial. Jadi, korupsi merupakan tindakan yang menyalahi hukum dan merupakan pengkhianatan atas amanat serta dapat menimbulkan kerugian publik.
Korupsi yang dikiaskan dengan pencuri, karena ia telah sama-sama mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi. Definisi fikih menyebut pencuri adalah mengambil harta orang lain dari tempat yang wajar dan sembunyi-sembunyi (akhdul mal ghairu min hirzi mitslihi khifayatan). Barang yang dicuri adalah barang yang secara fisik ada wujudnya, seperti uang, barang ataupun yang lainnya, sementara korupsi tidak semata-mata berwujud fisik. Penyalahgunaan kekuasaan adalah barang yang tidak berwujud, dan pencuri tidak melakukan hal itu, sementara koruptor melakukannya. Pencuri melakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak terkait dengan amanat publik, sedangkan korupsi dilakukan secara terang-terangan dan terkait dengan amanah publik. Di samping itu, harta yang dicuri bisa saja benda milik pribadi atau juga publik, sementara harta yang dikorupsi adalah harta milik publik. Diidentikkan dengan perampokan, karena dilakukan dengan cara pemaksaan atau dilakukan secara terang-terangan.
Penyederhanaan konsep korupsi semata pada pencuri tidaklah tepat. Sebab, konsep pencuri dalam komunitas Jawa lebih dari sepuluh macam (misalnya: maling, jambret, copet, ngutil, dan lain sebagainya) yang kemudian didefinisikan kembali dalam hukum positif menjadi “barang siapa dengan sengaja mengambil barang orang lain.” Potret pencurian yang telah direduksi menjadi sebuah konstruksi bahasa, (Satjipto Rahardjo, 2010: 8).
Oleh karena semua unsur di atas ada dalam term korupsi, namun tidak lantas bisa menyimpulkan bahwa korupsi identik dalam salah satu kasus tertentu. Karena memang korupsi merupakan persoalan yang multi kompleks dan luar biasa sehingga membutuhkan cara-cara yang luar biasa. Cara-cara itu dimulai dengan berpikir kreatif dan membebaskan oleh para penegak hukum dari doktrin-doktrin, konsep, dan asas yang berlaku statis.
Korupsi sebagai kejahatan sosial dipandang lebih tepat sasaran, daripada menerima klaim bahwa korupsi sebagai kejahatan individual yang luar biasa. Masalah korupsi tidak sebatas pada persoalan boleh atau tidak, atau halal-haram, melainkan persoalan yang menyangkut kemaslahatan publik. Bahwa, menerima konsepsi korupsi sebagai kejahatan individual yang luar biasa itu iya, tetapi hal itu tidak cukup jika ingin mengentaskan soal korupsi dari akar masalah-masalahnya. Persoalan yang paling menonjol adalah perbuatan itu menyangkut domain publik, sehingga wajar dampak yang dihasilkan juga sangat membahayakan kehidupan masyarakat luas.
Konsepsi fikih anti korupsi dihadirkan bukan sebagai jalan untuk mengatakan korupsi itu baik atau buruk, kafir atau tidak. Melainkan sebagai sistem etika sosial di mana semua orang bisa menjadikan fikih anti korupsi sebagai bahan kontrol dan kritik sosial. Maka, perlu (harus) perubahan paradigmatik dalam memandang fikih. Fikih tidak hanya dilihat sebagai alat untuk mengukur kebenaran ortodoksi, tetap juga harus diartikan sebagai alat untuk membaca realitas sosial untuk kemudian mengambil sikap dan tindakan tertentu atas realitas sosial tersebut. Sehingga, fikih mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai alat untuk mengukur realitas sosial (Sosial Control) dengan ideal-ideal syarat yang berujung pada hukum halal-haram, boleh dan tidak boleh, dan sekaligus pada saat yang sama menjadi alat rekayasa sosial (Social Engineering).
Cara-cara hukum biasa seperti penegakan hukum positif terasa tidak cukup, melainkan perlu tindakan hukum yang luar biasa. Tindakan hukum yang luar biasa itu hanya ada dalam fikih. Bahwa korupsi bukan hanya pencuri biasa, perampok biasa, tetapi pencuri yang luar biasa, perampok yang luar biasa, sehingga membutuhkan penegakan hukum yang luar biasa pula.
Sanksi bagi pelaku korupsi termasuk dalam hukuman ta’zir, yang di dalamnya ada peluang untuk dijatuhkannya hukuman mati. Hukuman mati bisa diperbolehkan atau dijatuhkan, jika memang koruptor disepakati bersama telah melanggar kepentingan umum (Mashalih Al-Ammah). Dengan demikian, jika kemaslahatan umum (akal, jiwa, agama, kehormatan atau keturunan, harta) menjadi rusak karena perbuatan korupsi, maka boleh saja sanksi pidana mati dikenakan bagi koruptor. Melalui ta’zir, Negara diperbolehkan memutuskan hukuman mati.
Meski demikian, perlu dibenahi juga mentalitas masyarakat yang mudah memaafkan, harus diperkuat dengan pemahaman lain, bahwa korupsi merupakan dosa besar yang sulit untuk dimintakan pengampunan, baik kepada Tuhan, maupun kepada sesama manusia, sehingga perlahan korupsi bisa terkurangi. Semoga.