Kekuasaan dan Pendidikan

Faqih Muhammad
(Kekuasaan dan Pendidikan)
(Tilaar)
Kekuasaan tidak terbatas dimiliki oleh pemerintahan diktator saja, tetapi telah memasuki dunia kebudayaan dan pendidikan. Proses pendidikan ternyata seringkali digunakan untuk memperkuat dan memperlemah resistensi demi kelanggengan struktur kekuasaan dengan mempertahankan ideologi dan hegemoni negara. Dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, batas-batas kekuasaan pemerintah pusat dan daerah perlu dirumuskan agar pendidikan tetap merupakan upaya pengembangan potensi manusia untuk mewujudkan individualitasnya. Kekuasaan dalam pendidikan dan kekuasaan negara bertemu dalam ruang edukatif. kedua kekuasaan tersebut harus memiliki titik tolak yang sama agar tidak saling berinterferensi .
Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian, atau memberikan kekuasaan padanya untuk menjadi individu. Proses individualisasi hanya terjadi dalam tatanan masyarakat yang berbudaya.
Bagaimanakah dengan proses kekuasaan? Proses melaksanakan kekuasaan berarti proses menguasai. Artinya, ada yang melaksanakan kekuasaan (menguasai) dan ada yang menjadi objek penguasa (dikuasai). Di sini ada hubungan subordinatif antara penguasa dan objek kekuasaan. Dengan demikian , dapat terjadi perampasan kebebasan individu atau pembatasan kebebasan individu kepada suatu otoritas atau suber kekuasaan di luar dirinya. Sumber otoritas tersebut dapat timbul dari Negara, dari kekuatan ekonomi, atau dari kelas social yang hegemonik.
Dari kacamata pendidikan dan melihat proses pendidikan yang menyeluruh disana terdapat suatu gerakan yang membawa kekuatan dan menggerakkan kebutuhan yang diminta masyarakat guna peningkatan taraf hidupnya. Tidak jarang kekuasaan-kekuasaan menyelimuti pendidikan di dalam berbagai bentuknya. Kekuasaan tersebut dapat berwujud objektif atau terang-terangan atau juga dapat berwujud subjektif atau secara tidak disadari telah mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang dikenal sebagai “hidden curriculum”.
Ekspresi yang negatif dari kekuasaan dalam pendidikan dapat kita lihat misalnya dalam perubahan pendidikan pada masyarakat yang relative masih tertutup. Suatu penelitian tentang perubahan pendidikan dalam masyarakat Dayak menunjukkan bagaimana masyarakat yang semula berjalan dengan tenang di suatu rumah yang panjang dan dilaksanakan oleh suatu kelompok masyarakat yang tertutup yang boleh dikatakan dalam situasi masyarakat yang stabil mengalami perubahan-perubahan besar dengan masuknya teknologi informasi yang masuk melembas ke hutan-hutan yang terisolasi. Adanya perubahan pendidikan dalam keluarga telah merubah pola-pola pengaruh kekuasaan dari struktur yang ada di masyarakat dayak. Transformasi social yang terjadi dalam suatu keluarga berarti pergeseran kekuasaan yang dimiliki oleh “tua-tua” masyarakat dan beralih kepada kekuasaan informasi oleh teknologi informasi yaitu televise dan parabola.
Kekuatan media massa dalam masyarakat modern diakui oleh para pakar. Di daerah maju seperti kota-kota besar transformasi social menjadi sangat cepat sehingga proses pendidikan yang ada dalam keluarga mengalami perubahan yang revolusioner bahkan mengalami tekanan dan berbagai kekuasaan yang mempengaruhi keluarga, yaitu dari suatu keluarga yang tertutup menjadi keluarga yang terbuka. Tidak jarang norma-norma yang menguasai keluarga menjadi berubah.
Setelah kita melihat gambaran pendidikan dan kekuasaan yang melibatkan seluruh aspek manusia, maka timbul pertanyaan dari kita apakah kekuasaan mempunyai tempat dalam pendidikan. Ada kaitan erat antara pendidikan dan kekuasaan. Justru karena adanya proses kekuasaan itulah terjadi proses pendidikan. Hanya masalahnya ialah, apakah kekuasaan itu sesuai dengan arah dan proses pendidikan yang sebenarnya atau tidak? Marilah kita melihat arti yang hakiki antara kekuasaan dan pendidikan.
Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu. Pemberian kekuasaan ini atau empowerment merupakan cirri dari pedagogic transformative. Proses individuasi hanya terjadi melalui proses partisipasi dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya.
Bagaimana dengan proses kekuasaan? Proses melaksanakan kekuasaan berarti proses menguasai artinya ada yang melaksanakan kekuasaan dan ada yang dikuasi atau menjadi objek penguasa. Disini terjadi hubungan subrdinatif antara penguasa dan yang dikuasai. Dengan demikian dapat terjadi perampasan kebebasan individu atau mengikat kebebasan individu pasa suatu otoritas atau sumber kekuasaan di luar dirinya sendiri. Sumber otoritas tersebut dapat lahir dari Negara, dari kekuatan ekonomi, atau dari kelas social yang hegemonic.
Pengertian kekuasaan dalam pendidikan rupanya mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan sebagaimana yang kita lihat dari kehidupan sehari-hari. Dapat kita bedakan antara jenis kekuasaan: 1) kekuasaan yang transformatif; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif.
Kekuasaan dalam pendidikan adalah bentuk kekuasaan yang transformative. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lainnya. Kekuasaan yang transformative bahkan membangkitkan refleksi, dan refleksi tersebut menimbulkan aksi orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan aksi orientasi yang advokatif.
Di dalam kekuasaan sebagai transmitif terjadi proses transmisi yang diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadapat subjek yang terkena kekuasaan itu sendiri. Orientasi kekuasaan disini bersifat orientasi kekuasaan legitimatif. Dengan demikian, yang terjadi dalam proses pelaksanaan kekuasaan adalah suatu aksi dari subjek yang bersifat robotic karena sekedar menerima atau dituangkan sesuatu ke dalam bejana subjek yang bersangkutan. Inilah yang disebut oleh Paulo freire sebagai proses system banking (banking system). Perbedaan selanjutnya dari orientasi advokatif dan orientasi legitimatif ialah soal proses perubahan dari refleksi kepada aksi yang meminta waktu. Apalagi apabila proses tersebut berkenaan dengan perubahan kelakuan manusia maka diperlukan waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berubah.
Praksis Pendidikan dalam Empat masalah Pendidikan Berdasarkan Kekuasaan
Sekarang kita lihat praksis pendidikan dilaksanakan berdasarkan kekuasaan seperti yang telah dirumuskan sebelumnya. Ada empat masalah yang berkenaan erat dengan pelaksanaan pendidikan berdasarkan kekuasaan : 1) Demostifikasi dan stupidifikasi pendidikan; 2) Indoktrinasi; 3) Demokrasi dalam Pendidikan; 4) Integrasi social.
1. Proses Demostifikasi dan Stupidifikasi
Jika kita bayangkan suatu kelas dalam sekolah tradisional dengan berjalan aman dan tertib. Suasana kelas yang penuh dengan disiplin itu biasanya menjadi contoh dari keberhasilan suatu proses pendidikan. Semua proses pendidikan berjalan dengan lancar sesuai dengan petunjuk-petunjuk , baik yang digariskan oleh penguasa atau yang telah di buat oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Baik guru maupun peserta didik mengikuti peraturan yang telah dirumuskan. Mempelajari buku pelajaran memngikuti buku teks yang telah tersedia, melaksankan ujian-ujian dan penilaian-penilaian dari kelas-kelas atau jenjang pendidikan yang sudah ditentukan. Demikianlah seorang peserta didik melaju dari kelas ke kelas selanjutnya, dari tingkatan sampai pada tingkatan yang paling tinggi. Inilah suasana belajar yang ideal dalam suatu lembaga pendidikan yang ideal. Tetapi apakah yang terjadi dalam suasana proses pendidikan yang terjadi tersebut? Teryata proses yang terjadi adalah proses domestifikasi atau penjinakan, yaitu membunuh kreatifitas dan menjadikan manusia atau peserta didik sebagai robot-robot yang sekedar menerima transmisi nilai-nilai kebudayaan yang ada. Sebagaimana halnya dengan penjinakan binatang yang semula merupakan binatang liar menjadi binatang yang tunduk pada perintah tuannya, demikianlah praksis pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat menjinakkan pribadi-pribadi agar patuh kepada kemauan tuannya. Proses pendidikan menjadi proses domestifikasi anak manusia. Hasilnya ialah bukan pembebasan tetapi pembodohan (stupidifikasi). Proses domestifikasi dalam pendidikan disebut juga imperialism pendidikan dan kekuasaan. Artinya, peserta didik menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan diluar pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak-budak dan alat-alat dari penjajahan mental oleh yang memiliki kekuasaan. Memang proses stupidifikasi ini kita lihat di dalam praktik-praktik pendidikan colonial yang menghasilkan peserta didik sebagai pegawai-pegawai untuk mencapai tujuan tujuan eksploitasi si penjajah terhadap jajahannya.
Proses domestifikasi dalam pendidikan kita lihat juga dalam perlakuan yang salah mengenai ijazah atau pemujaan ijazah. Ijazah menjadi alat ukur untuk naik pada tangga social, terlepas apakah ijazah tersebut merupakan hasil jerih payah untuk mengasah kemampuan diri. Dengan segala cara orang ingin mengapai ijazah, baik diperoleh secara legal maupun illegal dengan jalan membeli. Ijazah telah menjadi penyakit terutama di Negara-negara berkembang. Pandangan terhadap ijazah yang keliru tersebut merupakan sisa-sisa masa colonial yang mencari legitimasi kemampuan seseorang dari ijazah yang sifatnya diformalkan oleh pemerintah dan bukan sebagai tanda yang menyatakan kemampuan seseorang. Dampak dari pemujaan ijazah ini sangatlah luas antara lain dengan sikap seorang yang ingin memperoleh ijazah atau lulus dari suatu tingkat sekolah tanpa melihat kualitas kelulusannya itu. Memang benar proses demostifikasi ini menyebabkan suatu kebodohan terhadap rakyat banyak. Dengan berbagai cara untuk mendapatkan ijazah atau kearah yang tidak diketahui tingkat kualitasnya maka hasilnya ialah suatu masyarakat yang diperbodohkan.
Proses pembodohan di lembaga-lembaga formal juga terlihat di dalam evaluasi pendidikan. Pengaruh tes objektif merupakan suatu proses demostifikasi karena tidak mengajak manusia berpikir tetapi menjadi manusia yang menghadapi kehidupan sebagai menghadapi teka teki silang saja. Kemampuan analitis dan mencari alternative yang terbaik dalam situasi yang dihadapi tentunya tidak dapat dikembangkan melalui tes objektiv ini. Tes objektif tidak mengembangkan rasio manusia bahkan melumpuhkan kemampuan berfikir manusia. Tes objektif se akan-akan mengarah kepada epistemology mengenai kebenaran mutlak tanpa adanya alternative.
2. Indoktrinasi
Proses pendidikan mengenal kekuasaan dalam pengertian yang berorientasi kepada advokasi. Sedangkah kekuasaan yang lain berorientasi pada legitimatif. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Apple dalam bukunya ideology and curriculum, maka kurikulum yang berlaku sebenarnya merupakan sarana indroktinasi dari suatu system kekuasaan. Biasanya masyarakat pendidik, juga masyarakat luas, tidak menyadari apa sebenarnya peranan kurikulum di dalam proses pemberdayaan peserta didik. Apabila kita melihat penyusunan kurikulum persekolahan di Indonesia yang saling berganti, betapa kekuasaan yang berlaku menancapkan kukunya dalam penentuan isi kurikulum. Sesuai dengan system pemerintah pada waktu itu, kurikulum pada semua tingkat pendidikan merupakan rekayasa yang dibuat oleh pemerintah. Tidak ada kebebasan dari lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Semua kurikulum sudah diatur begitu rupa sesuai dengan proses demostifikasi . maka apa yang terjadi dalam suatu proses pendidikan adalam proses mentransmisikan ilmu pengetahuan secara paksa.
Menurut Apple, pengetahuan adalah suatu capital. Sebagaimana banyak orang berjuang untuk mengumpulkan capital, maka demikian juga orang berjuang mengumpulkan ilmu pengetahuan sebagai capital. Dan capital itu sumber dari kekuasaan. Tidak heran apabila pemerintah mempunyai kepentingan untuk menguasai pendidikan dan khsuusnya kurikulum. Melalui kurikulum inilah terjadi proses indoktrinasi, yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada. Menguasai pendidikan berarti menguasai kurikulum.
Apabila kurikulum berisikan indoktrinasi maka cara menyampaikan proses belajar-mengajar juga mengikuti pola indoktrinasi. Pola proses belajar mengajar dalam rangka domestifikasi dan indoktrinasi jelas merupakan suatu proses transmitif dari kebudayaan. Dengan jalan demikian kebudayaan mengalami stagnasi karena matinya daya kreatifitas dari para anggotanya. Proses pendidikan yang telah dijelaskan merukan proses transmisi kebudayaan dari satu generasi ke generasi lainnya. Kalau ada perubahan itu perubahan juga pasti kecil dan cenderung kepada statisme. Namun demikian apabila kita melihat kehidupan abad informasi dewasa ini maka proses belajar yang demikian sudah tentu tidak dapat dipertahankan apabila suatu masyarakat atau bangsa ingin survive.
Manajemen pendidikan yang cocok dengan proses indoktrinasi tentunya adalah yang terpusat dan mudah di control. Manajemen control bukan berdasarkan tujuan itu baiknya.
3. Demokrasi
Sebagaimana yang dikemukakan oleh pentolan pendidikan demokrasi, John Dewey, bahwa yang dihasilkan oleh demokrasi bukanlah bentuk produk dalam bentuk barang tapi produk dalam bentuk manusia yang bebas.inilah inti dari pendidikan demokratis. Yaitu seseorang yang menghadapi masalah-masalah problematic dengan alternative-alternatif yang dikembangkan oleh kemampuan akal budinya untuk mencari solusi terbaik.
Pendidikan demokrasi bukan hanya merupakan suatu prinsip tetapi suatu pengembangan tingkah laku yang membebaskan manusia dari berbagai jenis kungkungan. Apa yang terjadi dalam banyak system pendidikan seperti suatu system yang namannya saja system demokratis tetapi tidak menyuguhkan kesempatan-kesempatan bagi perkembangan kebebasan yang merupakan cirri demokrasi. Sebagai contoh, kita melihat arti dari wajib belajar yang kini merupakan kebutuhan dari umat manusia. Apabila kita lihat sejarah dari lahirnya program wajib belajar yang dimulai di Negara-negara industry pada abad 19 menunjukkan dengan jelas bahwa belajar dalam pengertian penguasaan ilmu pengetahuan merupakan syarat dari pembebasan seseorang di dalam mengambil keputusan dalam dunia pertanian yang statis dan membuka sedikit kesempatan bagi perkembangan manusia.
Tumbuhnya demokrasi dalam proses pendidikan mendorong tumbuhnya pendekatan multikulturalisme dalam pendidikan. Multikulturalisme melihat sumber kekuasaan bukan dari segi monolitik tetapi dari segi yang beragam atau demokratis. Maraknya demokrasi menimbulkan pemikiran terhadap sumber-sumber kekuasaan yang lain selain dikenal selama ini, yaitu yang dimiliki oleh mayoritas ataupun kekuasaan suatu kelas elit dalam masyarakat. Multikulturalisme menghargai adanya bermacam-macam budaya di dalam masyarakat, seperti masyarakat pluralistic Indonesia.
4. Integrasi Sosial
Integrasi social teryata tidak dapat diciptakan dengan pemaksaan melalui kekuasaan dari atas. Inilah makna dari desentralisasi dan otonomi. Baik otonomi pendidikan ataupun pemerintah. Suatu pendidikan yang otoriter atau uniform akan mematikan kemampuan untuk mengembangkan budaya local yang merupakan batu bata penyusunan budaya nasional. Mengembangkan budaya local dan kemudian dikembangkan ke tingkat nasional.untuk mengembangkan tingkat solidaritas nasional.
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faqih Muhammad - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger