Perlakuan
bernada ejekan rasis adalah suatu hal yang sangat dibenci dalam
kehidupan manusia yang beradab, sehingga selalu mendapat penolakan dari
setiap ajaran agama maupun teori ilmu sosial.
Menurut
Wikipedia rasisme memiliki arti suatu sistem kepercayaan atau doktrin
yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia
menentukan pencapaian budaya atau individu, bahwa suatu ras tertentu
lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Sedangkan
menurut Kamus Besar bahasa Indonesia rasisme diartikan sebagai paham
atau golongan yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri
fisik (seperti warna kulit) dalam masyarakat. Rasisme juga bisa
diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras (SARA), golongan
ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu.
Salahsatu
contoh paling nyata dari tindakan rasis adalah politik apartheid di
Afrika Selatan, yaitu kebijakan yang menyangkut pelayanan penduduk
dengan mengutamakan golongan kulit putih dan menindas golongan kulit
hitam.
Meski
kebijakan politik apartheid tersebut telah musnah di Afrika Selatan
beberapa tahun lalu, seiring dengan perkembangan menuju kehidupan yang
senantiasa berlandaskan Hak Asasi Manusia di Negara paling ujung selatan
benua Afrika itu, namun tidak di dunia sepakbola. Rasis masih merupakan
virus yang susah diberantas. FIFA sampai mengkampanyekan slogan “Say No To Racism” disetiap awal pertandingan turnamen internasional maupun eksibisi.
Contoh
paling anyar adalah kasus yang menimpa Luis Suarez dan Patrice Evra,
terlepas dari unsur ketegangan yang melanda pertandingan besar antara
Liverpool dan Manchester United, serta provokasi dari pihak-pihak
lainnya. Sikap Luis Suarez yang mengatakan sesuatu hal yang berbau rasis
tentu merupakan hal yang sangat disayangkan, terlebih bagi pemain kelas
dunia seperti Suarez. Mundur beberapa tahun sebelumnya, kita mengenal
nama Sinisa Mihajlovic sebagai pemain sepakbola yang sering mendapat
sanksi akibat tindakan rasisnya, terlebih lagi Miha bermain di Lazio
yang suporter ultrasnya terkenal paling rasis di Italia.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia ? apakah rasis itu ada dalam kehidupan sehari-hari ? Tanpa
kita sadari, masih ada sebagian masyarakat di Negara kita yang
berperilaku rasis, meskipun tindakan rasis yang ditujukan bukan pada
warna kulitnya, namun lebih kepada penghinaan terhadap daerah asal,
silsilah, nama maupun status sosial.
Contoh
paling sahih adalah kata “kampungan” yang sering kita dengar di
sinetron televisi. Kata kampungan disini berarti penghinaan terhadap
orang desa, dan dianggap tidak memiliki norma kehidupan standar
perkotaan. Sebagai orang yang lahir, tumbuh, besar, dan mencari
penghidupan di desa tentu saya sangat miris dan tersayat hatinya bila
mendengar kata tersebut disebutkan dalam adegan sinetron. Walaupun itu
hanya adegan dalam sebuah sinetron tapi pengaruh kata “kampungan” yang
ditimbulkan televisi sangat luas dan bisa mempengaruhi perkembangan anak
khususnya anak di pedesaan. Mereka akan berada dalam situasi minder dan
tidak memiliki kepercayaan diri sehingga ‘nrimo’ saja dengan keadaan
dan cap kampungan yang sudah terlanjur melekat seperti dalam adegan
sinetron. Pengaruh buruk juga bisa terjadi untuk anak di perkotaan,
bagaimana mereka tidak akan memiliki kepekaan terhadap sesama dan
lingkungan sekitarnya karena beranggapan lebih superior dibandingkan
dengan anak di pedesaan. Tentu akan seperti apa generasi mereka ketika
telah dewasa.
Negara
kita diproklamirkan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan
orang kampung atau kota. Pada masa itu semangat kebangsaan dan rasa
ingin merdeka dari penjajahan begitu kuat tertanam dalam jiwa
masyarakatnya. Tapi perlahan tapi pasti, Negara kita telah berada dalam
titik jurang kematian budayanya, bagaimana pada akhirnya kita menerima
segala sesuatu yang berasal dari Barat adalah semuanya baik dan
merupakan standar hidup manusia modern tanpa kita menyaringnya dulu agar
sesuai dengan kebutuhan kita. Kita seperti lupa kepada purwadaksi, dan
hanya akan bereaksi ketika ada nilai budaya yang diakui oleh Negara lain
tanpa merenung mengapa nilai budaya itu dicuri.