Antropomorfisme
Perdebatan tentang eksistensi Tuhan telah berlangsung lama dan bahkan
hingga saat ini belum berakhir. Perdebatan itu berkisar pada penjelasan
bagaimana Tuhan itu eksis, atau bagaimana eksistensi Tuhan. Bahkan tidak
sedikit yang kemudian mempertanyakan, apakah Tuhan itu eksis.
Sayangnya, manusia dengan segala keterbatasannya seringkali tidak dapat menjangkau pemahaman yang utuh tentang eksistensi Tuhan yang tak terbatas. Dalam situasi ini, manusia memberikan jalan keluar yang berbeda untuk mengatasi rasa hausnya akan pencariannya tentang Tuhan. Pertama, dengan menerima ketakterhinggaan Tuhan dalam bentuk afirmasi sensitifitas religius, yang meniscayakan penerimaan terhadap kemahamutlakan Tuhan dalam segala pengertiannya; kedua, menegaskan negasi mutlak terhadap eksistensi Tuhan dengan mengambil jalan ateisme; dan ketiga, menafsirkan kehadiran Tuhan dalam wujud yang terjangkau dan terindera, yang diafirmasikan melalui penggambaran kebertubuhan Tuhan (antropomorphism) dan atau mengejawantahkan Tuhan Maha Tinggi melalui kehadiran tuhan-tuhan sebagai jembatan menuju Dia.
Islam, sebagai agama wahyu, menolak apa yang disebut ateisme, sedangkan antropomorfisme berada dalam wilayah perdebatan.
Apa itu Antropomorfisme?
Anthropomorphism/Antropomorfisme berasal dari bahasa Yunani, gabungan dua kata, yaitu “anthropos“ yang berarti manusia dan “morphé” yang berarti bentuk. Dari sini, anthropomorphisme merupakan deskripsi tentang yang non-material (spiritual) ke dalam bentuk material (fisikal), khususnya manusia. (Werblousky, Anthropomorphism, dalam Mircea Eliad (ed.), “Encyclopedia of Religion”, vol. I, 1987, h. 316-7). Dalam wacana religius, anthropomorphisme diartikan sebagai anggapan adanya bentuk (form) manusia atau sifat (characteristic) kemanusiaan pada Tuhan. (Benton (ed.), Encyclopedia Britannica, vol. 2, 1970, h. 58)
Antropomorfisme muncul dari kepercayaan manusia, secara umum, bahwa di luar dirinya ada kekuatan lain yang sangat dahsyat dan meyakini dapat melakukan komunikasi dengannya. Secara praksis, pandangan antropomorfisme ini telah dianut oleh berbagai agama dan kepercayaan, seperti kepercayaan akan dewa-dewa Olympus pada masyarakat Yunani, kepercayaan Mesir kuno, Arya, atau India dengan menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang menyerupai benda-benda materi, seperti binatang, manusia, separuh binatang dan separuh manusia, dan sebagainya.
Audius, pendiri sekte Audians - satu sekte yang berkembang pada abad ke-4 di Syiria - meyakini bahwa Tuhan mempunyai karakter atau bentuk seperti pada manusia. (Fox, Anthropomorphism, dalam Kevin Knight, “The Caholic Enciclopedia”, vol 1, London, 1999). Pada tataran filsafat Yunani, Homer dalam dua manuskripnya, The Illiad dan The Odyssey, yang berisi puisi-puisi tentang tuhan-tuhan dalam hirarki Olympus, secara gamblang menggambarkan bahwa tuhan-tuhan memiliki bentuk dan sifat yang seperti manusia; berbicara, makan, bergerak, marah, mencintai, bahkan menikah, dan sebagainya. (Adler, The Greet Book of the Western World, 1996). Xenophanes kemudian secara tegas membantah pandangan Homer tersebut lewat satir-satir dengan melukiskan sifat-sifat Tuhan yang tidak bisa disamakan dengan dunia. (Satir-satir ini dikutip dari Burnet, Xenophanes of Colophon: Fragments, dalam “The Internet Encyclopedia of Philosophy, 2001).
“If oxen and horses or lions had hands, and could paint with their hands, and produce works of art as men do, horses would paint the forms of the gods like horses, and oxen like oxen, and make their bodies in the image of their several kinds” (fr. 15)
(Kalau seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan, dan dapat menggambar dengan tangan mereka, dan mereka mampu menghasilkan karya seni sebagaimana manusia, maka kuda akan menggambar tuhan-tuhan seperti kuda, sapi akan menggambar tuhan seperti sapi, lalu membuat bentuk tentang tuhan-tuhan itu seperti rupa-rupa mereka)
“He is quite unlike a man, and has no special organs of sense, but ’sees all over, thinks all over, hears all over’” (fr. 24)
(Ia tidak sama dengan manusia, Ia tidak memiliki bentuk inderawi yang khusus, tetapi Ia melihat seluruhnya, memikirkan seluruhnya, mendengar seluruhnya)
Menarik untuk dicermati bahwa pada satu sisi manusia begitu ingin mendekatkan Tuhan - hingga diterjemahkan kehadiran-Nya dalam bentuk materil (antropomorfis) - dalam kehidupan yang ril, tetapi di sisi yang lain, keberadaan Tuhan begitu sulit terjangkau oleh manusia. Berbicara tentang Tuhan tidak akan pernah lepas dari kenyataan bahwa manusia tidak pernah mampu mengetahui secara jelas dan pasti tentang Dia. Yang bisa dilakukan hanyalah membangun konsep-konsep untuk mendekatkan diri pada pemahaman-pemahaman yang bersifat representasi yang tetap saja tidak mampu mencapai pengenalan apalagi kebenaran mutlak tentang hakekat-Nya. Konsep antropomorfis diajukan sebagai upaya meng-imanensi-kan Tuhan dalam kehidupan, sehingga Tuhan bisa lebih dirasakan kehadiran-Nya.
Ketidakmampuan manusia merepresentasikan Tuhan secara tepat dalam konsep-konsep menjadi alasan bagi kaum ateis menolak argumentasi akan eksistensi Tuhan. Tetapi pada dasarnya, kaum ateis itu hanya menolak konsep Tuhan yang unreasonable. Sejatinya, apapun yang mereka klaim sebagai sesuatu yang memiliki kuasa mutlak dalam hidup mereka sudah menjadi satu bentuk “penuhanan”. Bisa saja dalam bentuk negara, karir, materi, kesehatan, atau nafsu, dan sebagainya. (Stackhouse, 1986, 99). Ini adalah refleksi keterikatan manusia akan adanya kekuatan yang luar biasa (tidak harus transenden) dan menguasai seluruh hidup manusia, dan kemudian manusia mengabdikan dirinya kepadanya.
Dalam terminologi Islam, antropomorfisme dikenal dengan “tasybih” atau “tajassum“. Tasybih berarti menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam pengertian teologis, tasybih berarti penyerupaan Allah dengan manusia dalam hal bentuk dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan tajassum berarti penggambaran kebertubuhan Allah seperti yang terdapat pada manusia. (Saliba, Al-Mu’jam al-Falsafy, t.th., h. 275). Wacana antropomorfisme ini menjadi menarik karena berkaitan erat dengan persoalan pemurnian ajaran tauhid (keesaan Tuhan).
Persoalan antropomorfisme mendapatkan bentuknya secara teologis dalam horison Islam melalui perdebatan yang sengit antara kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Dua kelompok pemikiran Islam yang bertolak belakang dalam epistemologi berfikirnya. Mu’tazilah dikenal sebagai aliran rasional Islam sementara Asy’ariyah adalah kelompok tradisional.
Kesadaran
manusia akan Tuhan telah melewati perjalanan sejarah yang cukup
panjang, sepanjang sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Bahkan bisa
dikatakan, Tuhan memberikan jiwa yang cukup besar dalam setiap peradaban
umat manusia sejak dulu kala hingga saat ini, tentu saja, terlepas dari
apa dan bagaimana manusia mengkonsepsikan Tuhan. Amstrong menegaskan
hal ini dalam bukunya History of God bahwa manusia telah lama
mengenal adanya monoteisme primitif, bahkan jauh sebelum manusia
menyembah tuhan-tuhan yang banyak (politeisme). Tuhan yang satu itu
adalah Supreme Deity yang menciptakan dunia dan mengaturnya
dari suatu tempat yang jauh, Dia mengawasi kehidupan manusia, bahkan
disebutkan bahwa Dia inexpressible dan tidak terkontaminasi oleh dunia manusia. (Armstrong, History of God, 1993, h. 3) Dalam
konsep Islam, manusia dilahirkan sebagai makhluk bertuhan. Sebelum
dilahirkan, ketika masih berada di alam ruh, manusia telah membuat satu
perjanjian primordial ketuhanan (Q.S. al-A’raf [7]: 12) yang mengakui
adanya realitas Tuhan sebagai “rabb” dan inilah yang menjadi akar genealogis pencarian tiada henti manusia terhadap Tuhan.Sayangnya, manusia dengan segala keterbatasannya seringkali tidak dapat menjangkau pemahaman yang utuh tentang eksistensi Tuhan yang tak terbatas. Dalam situasi ini, manusia memberikan jalan keluar yang berbeda untuk mengatasi rasa hausnya akan pencariannya tentang Tuhan. Pertama, dengan menerima ketakterhinggaan Tuhan dalam bentuk afirmasi sensitifitas religius, yang meniscayakan penerimaan terhadap kemahamutlakan Tuhan dalam segala pengertiannya; kedua, menegaskan negasi mutlak terhadap eksistensi Tuhan dengan mengambil jalan ateisme; dan ketiga, menafsirkan kehadiran Tuhan dalam wujud yang terjangkau dan terindera, yang diafirmasikan melalui penggambaran kebertubuhan Tuhan (antropomorphism) dan atau mengejawantahkan Tuhan Maha Tinggi melalui kehadiran tuhan-tuhan sebagai jembatan menuju Dia.
Islam, sebagai agama wahyu, menolak apa yang disebut ateisme, sedangkan antropomorfisme berada dalam wilayah perdebatan.
Apa itu Antropomorfisme?
Anthropomorphism/Antropomorfisme berasal dari bahasa Yunani, gabungan dua kata, yaitu “anthropos“ yang berarti manusia dan “morphé” yang berarti bentuk. Dari sini, anthropomorphisme merupakan deskripsi tentang yang non-material (spiritual) ke dalam bentuk material (fisikal), khususnya manusia. (Werblousky, Anthropomorphism, dalam Mircea Eliad (ed.), “Encyclopedia of Religion”, vol. I, 1987, h. 316-7). Dalam wacana religius, anthropomorphisme diartikan sebagai anggapan adanya bentuk (form) manusia atau sifat (characteristic) kemanusiaan pada Tuhan. (Benton (ed.), Encyclopedia Britannica, vol. 2, 1970, h. 58)
Antropomorfisme muncul dari kepercayaan manusia, secara umum, bahwa di luar dirinya ada kekuatan lain yang sangat dahsyat dan meyakini dapat melakukan komunikasi dengannya. Secara praksis, pandangan antropomorfisme ini telah dianut oleh berbagai agama dan kepercayaan, seperti kepercayaan akan dewa-dewa Olympus pada masyarakat Yunani, kepercayaan Mesir kuno, Arya, atau India dengan menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang menyerupai benda-benda materi, seperti binatang, manusia, separuh binatang dan separuh manusia, dan sebagainya.
Audius, pendiri sekte Audians - satu sekte yang berkembang pada abad ke-4 di Syiria - meyakini bahwa Tuhan mempunyai karakter atau bentuk seperti pada manusia. (Fox, Anthropomorphism, dalam Kevin Knight, “The Caholic Enciclopedia”, vol 1, London, 1999). Pada tataran filsafat Yunani, Homer dalam dua manuskripnya, The Illiad dan The Odyssey, yang berisi puisi-puisi tentang tuhan-tuhan dalam hirarki Olympus, secara gamblang menggambarkan bahwa tuhan-tuhan memiliki bentuk dan sifat yang seperti manusia; berbicara, makan, bergerak, marah, mencintai, bahkan menikah, dan sebagainya. (Adler, The Greet Book of the Western World, 1996). Xenophanes kemudian secara tegas membantah pandangan Homer tersebut lewat satir-satir dengan melukiskan sifat-sifat Tuhan yang tidak bisa disamakan dengan dunia. (Satir-satir ini dikutip dari Burnet, Xenophanes of Colophon: Fragments, dalam “The Internet Encyclopedia of Philosophy, 2001).
“If oxen and horses or lions had hands, and could paint with their hands, and produce works of art as men do, horses would paint the forms of the gods like horses, and oxen like oxen, and make their bodies in the image of their several kinds” (fr. 15)
(Kalau seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan, dan dapat menggambar dengan tangan mereka, dan mereka mampu menghasilkan karya seni sebagaimana manusia, maka kuda akan menggambar tuhan-tuhan seperti kuda, sapi akan menggambar tuhan seperti sapi, lalu membuat bentuk tentang tuhan-tuhan itu seperti rupa-rupa mereka)
“He is quite unlike a man, and has no special organs of sense, but ’sees all over, thinks all over, hears all over’” (fr. 24)
(Ia tidak sama dengan manusia, Ia tidak memiliki bentuk inderawi yang khusus, tetapi Ia melihat seluruhnya, memikirkan seluruhnya, mendengar seluruhnya)
Menarik untuk dicermati bahwa pada satu sisi manusia begitu ingin mendekatkan Tuhan - hingga diterjemahkan kehadiran-Nya dalam bentuk materil (antropomorfis) - dalam kehidupan yang ril, tetapi di sisi yang lain, keberadaan Tuhan begitu sulit terjangkau oleh manusia. Berbicara tentang Tuhan tidak akan pernah lepas dari kenyataan bahwa manusia tidak pernah mampu mengetahui secara jelas dan pasti tentang Dia. Yang bisa dilakukan hanyalah membangun konsep-konsep untuk mendekatkan diri pada pemahaman-pemahaman yang bersifat representasi yang tetap saja tidak mampu mencapai pengenalan apalagi kebenaran mutlak tentang hakekat-Nya. Konsep antropomorfis diajukan sebagai upaya meng-imanensi-kan Tuhan dalam kehidupan, sehingga Tuhan bisa lebih dirasakan kehadiran-Nya.
Ketidakmampuan manusia merepresentasikan Tuhan secara tepat dalam konsep-konsep menjadi alasan bagi kaum ateis menolak argumentasi akan eksistensi Tuhan. Tetapi pada dasarnya, kaum ateis itu hanya menolak konsep Tuhan yang unreasonable. Sejatinya, apapun yang mereka klaim sebagai sesuatu yang memiliki kuasa mutlak dalam hidup mereka sudah menjadi satu bentuk “penuhanan”. Bisa saja dalam bentuk negara, karir, materi, kesehatan, atau nafsu, dan sebagainya. (Stackhouse, 1986, 99). Ini adalah refleksi keterikatan manusia akan adanya kekuatan yang luar biasa (tidak harus transenden) dan menguasai seluruh hidup manusia, dan kemudian manusia mengabdikan dirinya kepadanya.
Dalam terminologi Islam, antropomorfisme dikenal dengan “tasybih” atau “tajassum“. Tasybih berarti menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam pengertian teologis, tasybih berarti penyerupaan Allah dengan manusia dalam hal bentuk dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan tajassum berarti penggambaran kebertubuhan Allah seperti yang terdapat pada manusia. (Saliba, Al-Mu’jam al-Falsafy, t.th., h. 275). Wacana antropomorfisme ini menjadi menarik karena berkaitan erat dengan persoalan pemurnian ajaran tauhid (keesaan Tuhan).
Persoalan antropomorfisme mendapatkan bentuknya secara teologis dalam horison Islam melalui perdebatan yang sengit antara kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Dua kelompok pemikiran Islam yang bertolak belakang dalam epistemologi berfikirnya. Mu’tazilah dikenal sebagai aliran rasional Islam sementara Asy’ariyah adalah kelompok tradisional.