Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
adalah negara kepulauan yang luas dan strategis, memiliki jumlah
penduduk di atas 210 juta jiwa, dengan keragaman budaya yang demikian
kaya, multietnis, beragam agama dan kepercayaan. Itu semua menunjukkan
bahwa Indonesia adalah negara besar dan plural yang dipersatukan dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Para pendiri bangsa (founding father’s)
yang mengonseptualisasikan Pancasila amat sadar akan realitas
pluralisme dan multikulturalisme bangsa ini. Pancasila merupakan
konsensus nasional, identitas nasional, faktor pemersatu bangsa (common denominator), dan inspirasi menghadapi dan mengakhiri multikrisis.
Di tengah-tengah situasi kehidupan bangsa
yang masih dilanda multikrisis dewasa ini, apalagi sejak era reformasi
bergulir pada 1998, Pancasila terkesan tidak lagi dijadikan “rujukan
utama” (main literature) dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sebagaimana ditunjukkan dengan berbagai gejala
dan bibit-bibit disintegrasi bangsa, praktik dan atau perilaku
masyarakat terutama para penyelenggara negara menjadi bablas. Korupsi,
kolusi, konspirasi, suap-menyuap, dan perilaku sejenisnya marak terjadi
yang semua itu merupakan wujud penyimpangan nilai-nilai substansial dari
Pancasila.
Dalam aspek realitas sosial, kita melihat
gejala yang mengarah pada diingkarinya realitas kemajemukan (pluralisme
dan multikulturalisme) bangsa, mengedepannya primordialisme, dan
merosotnya sikap toleran dan menghargai perbedaan. Dengan kata lain,
terdapat gejala bahwa merosotnya kesadaran kolektif atas realitas
kemajemukan bangsa yang disebabkan oleh beberapa faktor. Padahal,
kesadaran kolektif tersebut merupakan modal dasar dan modal sosial (social capital) dan character and nation building
guna memperkokoh integrasi bangsa. Munculnya sejumlah konflik di negeri
ini ditengarai akibat dari mengendornya pemahaman dan implementasi
nilai-nilai luhur Pancasila di masyarakat. Padahal, nilai yang
terkandung dalam Pancasila tersebut dapat menjadi pemersatu bangsa
Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam suku, agama, dan adat.
Pada era orde baru di mana Pancasila
dijadikan sebagai doktrin, justru berbagai penyimpangan terhadap
nilai-nilai substansial dari Pancasila terjadi di mana-mana. Apalagi
kemudian nilai-nilai doktrinal ideologis itu ditafsirkan berdasarkan
kepentingan pihak yang berkuasa, sehingga kebenarannya bukan saja
menjadi sangat relatif melainkan sekaligus merupakan bagian dari
kesalahan fundamental. Bukankah sumber dan sekaligus yang memahami
nilai-nilai keindonesian yang abstraksinya terkonstruksi dalam Pancasila
itu terus hidup dalam masyarakat dengan tafsir subjektif-objektifnya
masing-masing. Nilai-nilai Pancasila merupakan produk sosial kolektif
atau nilai-nilai luhur yang diwariskan dan terkonstruksi dalam
masyarakat di mana negara hanya membingkainya, sehingga tafsirnya pun
tidak boleh menjadi monopoli suatu kelompok atau kekuasaan tertentu.
Yang terpenting dalam konteks ini adalah bahwa karena nilainya sangat
luhur dan idealistik, maka ia menjadi filter penyaring dari segala
kehendak, kecenderungan praktik, dan nilai yang buruk. Di sini, negara
berperan sebagai pemelihara nilai-nilai itu, dan sekaligus membentengi
masyarakat agar tidak terasuki oleh nilai-nilai yang merusak tatanan
idealistik-luhur yang ada itu.
Uraian di atas cukup memberikan gambaran
bahwa Pancasila telah mengalami marjinalisasi. Oleh sebab itu, dalam
konteks ini, diperlukan upaya untuk kembali “mengarisutamakan” (mainstreaming)
Pancasila sebagai rujukan utama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Pancasila harus direaktualisasikan sebagai
sumber inspirasi yang implementatif (tidak sekadar normatif) bagi
pembangunan dan proses demokrasi bangsa. Pancasila juga harus disegarkan
kembali sebagai jati diri, karakter, sekaligus pemersatu bangsa.
Dalam kondisi multikrisis dewasa ini,
Pancasila harus diletakkan kembali dan diimplementasikan secara efektif
sebagai pemersatu bangsa. Namun pemasyarakatan dan implementasi
Pancasila membutuhkan pendekatan yang tidak elitis dan tidak
indoktrinatif seperti di masa lalu, tetapi lebih pada metode
partisipatif, implementatif, dan produktif seiring proses internalisasi
atas nilai-nilai Pancasila itu sendiri khususnya dalam sistem pendidikan
nasional Indonesia. Semua itu tentunya memerlukan komitmen
sungguh-sungguh segenap masyarakat tidak ketinggalan adalah generasi
penerus bangsa serta para elite pemimpin bangsa.
PEMBAHASAN
1. Nilai-Nilai Pancasila
Hidup berbangsa dan bernegara kita
tampaknya semakin menyedihkan. Berita-berita yang memilukan serta
gambar-gambar yang mengiris hati melalui tayangan televisi seolah-olah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari telinga dan mata masyarakat.
Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami krisis nilai, situasi
amat anomic karena adanya inkonsistensi yang tinggi antara nilai-nilai
yang di sosialisasikan oleh suatu pranata sosial dengan pranata sosial
lainnya. Nilai yang diajarkan orangtua di keluarga (yang kebanyakan
berbasis agama dan adat) berbeda dengan nilai di sekolah (yang berbasis
pada kebijakan pemerintah atau kurikulum yang sudah ditetapkan
pemerintah). Nilai yang diajarkan di sekolah juga tidak sama dengan
nilai yang berlaku ditempat kerja yang saat ini nampaknya lebih di
dominasi oleh nilai-nilai KKN. Media komunikasi massa (TV, internet,
radio dsb.) yang semakin menjadi “primadona” di jaman revolusi informasi
ini nampak semakin bebas membawa masyarakat pada sistem nilai yang amat
pragmatis dan hedonis.
Nilai-nilai Pancasila harus
direvitalisasi untuk kepentingan bangsa. Dengan Pancasila bangsa
Indonesia harus mampu merespons kemajuan zaman dengan bijak dan adil,
termasuk meletakkan dan memandang masa lalu, masa kini dan masa depan.
Pancasila yang merupakan landasan bersama (common platform),
sudah sepantasnya diberikan perhatian yang serius. Menghidupkan kembali
wacana publik tentang Pancasila, maka itu bukanlah didasari romantisme
historis, kerinduan belaka terhadap masa lalu. Masa lalu yang pahit bagi
Pancasila sudah dialami negara-bangsa Indonesia, ketika indoktrinasi P4
atas berbagai lapisan masyarakat, membuat Pancasila seolah-olah
kehilangan ‘nama baik’. Pemerintah Orde Baru tidak hanya melakukan
dominasi dan hegemoni atas pemaknaan Pancasila, tetapi juga melakukan
berbagai kebijakan dan tindakan yang bertentangan dengan pandangan dunia
dan nilai-nilai Pancasila. Pemujaan berlebihan dan pelencengan
pemaknaan terhadap hakekat Pancasila yang dilakukan semasa Orde Baru
melalui penyamaan antara nilai, makna dan praksis serta reduksi posisi
filsafati Pancasila dari posisi nilai yang disamakan dengan
kekuasaan/rezim atau sebagai alat pembenaran politis sebuah rezim ini
yangoleh Kaelan merupakan kekacauan fatal epistemologis yang pernah
dilakukan terhadap Pancasila.[1]
Semua ini membuat banyak orang enggan
membicarakan Pancasila; pembicaraan tentang Pancasila bahkan nyaris
sebagai sesuatu yang tabu. Dampak yang cukup serius atas manipulasi
nilai-nilai Pancasila oleh para penguasa pada masa lampau, membuat
banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan bahwa
Pancasila merupakan label politik Orde Baru, sehingga mengembangkan
serta mengkaji Pancasila dianggap sebagai upaya mengembalikan kewibaan
Orde Baru. Tentunya pandangan yang sinis serta upaya melemahkan peranan
idiologi Pancasila di era reformasi saat ini akan sangat berbahaya bagi
keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia di tengah-tengah era
globalisasi saat ini.
Revitalisasi Pancasila mendesak karena
beberapa alasan internal dan eksternal. Secara internal, sejak masa
berlangsungnya ‘Masa Reformasi’, beberapa faktor pemersatu bangsa jelas
mengalami kemerosotan. Negara-bangsa yang berpusat di Jakarta semakin
berkurang otoritasnya; sentralisme sebaliknya digantikan dengan
desentralisasi dan otonomisasi daerah. Dalam hal terakhir ini kita
menyaksikan bangkitnya sentimen provinsialisme dan etnisitas yang
cenderung mengabaikan kepentingan dan integrasi nasional. Dipicu oleh
adanya globalisasi, Identitas sebagai bangsa Indonesia yang didasari
oleh nilai-nilai Pancasila menjadi masalah manakala identitas lainnya
menjadi lebih dominan daripada identitas nasional itu sendiri, seperti
identitas yang didasarkan pada etnisitas atau identitas religius
fundamentalis, yang oleh Manuel Castells disebut sebagai “resistence identity”.[2]
Pada saat yang sama, penghapusan
kewajiban asas tunggal Pancasila yang diberlakukan sejak 1985, yang
diikuti liberalisasi politik dengan sistem multipartai, juga
menghasilkan berbagai ekses. Fragmentasi politik, baik di tingkat elite
dan akar rumput terus berlanjut, yang sering berakhir dengan lenyapnya
keadaban publik (public civility), dan cenderung disintegratif.
Pada saat yang sama, liberalisasi politik berbarengan dengan kegagalan
negara menegakkan hukum, memberikan momentum bagi menguatnya religious-based ideologies,
yang cenderung divisif, karena adanya berbagai aliran pemikiran,
mazhab, dan semacamnya di dalam agama. Bisa disaksikan, parpol-parpol
yang berlandaskan agama -baik Islam maupun Kristen– terus rentan pada
perpecahan; landasan agama tidak mampu mengatasi perbedaan-perbedaan
yang berimpitan dengan kontestasi pengaruh dan kekuasaan. Pada saat yang
sama, terlihat pula peningkatan berbagai kelompok masyarakat yang
bergerak atas religious-based ideologies dan atas nama agama.
Yang tak kurang pentingnya adalah serbuan globalisasi, yang tidak hanya
menimbulkan disorientasi dan dislokasi sosial, tetapi juga bahkan
mengakibatkan memudarnya identitas nasional dan bahkan jati diri bangsa.
Globalisasi yang sesungguhnya juga punya nilai positif, sebaliknya
justru lebih banyak menimbulkan ekses negatif dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Revitalisasi Pancasila yang urgen itu
bisa dimulai dengan menjadikan dasar negara ini kembali sebagai wacana
publik, sehingga masyarakat merasakan bahwa Pancasila masih ada, dan
masih dibutuhkan bagi negara-bangsa Indonesia. Selama 61 tahun lebih,
Pancasila mampu mengayomi anak-anak bangsa yang begitu majemuk;
viabilitas Pancasila dengan demikian telah teruji sebagai kerangka dasar
bersama negara-bangsa Indonesia. Selanjutnya, perlu dilakukan penilaian
kembali (reassesment) tentang penafsiran dan pemahaman Pancasila, yang
telah pernah dirumuskan di masa silam. Penafsiran monolitik sepatutnya
ditinggalkan; apalagi kalau penafsiran tunggal tersebut didominasi rezim
penguasa, yang menggunakan untuk kepentingan kekuasaan. Publik dan
masyarakat memiliki hak semestinyalah terlibat dalam reassesment, dan
rekontekstualisasi penafsiran Pancasila di tengah situasi dan tantangan
yang terus berubah. Terakhir, reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah tantangan yang
tidak kurang beratnya. Karena selama masih terdapat dalam masyarakat
banyak kontradiksi yang tidak sesuai dengan esensi dan nilai-nilai
Pancasila, ketika itulah orang menganggap Pancasila sebagai lips-service belaka.
2. Internalisasi Nilai Pancasila Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan nasional adalah
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional. (Pasal 1 ayat 3). Berdasarkan Bab
II Pasal 3 UU Sisdiknas bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.[3]
Seiring dengan lahirnya reformasi,
eksistensi Pancasila sempat dipertanyakan dan diperdebatkan sebagai
dasar negara. Bukan hanya itu, Pancasila juga digugat keberadaannya.
Bahkan MPR dengan Ketetapan MPR No XXVIII mencabut Ketetapan MPR No II
Tahun 1978 tentang P4. Alergi publik pada masa reformasi antara lain
adalah dalam bentuk malunya sebagian masyarakat, para elit politik dan
birokrasi untuk berbicara tentang Pancasila. Penempatan Pancasila yang
setengah hati dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional merupakan
contoh konkrit alergi publik ini. Kurikulum pendidikan baik dasar,
menengah, dan tinggi berdasarkan Bab X Pasal 37 sudah tidak memuat lagi
pendidikan Pancasila. Lebih lanjut berdasarkan Peraturan Pemerintah RI
No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, disana sudah
tidak ada lagi kewajiban memasukkan mata pelajaran atau mata kuliah
Pendidikan Pancasila untuk semua jenis pendidikan baik umum, kejuruan,
dan khusus pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah hanya mewajibkan untuk memuat: a)
pendidikan agama; b) pendidikan kewarganegaraan; c) bahasa;
d) matematika; e) ilmu pengetahuan alam; f)ilmu pengetahuan sosial; g)
seni dan budaya; h) pendidikan jasmani dan olahraga;
i) keterampilan/kejuruan; dan j) muatan lokal. Dan berdasarkan Pasal 11
Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa kurikulum pendidikan
tinggi wajib memuat: a) pendidikan agama; b) pendidikan kewarganegaraan;
dan c) bahasa. [4]
Dan sejak itu pula banyak dari dasar dan pandangan negara yang terkait
dengan Pancasila, di antaranya UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika
tidak banyak disinggung karena orang khawatir dianggap tidak reformis
ketika meneriakkan semua itu.
Padahal reformasi pada hakekatnya adalah
perubahan dan kesinambungan, sehingga sebagai suatu dasar negara
Pancasila tidak selayaknya diabaikan keberadaannya yang merupakan jati
diri bangsa Indonesia. Namun dalam perjalanannya saat ini, ternyata
Rakyat Indonesia yang seharusnya merdeka dari pikiran magisnya malah
terbelenggu dalam pikiran yang terkotak-kotak dan mulai terpecah-pecah
menjadi kelompok-kelompok Bangsa di dalam sebuah Bangsa.
Rejim Orba pernah melakukan usaha pembangunan nilai-nilai Pancasila melalui P4. Ini merupakan suatu contoh cultural engineering yang gagal. Ini boleh disebut cultural engineering
karena nilai-nilai yang akan ditanamkan telah ditentukan, diolah secara
rapih dari atas, metodenyapun telah dirancang secara baku. Tidak ada
yang boleh keluar dari pakem yang telah ditentukan. Tingkat paksaan
(koersinya) cukup tinggi, bahkan dengan nuansa sakralisasi yang kental,
sehingga Pancasila dapat menjadi label dari orang yang baik atau tidak
baik (berbahaya). Nilai-nilai itu amat mutlak tidak dapat ditawar dan
sebagian terbesar digunakan untuk meningkatkan konformitas dogmatis
terhadap rejim, sehingga ini boleh disebut sebagai indoktrinasi. Sebagai
proses pelembagaan (institusionalisasi) P4 boleh dibilang sukses, tetapi tingkat internalisasi
(menjadi darah daging dan kepribadian) pada warganegara sangat tipis.
Sebagai ekses dari kegagalan P4 sekarang justru nilai-nilai pancasila
yang masih amat berguna bagi bangsa ini menjadi korban ketidak percayaan
masyarakat. Kegagalan pembangunan nilai-nilai dengan P4 ini tidak boleh
dijadikan alasan bahwa bangsa ini tidak perlu lagi melakukan
pembangunan nilai-nilai.
Sejak memasuki masa Reformasi, bangsa
Indonesia ingin melakukan perombakan nilai-nilai Orde Baru yang
dianggap “busuk” dan menggantinya dengan nilai-nilai baru. Dalam periode
yang relatif singkat, parlemen (nasional maupun lokal) meluncurkan
produk-produk hukum yang baru. Akan tetapi pelembagaan (institusionalisasi) hukum ini ternyata tidak diikuti secara seimbang oleh proses penanaman nilai-nilai yang melandasi norma baru tersebut (proses internalisasi).
Misalnya UU Politik yang demokratis tidak diikuti oleh penanaman
nilai-nilai demokrasi pada masyarakat luas baik melalui kehidupan di
keluarga, komunitas, sekolah, media massa dsb. Maka terjadilah suatu
gejala “institusionalisasi tanpa internalisasi“, akibatnya
aturan dijalankan tanpa dilandasi penghayatan nilai-nilai. Melakukan
pemilu tanpa nilai demokratis, menjalankan supremasi hukum tanpa
menjiwai nilai keadilan. Hukum yang tidak didukung oleh system nilai
masyarakat akan tumpul, individu-individu tidak akan memiliki rasa
bersalah bila melanggarnya (tidak ada “inner control” ).
Disamping hilangnya rasa bersalah, masyarakat kita juga mulai kehilangan
rasa malu terhadap sesamanya, ini disebabkan karena kekuatan “kontrol
sosial” mulai memudar dikalangan masyarakat. Bahkan sekarang masyarakat
kita sering melakukan pelanggaran norma secara bersama-sama (misalnya
korupsi “berjamaah”). Orang mengatakan kita sudah kehilangan budaya
malu. Dalam situasi ini satu-satunya “rem” yang bisa menghambat orang
melanggar peraturan adalah rasa takut misalnya terhadap hukuman atau
takut terhadap petugas. Akan tetapi akhir-akhir ini kita melihat gejala
bahwa banyak orang kehilangan rasa takutnya pada hukum, karena hukum
dapat dibeli, dan “diatur”.
Kelompok-kelompok yang membawa
bendera-bendera agama, suku, ras mulai berlahiran kembali seolah-olah
kelompok tersebut tidak hidup dalam sebuah bangsa yang memiliki
keberagaman. Penetrasi ideologi asingpun mudah masuk dan memecah belah
elemen-elemen bangsa ini sehingga menimbulkan pertanyaan benarkah
Pancasila masih merupakan Pandangan Hidup Bangsa ini?. Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia kembali mengalami kemunduran berpuluh-puluh
Tahun dimana sebelum ada Indonesia negara ini terkotak-kotak oleh
semangat kedaerahannya. Padahal Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika
sebagai “Ide utamanya” merupakan bentuk proklamasi dari terbebasnya
Indonesia dari pikiran-pikiran magis tersebut, namun lucunya justru
Rakyat Indonesia malah terjebak dalam “stigma magis” dari
Pancasila.Pancasila dianggap seolah-olah jimat yang memiliki kesaktian
yang mampu bertindak sendiri tanpa dibatasi oleh ruang dan
waktu.Pancasila dianggap dapat terbang dari sabang sampai merauke untuk
mengampanyekan pentingnya Persatuan dan kesatuan Bangsa.Bahkan Pancasila
dianggap dapat memancarkan wibawanya kesuluruh dunia dengan sendirinya
tanpa harus ada yang menceritakannya. Kenyataannya Pancasila itu
tidaklah sesakti itu. Pancasila hanyalah hasil buah pikir manusia, namun
bernilai mulia. Pancasila dapat hidup jika seluruh Bangsa Indonesia
ikut hidup di dalamnya.Pancasila di dalam Indonesia dan Indonesia di
dalam Pancasila sebagai satu kesatuan. Didalam Pancasila terdapat
visi-visi Bangsa ini untuk mengarungi lautan Dunia dalam perjalanannya
sebagai sebuah Negara.Tanpa Pancasila, habislah Indonesia.Sebab
Indonesia ada karena para pendiri Bangsa ini menjiwai Pancasila sebagai
pandangan kebangsaannya. Oleh karena itu meskipun saat ini Pancasila
sebagai pandangan hidup Bangsa sudah menjadi puing-puing reruntuhan,
marilah kita kembali menggalinya dan menyusunnya kembali sebagai sebuah
Ideologi yang menunjukkan Indonesia dalam pergaulan masyarakat dunia.
Apabila internalisasi Pancasila sebagai
ideologi bernegara tidak mendapatkan tempat yang layak, hanya karena
tidak ada komitmen bersama untuk memiliki ketegasan ke arah itu, maka
ancaman terhadap eksistensi bangsa akan selalu muncul. Bahkan boleh jadi
disintegrasi bangsa dapat saja timbul dari benturan-benturan ideologis.
Kini, dapat dicermati maraknya desakan pemberlakuan formalisasi
syari’at Islam di satu sisi dan arus globalisasi dengan neo-liberalisme
dan neo-kolonialisme pada sisi lain.
Pada tataran inilah, penyegaran dan pemaknaan secara kontekstual dan inklusif terhadap nilai-nilai yang terkandung dan menjadi tujuan utamanya Pancasila merupakan suatu hal yang urgen. Dengan cara melakukan interpretasi secara terus-menerus dan mengadopsi semua perkembangan yang sesuai baik dari dalam maupun luar negeri, maka kita dapat menempatkan Pancasila menjadi ideologi yang progresif, dinamis dan bergerak ke depan.
Pada tataran inilah, penyegaran dan pemaknaan secara kontekstual dan inklusif terhadap nilai-nilai yang terkandung dan menjadi tujuan utamanya Pancasila merupakan suatu hal yang urgen. Dengan cara melakukan interpretasi secara terus-menerus dan mengadopsi semua perkembangan yang sesuai baik dari dalam maupun luar negeri, maka kita dapat menempatkan Pancasila menjadi ideologi yang progresif, dinamis dan bergerak ke depan.
Secara subtansial Pancasila adalah common denominator
(“pembagi bersama” alias titik temu) bagi berbagai pemikiran dan aliran
yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sebagai ideologi terbuka,
Pancasila terbuka terhadap ide-ide atau pemikiran yang dikembangkan oleh
para pendukungnya. Bahkan Pancasila juga terbuka terhadap pengaruh
unsur-unsur ideologi asing. Kehadiran ide-ide itu justru menyuburkannya,
karena Pancasila cukup handal secara subtansional untuk tidak terjebak
dalam salah satu ideologi apapun. Pancasila sebagai sebuah teks, memuat
kristalisasi pemikiran kenegaraan yang mendasar sebagai bangsa, yaitu
untuk memberikan kerangka dasar ideologi bernegara Indonesia. Pembacaan
atas perjalanan sejarah Indonesia sampai saat ini sebaiknya dipahami
dalam kerangka Pancasila yang berproses menemukan bentuknya dengan
tradisi-tradisi yang dibangunnya. Inklusifitas pemahaman Pancasila
menjadi agenda utama untuk menemukan nilai-nilai luhur yang sebenarnya
tertanam dalam teks Pancasila.
Seharusnya semua mata pelajaran menganut
filosofi sebagai media internalisasi nilai-nilai Pancasila, yang
tentunya dibutuhkan syarat dan kesesuaian antara dasar yang diajari dan
isi yang diajarkan. Dalam pembelajaran yang ditekankan adalah praktik
dan penanaman nilai-nilai luhurnya yang terimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Kesalahan fatal masa orde baru terhadap pancasila
adalah sepanjang kekuasaanya, pemerintah hanya melakukan Indoktrinasi
kepada semua lapisan masyarakat. Selain itu pancasila dijadikan senjata
dan alasan politik untuk membungkam pihak-pihak yang kritis. Namun tanpa
disadari oleh masyarakat pola doktrin itu justru menjauhkan pancasila
dari nilai-nilai moral yang luhur. Pendidikan dan pembudayaan
nilai-nilai pancasila melalui pranata sekolah memang penting. Karena
pendidikan moral tersebut memiliki misi pembentukan moral dan karakter
bangsa yang ditekankan dalam penerapan nilai-nilai luhurnya, selain
dipelajari sebagai ilmu, Pancasila juga diterapkan dalam kehidupan
sosial. Disetiap kegiatan belajar mengajar disekolah seharusnya bukan
lagi indoktrinasi tetapi diganti dengan internalisasi. Nilai pancasila
hendaknya terisikan pada semua mata pelajaran dan kegiatan
ekstrakurikuler tanpa penghafalan verbal.
Menghidupkan kembali nilai-nilai
Pancasila tidak berarti memuja Orde Baru. Sebagai nilai luhur yang
terbukti mampu merekatkan komponen bangsa di tengah pluralisme,
Pancasila tetap aktual sepanjang zaman tanpa mengenal periodisasi rezim,
harus diakui bahwa buruknya persepsi masyarakat akan Pancasila tak
lepas dari indoktrinasi pada zaman Orde Baru. “Karena itu, dalam
menyelamatkan bangsa dari ancaman perpecahan, pendidikan mental ideologi
hendaknya tidak lagi menggunakan pendekatan indoktrinasi. pendidikan
dan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila melalui pranata sekolah
adalah jalur strategis. Sebab, pada fase anak usia dini hingga fase anak
mencari identitas diri, pembekalan ideologi akan sangat membekas dalam
sanubari. Hal itu juga sejalan dengan misi pendidikan yang tak lepas
dari upaya membangun karakter bangsa. Tentu saja ini tali-temali dengan
peran orangtua serta guru untuk memberikan keteladanan. Dan meskipun
perkembangan karakter seseorang bukan tanggung jawab tunggal sekolah,
secara historis sekolah telah lama berperan penting dalam area ini. Di
sekolah, kaum muda sengaja atau tidak mempelajari bagaimana seharusnya
berperilaku.
Pancasila hadir dengan proses
internalisasi yang mengalir. Ia harus lebih ‘menyapa’ dan bukan
‘memaksa’. Pancasila harus menjadi mainstream di tengah tawaran berbagai
nilai yang punya potensi untuk membawa bangsa ini ke titik nadir.
Pancasila harus menjadi bingkai kebangsaan dan perekat identintas untuk
membawa bangsa ini memasuki panggung global yang keras. Keras karena
bangsa mana pun yang lemah pertahanan dirinya bisa terlempar ke
pinggiran. Ia hanya akan menjadi penonton. Pancasila bisa
‘menyelamatkannya’. Dengan syarat para pemimpin negeri ini bisa menjadi
inspirasi dan berada di barisan terdepan dalam mengimplementasikannya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masyarakat Indonesia saat ini sedang
mengalami krisis nilai, situasi amat anomic karena adanya inkonsistensi
yang tinggi antara nilai-nilai yang di sosialisasikan oleh suatu pranata
sosial dengan pranata sosial lainnya. Pancasila yang mengandung
nilai-nilai religiusitas, kemanusiaan (humanisme), persatuan, demokrasi,
kedaulatan rakyat dan keadilan sosial sudah saatnya dipakai kembali
sebagai landasan untuk mempersatukan dalam membangun kesadaran kolektif
bangsa Indonesia.
Sebagai nilai luhur yang terbukti mampu
merekatkan komponen bangsa di tengah pluralisme, Pancasila tetap aktual
sepanjang zaman tanpa mengenal periodisasi rezim. Karena itu, dalam
menyelamatkan bangsa dari ancaman perpecahan, pendidikan mental ideologi
hendaknya tidak lagi menggunakan pendekatan indoktrinasi, untuk
mewujudkannya maka revitalisasi dan internalisasi nilai-nilai Pancasila
dalam sistem pendidikan nasional merupakan salah satu alternatif yang
penting dilakukan. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk sebagai
warga negara untuk terus mengembangkan serta mengkaji Pancasila sebagai
suatu hasil karya besar bangsa Indonesia ditengah-tengah idiologi dunia
lainnya, dalam rangka menuju cita-cita bangsa dan negara sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
B. SARAN
Pancasila harus direaktualisasikan
sebagai sumber inspirasi yang implementatif (tidak sekadar normatif)
bagi pembangunan dan proses demokrasi bangsa. Pancasila juga harus
disegarkan kembali sebagai jati diri, karakter, sekaligus pemersatu
bangsa. Nilai-nilai Pancasila harus direvitalisasi untuk kepentingan
bangsa, agar dapat merespons kemajuan zaman dengan bijak dan adil,
termasuk meletakkan dan memandang masa lalu, masa kini dan masa depan.
Sistem pendidikan nasional seharusnya menganut filosofi sebagai media
internalisasi nilai-nilai Pancasila, dan selanjutnya menjadi tugas kita
untuk bersama-sama membangun sistem atau institusi dengan berorientasi
pada nilai-nilai Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Castell, Manuel. 2001. The Power of Identity. Massachussetts: Blackwell.
Kaelan. 2006. Revitalisasi dan
Reaktualisasi Pancasila sebagai Dasar Filsafat dan Ideologi Bangsa dan
Negara Indonesia. Seminar satu Abad kelahiran Notonegoro. UGM
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
[1] Kaelan. 2006. Revitalisasi
dan Reaktualisasi Pancasila sebagai Dasar Filsafat dan Ideologi Bangsa
dan Negara Indonesia. Seminar satu Abad kelahiran Notonegoro. UGM
[2] Manuel Castell. The Power of Identity. Massachussetts: Blackwell, 2001, h. 9.
[3] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[4] Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan