Mahasiswa. Saya tidak tahu sejarahnya. Kenapa
orang studi lanjut setelah SMA diberi nama mahasiswa. Kalau kata siswa
biasanya digunakan untuk menyebut peserta didik dari kelas satu SD
hingga SMA, dan setelahnya dari S1 hingga S3 mendapat tambahan ‘maha’. Dalam Bahasa Indonesia kata maha biasa digunakan untuk menyebut kekuasaan Tuhan. Misalnya, Maha Esa, Maha Agung, dan segala maha yang lain. Tidak tahu kenapa bagaimana mulanya muncul istilah mahasiswa.
Pada suatu ketika saya pernah mendengar pengajian Emha Ainun Najib saat diundang mengisi acara Ospek di kampus IKIP PGRI Semarang beberapa tahun yang lalu. Kata Cak Nun kira-kira
begini “Sepertinya ada yang salah dengan memberi panggilan mahasiswa.
Lha maha itukan milik Tuhan. Makanya sekarang banyak yang kuwalat, hamil
duluan.”
Mungkin Bangsa Indonesia ingin memberi tempat
istimewa kepada kaum terpelajar ini. Bangsa Indonesia berharap banyak
pada pemudanya. Pemuda yang terdidik tentunya. Pada kelanjutan
sejarahnya memang mencatatat mahasiswa mendapat tempat istimewa di
negeri ini. Bisa jadi diistimewakan bisa jadi merasa istimewa. Saya
masih ingat waktu masih kecil dulu ketika datang mahasiswa Kuliah Kerja
Nyata (KKN) di kampung kami. Mereka disambut seperti tuan-tuan,
dihormati, berbaju bagus-bagus, wajahnya bersih-bersih, yang laki-laki
ganteng-ganteng, yang putri cantik-cantik, sopan-sopan dan berbudi
pekerti. Bayangan saya tentang mahasiswa terpatri oleh mahasiswa KKN di
kampung saya saat masih kecil dan kesan tersebut patah saat saya menjadi
mahasiswa pada awal tahun 2000.
Kenapa mahasiswa terasa istimewa? Pertama, karena
mereka adalah memiliki akses ilmu pengetahuan lebih dibanding
warganegara lain. Kelebihan yang kedua, mahasiswa adalah dalam usia
muda, ia sudah melepas masa anak-anak tetapi belum direpoti oleh urusan
keluarga. Ada warga negara lain yang muda dan terpelajar yaitu santri
yang belajar di pondok pesantren. Tapi manusia yang tidak pernah bisa
lepas dari sarung ini dianggap kuno dan tradisionil.
Kita juga mengenal gerakan mahasiswa. Ada gerakan
yang dikenal dengan angkatan 66, yang atas nama rakyat menuntut
perbaikan nasip rakyat, turunnya harga-harga bahan pokok, dan hal-hal
lain. Masa ini saya tidak begitu tahu karena belum lahir. Tapi gerakan
mahasiswa tahun 1998 yang berhasil menuntut mundur presiden Soehaeto
yang telah berkuasa selama 33 tahun itu saya menjadi saksi. Tahun
tersebut saya sudah masuk MAN, sekolah setingkat SMA yang banyak
pelajaran agama Islam. Melalui pesawat TV saya melihat demonstrasi
mahasiswa yang mengepung gedung DPR. Saya juga menyaksikan Pak Harto
berpidato menyatakan pengunduran dirinya. Saya juga menyaksikan toko dan
pabrik ditulisi pro reformasi agar tidak diamuk masa yang beringas.
Hebat bukan? Mahasiswa dengan sangat menyakinkan menjadi penentu arah
sejarah bangsa. Maka wajar kalau mereka menyebut dirinya agen perubahan.
Maka kalau ada mahasiswa petantang-petenteng berilah jalan dan
maklumilah, karena mereka agen perubahan.
Jauh sebelum merdeka para mahasiswa
(waktu itu masih disebut pelajar) menggangas kongres pemuda yang
kemudian menghasilkan sumpah pemuda. Pertemuan yang menjadi cikal bakal
berdirinya negara Indonesia ini rapatnya dilaksanakan si indekos.
Bukti lain betapa mahasiswa dan mahasiswi berharga.
Di swalayan jika ada kejadian pencurian dan diketauhi pencurinya adalah
mahasiswa maka akan menjadi berita yang menarik dibanding kalau
pelakunya orang biasa. Penjaja sek konon akan memiliki harga lebih
tinggi kalau statusnya mahasiswi. Konon sensasinya berbeda.
Kalau Anda sering melihat tontonan di TV seperti
hitam putih, bukan empat mata, OVJ banyak ditonton mahasiswa jangan
heren. Para produser acara itu sengaja menghadirkan mahasiswa lengkap
dengan jas almamaternya sebagai penonton. Semakin terkenal perguruan
tingginya semakin ditempatkan di tempat yang sering tersorot kamera.
Kenapa musti mahasiswa yang menonton? Kenapa pula harus mengenakan jaket
almamater? Disinilah sebenarnya mahasiswa menjadi barang jualan tanpa
sedikitpun mereka sadari.
Di tempat tersebut mahasiswa memang
berperan sebagai penonton, tetapi dari layar televisi mereka adalah
tontonan. Seperti PSK tadi segala yang menyandang predikat mahasiswa
maka akan bernilai lebih. PSK berstatus mahasiswi akan memiliki nilai
lebih, begitu pula dengan penonton berstatus mahasiswa juga memiliki
nilai lebih. Sensasinya lain bung.
Sebuah acara televisi yang ditonton mahasiswa
beralmamater maka akan memberi kesan intelek, cerdas, tontonan orang
terpelajar, tontonan bermutu, berkelas, dan segala hal yang sebelumnya
tercitrakan oleh mahasiswa. Meskipun sebenarnya yang mereka tonton
adalah acara gojegan dan kehadiran mahasiswa situ hanya sebagai peramai
suasana yang disuruh tertawa secara serentak, kemudian sambil bergoyang
tangan meneriakkan “eee aaa, eee aaa”.