Eksploitasi Perempuan dan Anak di Perkebunan Kelapa Sawit

Hegemoni Yang Tersembunyi Hegemoni Teks dan Wacana



Saat ini Indonesia memiliki luas lahan perkebunan kelapa sawit sekitar 7,8 juta hektar dengan pertumbuhan perluasan lahan rata-rata 15% setiap tahun dan mampu mengeksport sekitar 11,95% dari keseluruhan produksi 15,8 juta ton CPO dunia.[1] Pemerintah Indonesia masih memberi kemungkinan memperluas perkebunan kelapa sawit sampai 24 juta hektar. Karena kontribusinya terhadap devisa negara cukup besar; USD 5,8 juta tahun 2006, dan pada tahun 2007 sebesar 6,7 % pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh pendapatan dari industri kelapa sawit. Dari kelapa sawit ini pula Indonesia mengalami pertumbuhan ekspor yang luar biasa antara tahun 2003 dan 2010, berlipat ganda menjadi 16,2 juta ton (musim panen 2009/2010) dan berdasarkan perkiraan akan terus meningkat.

Begitu besar prospeknya, begitu besar kontribusinya terhadap kuantitas dan kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pantas, jika pemerintah membuka peluang ekspansi besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia melalui berbagai kemudahan (regulasi, struktur dan infrastruktur penopangnya) termasuk menghegemoni-kan wacananya.

Hegemoni wacana tidak sesederhana sebagai dominasi ideologis, melainkan bergerak pada level makna bersama (common sense) dalam asumsi-asumsi yang dibuat mengenai kehidupan social, ekonomi dan politik pada wilayah yang diterima sebagai sesuatu yang alamiah atau proses yang memang “harus begitu”. Common sense mendeskripsikan segala sesuatu yang “setiap orang tahu dan menyetujui”[2]. Ini memberi implikasi pada persetujuan masyarakat adat misalnya, menyerahkan tanah adatnya untuk perkebunan kelapa sawit dengan asumsi “daripada menjadi hutan tak terawat”. Atau perempuan yang dieksploitasi sebagai buruh dengan upah murah, dengan ungkapan “mau apa lagi, daripada nganggur”. Ketika seseorang mengadopsi asumsi common sense, mereka juga menerima seperangkat keyakinan tertentu (idiologi) mengenai hubungan social “yang lain sudah menyerahkan tanahnya, gak enak kalau kita gak ikut”.

Padahal, di balik industrialisasi perkebunan kelapa sawit dengan skema penggunaan lahan luas dalam jangka panjang dan tentu saja upah buruh yang rendah (meneruskan sistim kuli kontrak jaman Belanda) terdapat ribuan konflik antara perusahaan perkebunan sawit dan masyarakat lokal di Indonesia[3]. Konflik-konflik tersebut pun lebih dilihat (diwacanakan) hanya sebagai konflik seputar kepemilikan lahan antara pengusaha yang “mengantongi izin resmi” dengan rakyat pemilik tanah (yang seringkali) tak bersertifikat. Biasanya konflik berujung pada penyelesaian ganti rugi yang layak atau tidak layak. Begitu juga konflik antar perusahaan perkebunan sawit dengan buruh, berakhir di meja perundingan atau pengadilan dengan pengganti upah (pesangon) layak atau tidak layak.

Meskipun faktanya ribuan hektar areal hutan yang dikonversi menjadi industri besar kelapa sawit di berbagai wilayah di Indonesia sudah terbukti menimbulkan dampak buruk; menyebabkan pengrusakan lingkungan, penggusuran, konflik lahan, konflik social, sampai kekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun fakta ini hanya dianggap sebagai “kampanye negative” terhadap industry perkebunan kelapa sawit. Wacana sukses perkebunan kelapa sawit telah sukses pula mengkonstruksikan common sense disemua level; pemodal, pasar, pemerintah dan rakyat.

Eksploitasi Perempuan dan Anak

Dalam terminology lingkungan, ekploitasi adalah mengusahakan atau mendayagunakan dan mengeruk (kekayaan alam ; perkebunan, tambang, dll) untuk keuntungan sendiri. Dan industrialisasi perkebunan besar kelapa sawit tidak hanya telah mengeksploitasi kekayaan alam (lingkungan), tetapi juga mengeksploitasi manusia, laki-laki, perempuan, tua-muda dan anak-anak, mendayagunakan, menghisap sehabis-habisnya.***

Ekspoitasi terhadap perempuan dalam kerangka industry kelapa sawit adalah contoh bagaimana sistim kapitalisme bermain “cerdik” dalam kerangka besar patriarki dan jender. Industri kelapa sawit seolah-olah menjadi agent (pembaharuan) yang berjasa memberikan pengakuan setara terhadap perempuan, mendengarkan hak mereka dan menerimanya di luar rumah. Secara gradual[4], perempuan masuk ke dalam pasaran kerja dan memainkan peranan yang lebih besar di ranah social, menerima upah (cash many) sebagaimana laki-laki, “menjemput” ke luar dari kerangka peran jender yang “me-rumahkan” perempuan. Padahal di balik industry perkebunan kelapa sawit itu telah terjadi penghisapan manusia (perempuan) sebagai tenaga yang murah dan (harus) mudah diatur. Bukan proses mendayagunakan, melainkan sebuah gagasan besar tentang pengisapan dan pemerasan atas diri perempuan untuk keuntungan para industrialis.

Proses penghancuran sumberdaya alam yang terjadi dalam skema perkebunan besar kelapa sawit benar-benar telah menciptakan rangkaian kekerasan terhadap perempuan berbasis jender dalam relasi personal, dalam komunitas, di dalam lingkup negara, dan terkait erat dengan agresi modal besar. Seluruh rangkaian kekerasan tersebut terjadi karena penghancuran sumberdaya alam telah mengakibatkan hancurnya pengetahuan perempuan, hilangnya hak perempuan atas sumberdaya alam dan lemahnya organisasi-organisasi perempuan di tingkat akar rumput, (Komnas Perempuan 2008).[5]

Sistim kapitalisme memang tidak mengenal aspek humanisme. Penghancuran sumberdaya alam besar-besaran untuk industry kelapa sawit telah menyebabkan hancurnya keanekaragaman hayati, sekaligus menghancurkan sumber-sumber kearifan dan pengetahuan local (pengetahuan perempuan ; meracik obat-obatan tradisional dan pangan alternative) yang selama ini dikelola dengan arif oleh perempuan dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran keluarganya. Penghancuran ini berlanjut pada ancaman terhadap kedaulatan pangan yang kita hadapi sekarang. Para industrialis, pasar, negara dan masyarakat juga menggunakan pendekatan jender dan kekuasaan patriarki dengan baik, dengan membangun common sense dalam konstruksi yang kokoh dengan asumsi-asumsi yang setiap orang tahu dan menyetujui bahwa “ketahanan keluarga” adalah tanggungjawab perempuan.

Ini adalah bentuk eksploitasi terhadap perempuan pada fase awal dibangunnya industry perkebunan kelapa sawit dalam skala besar. Eksploitasi yang langsung menghisap habis sumber-sumber pengetahuan dan sumber-sumber penghidupan yang selama ini dikelola oleh perempuan, siapa pun perempuan itu dan dimana pun. Eksploitasi selanjutnya adalah dengan meletakkan tanggungjawab social-ekonomi, dampak dari kehancuran ini, kepada seluruh perempuan, baik di dalam maupun di luar areal perkebunan[6].

Perempuan yang menjadi keluarga buruh perkebunan kelapa sawit mengalami eksploitasi yang berlipat ganda. Kebanyakan lokasi perumahan mereka berada di tengah-tengah areal perkebunan yang disebut Afdeling, jauh dari pusat-pusat pemerintahan atau pusat aktifitas sosial. Mereka tinggal di rumah sempit dengan sedikit halaman. Sulit beternak, karena perkebunan tidak menyediakan lahan menggembala ternak, bahkan beberapa perusahaan perkebunan “melarang” ternak masuk ke areal perkebunannya. Mereka terasing, sumberdaya dan akses informasi sangat terbatas, infrastruktur yang kurang memadai (kondisi jalan yang buruk dan sarana transportasi yang sulit) lokasi pasar, sekolah, dan rumah sakit semuanya jauh. (Ini adalah sebuah penderitaan tersendiri yang tidak dialami oleh perempuan yang bukan dari kalangan buruh perkebunan).

Untuk mendapatkan penghasilan lebih memadai, para istri dan anak-anak ikut menjadi buruh di perkebunan. Seringkali tenaga mereka diperlukan untuk membantu suami memenuhi target hasil yang ditetapkan oleh perusahaan. Jadi, hanya membantu, tak dapat gaji. Banyak juga yang bekerja menjadi BHL (Buruh Harian Lepas) dengan jenis pekerjaan berdasarkan kebutuhan perusahaan, upah rendah, jam kerja tak terbatas dan tanpa jaminan social sebagaimana buruh SKU (Syarat Kerja Umum). Anak-anak yang belum bisa bekerja ditinggal di rumah, dititipkan pada tetangga, atau tempat penitipan anak (jika ada). Karena ibu mereka harus memeras tenaga, bekerja di perkebunan. Ini adalah eksploitasi berikutnya terhadap perempuan dan anak-anak. “Mau bagaimana lagi, kalau gak kerja keras gak makan-lah kami,” begitu kata mereka dengan tabah. Perkebunan kelapa sawit telah membuat hidup mereka sekedar untuk makan, dan menyaksikan dunia luar melalui saluran televisi (jika ada).

Tiap tahun, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengolah minyak mentah akan menghasilkan jutaan ton limbah dari buah sawit yang sudah direbus. Ketika limbah itu dibuang di areal perkebunan, ada jutaan lalat memenuhi perumahan di perkebunan, sampai ke perumahan di kampung-kampung yang berdekatan dengan perkebunan, selama berbulan-bulan. Ini adalah musim berbagai penyakit yang melanda (terutama) anak-anak. Ini adalah masa sibuk dan panik kaum perempuan, merawat anak-anak mereka, tanpa santunan (ganti rugi) biaya perawatan kesehatan dari perusahaan. Lagi, perempuan dan anak dihisap daya tahan tubuhnya, demi berprosesnya produksi minyak kelapa sawit. Tapi kondisi ini tak dianggap masalah serius, “memang musim buang janjangan….” Begitu komentar warga perkebunan.

Perkebunan kelapa sawit memang telah sukses mengubah kehidupan perempuan baik secara ekonomi, social, budaya maupun politik, melalui skema besar penghisapan alam dan manusia. Perempuan telah menjadi mesin tua, sekaligus minyak pelumas yang menghidupkan lalu bergerak kemanapun, mengikuti mesin yang dikendalikan oleh skema besar kapitalisme global. Tapi, mayoritas bilang ; “mau bagaimana lagi...bisa kerja kebon saja syukur,”

Common sense yang mendefinisikan asumsi-asumsi, bekerja memberikan stabilitas dan legitimasi bahwa perkebunan kelapa sawit “memang harus” telah sukses menghegemoni. Ini pun eksploitasi tersembunyi yang terus-menerus terjadi
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faqih Muhammad - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger