Pendidikan

Yang miskin mundur

Dengan sedih orang tua itu memilih mundur batal  menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI.Matanya terbelalak saat di haruskan meebayar Rp 6 juta untuk anaknya yang ingin masuk SMP Negeri Bertaraf Internasional itu.”saya Cuma tukang bangunan bayaran saya Rp 75.000 per hari.Kalau harus harus membayar segitu,berapa bulan kami berempat harus tidak makan?” ujarnya orang tua yang memiliki dua anak.
Dirinya dan banyak orang tua hari –hari ini dipusingkan biaya pendidikan yang kian mencekik leher.Untuk masuk SMP atau SMA berlabel internasional,seorang siswa akan dipungut Rp 6 juta –Rp 8 juta dan uang sekolah Rp 450.000 – Rp 500.000 per-bulan.Bayangkan anak-anak tidak bisa sekolah karena tak ada biaya segera menjadi momok  dan menakutkan.Mahalnya biaya pendidikan otomatis  juga mempersempit akses warga Negara miskin mendapat dan menikmati pendidikan yang baik,seperti warga lain.”Mahalnya pendidikan akan memaksa kaum miskin untuk minggir.Seperti itulah yang kini terjadi.

Sekolah Bermetamorfosis

Memang pasca reformasi  politik tahun 1998,mulai banyak sekolah “bermetamorfosis”.Salah satu contohnya ,SMPN 11 Jakarta yang tahun  berinisiatif mengajukan diri menjadi RSBI ,tetapi tidak lolos verifikasi.Setelah menjadi sekolah standard nasional (SSN),sekolah itu disetujui menjadi RSBI dengan target mampu mengisi delapan kelas 1 masing-masing 30 siswa,”salah satu tuntutan RSBI,harus menggunakan pengantar bahasa inggris.Kan banyak orang tua yang menginginkan anaknya bisa bahasa inggris aktif.
Proses” metamorfosis “ muncul seiring dengan terjadinya perubahan Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional nomor 2 Tahun 2003.Perubahan ini berdampak amat luas terhadap proses penyelenggaraan dan pengolahan pendidikan nasional.Munculnya Pasal 50 Ayat  3: pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”,ternyata berdampak pada pengotak-ngotakan sekolah.Sekolah pun terbagi  dalam sejumlah strata: sekolah bertaraf internasional (SBI) ,rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI),sekolah standar (SSN),dan sekolah regular ,yang (sebenarnya) hanya dtentukan besaran pembayaran alias uang.
Konsep SBI sendiri sebenarnya belum jelas.Yang selalu dikatakan adalah operasionalnya menggunakan bahasa inggris dalam pengantar dan buku-buku untuk beberapa pelajaran seperti Bahasa inggris,IPA,dan Matematika,kelas ber –AC ,menggunakan internet,study tour,tiap anak harus dipungut Rp 8 juta?Belum lagi ,pemerintah mengucurkan dana lebih dari 1 miliar untuk tiap sekolah RSBI selama tiga sampai empat tahun.
Dalam masyarakat demok­ratis setiap orang memiliki hak terhadap pendidikan yang terbaik. Banyak orang tua di Indonesia menyekolahkan anak mereka ke luar negeri demi memperoleh pendidikan yang berkualitas, menghabiskan banyak uang. Dilihat dari perspektif ekonomi, dengan mengirimkan anak-anak untuk sekolah internasional di dalam ­negeri tentu lebih bisa meng­hemat devisa.
Pembentukan sekolah inter­nasional yang berkualitas, sebagaimana diamanatkan oleh UU Sisdiknas, memang diang­gap sebagai suatu jalan ke­luar. Pembentukan sekolah-sekolah tersebut telah ditang­gapi positif oleh orang tua yang enggan mengirim anak-anak mereka ke luar negeri demi alasan budaya. Mereka khawatir pendidikan Barat akan merusak budaya dan agama.
Di kota-kota besar banyak sekolah internasional “berme­rek” telah dibentuk oleh yaya­san Islam. Banyak kalangan pendidik khawatir bahwa seko­lah internasional dalam jangka panjang akan merusak sistem pendidikan nasional, yang bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai adat dan budaya jangka panjang dan berakar di bumi Indonesia.
Ketergantungan yang terla­lu tinggi pada bahasa Inggris akan mengakibatkan dampak negatif sebagai berikut: (1) siswa akan melupakan bahasa nasional yang telah diperoleh, dan (2) siswa akan mengem­bangkan sikap bahwa Indo­nesia bukanlah bahasa sains; matematika, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengaruh negatif dari pen­didikan Barat amat kentara, terutama di kalangan dosen di perguruan tinggi. Dalam penga­matan saya, banyak dosen Bahasa Indonesia dengan latar belakang pendidikan Barat enggan untuk menerbitkan tulisan atau penelitiannya di Indonesia dan lebih memilih untuk menulis dalam bahasa Inggris dan menggunakan buku teks bahasa Inggris. Inilah para staf pengajar yang membuat mahasiswa beranggapan bahwa Bahasa Indonesia tidak mampu terlibat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tekno­logi. Dengan kata lain, Bahasa Indonesia dibuat telah tidak berdaya oleh kaum intelektual di kampus-kam­pus. Kam­panye sekolah internasional bahkan akan memperburuk situasi.
Intinya, sekolah interna­sional tidak boleh menum­bangkan nasionalisme. Korea, Jepang dan Cina – sekadar menyebutkan beberapa nama- telah memberikan contoh yang baik. Mereka bangga dengan bahasa nasional mereka sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka berkomit­men untuk mendidik warga negara mereka melalui pub­likasi dalam bahasa nasio­nal. Pelajaran yang dipelajari adalah bahwa kita harus me­ngem­bangkan pendidikan yang berkualitas tanpa meming­girkan bahasa nasional. Kefasihan dalam bahasa Inggris adalah produk sampingan, bukan akhir.
Dalam analisis akhir, kata kunci dari wacana bukan “sekolah internasional” tapi “ sekolah berkualitas.” Apa yang membuat sekolah internasional adalah kualitas, bukan sebalik­nya. Ada tiga prasyarat kualitas sekolah: keketatan akademis, harapan yang tinggi, dan guru yang ahli.
Keketatan akademik me­nsya­ratkan adanya upaya yang sengaja dan serius untuk men­ciptakan lingkungan yang kondusif dalam proses belajar mengajar. Sekolah meman­faatkan sumber daya yang kaya untuk memfasilitasi krea­tivitas. Manajemen sekolah selalu bertanya, “Apa yang terbaik untuk mahasiswa?” dan “Apa yang penelitian kata­kan?”. Harapan tinggi menyi­ratkan bahwa setiap orang keinginan prestasi setinggi mungkin. Siswa diberikan kesempatan untuk menjadi yang terbaik yang mereka dapat.
Sementara, guru yang pakar di bidangnya adalah mereka yang menguasai pengetahuan konten, mengembangkan ran­cangan pembelajaran dan manajemen kelas. Rancangan pembelajaran dan pengjaran didasarkan pada tiga prinsip: belajar mandiri dan kolaboratif, berorientasi tujuan, dan rele­van. Mereka mengembangkan hubungan dengan siswa dengan membangun ikatan yang kuat dan mengetahui siswa secara individual. Hasil akhirnya adalah lingkungan belajar yang kuat yang difokuskan pada pembelajaran siswa.
Menurut keterangan,sistem evaluasi sekolah SBI dan RSBI  mengikuti Cambrige,negeri maju.Kenyataanya,dalam ujian nasional lalu soal-soal yang diajukan menggunakan bahasa Indonesia.Apanya yang internasional? Maka,SBI sering dipelesetkan menjadi sekolah Bertarif internasional.

Jangan terjebak!!!!!

Seharusnya pemerintah mencermati ulang orientasi  dan substansi penyelenggaraan pendidikan nasional jangan terjebak atau tertipu gelombang zaman.Dalih menyiapkan anak dalam kultur global dengan  sekolah bertaraf internasional adalah salah.
“Alasannya ,mendidik dalam kultur global tak terkait dengan standar internasional.Di Negara-negara mapan dan matang.SBI tidak dibiarkan mengacaukan system pendidikan yang sudah ada.Seharusnya pendidikan nasional menjadi bagian integral proses politik,kebudayaan,dan  kultur sebuah bangsa.
Kini dampak penginternasionalan tarif sekolah membuat banyak sekolah berlomba mengikuti jalan itu.Namun,jika upaya  ini terus berlanjut ,dikhawatirkan kian memiggirkan kaum miskin,hanya kerena tak mampu membayar.Hal ini akan membatasi kesempatan setiap orang memperoleh pendidikan yang baik.Sekolah akan berubah menjadi”sekolah elit”.Siswa tak lagi belajar hidup dengan teman-teman dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi.Padahal ,selalu digembor-gemborkan.sekolah”warni-warni”akan menjadi pendorong lahirnya generasi penuh empati.Lha piye iki?
Masalah diskriminasi yang terlanjur berjalan dalam dunia pendidikan harus ditinjau ulang.Bagi bangsa ini,dampak lebih luas apa yang bakal muncul bila pola pengembangan pendidikan di Indonesia dijalankan dengan pengotak-ngotakan.Berapa juta anak miskin,yang seharusnya  menjadi tanggung jawab pemerintah,terbengkalai?berapa juta anak pandai yang terkendala dana tidak bisa mengenyam pendidikan yang bagus dengan fasilitas internasional hanya karena status mereka miskin ? tokoh lintang dalam film laskar pelangi bisa di jadikan contoh.
Para bapak bangsa Indonesia berkali-kali menyatakan ,pendidikan yang bagus adalah kunci memutus rantai kemiskinan.Itu berarti semua warga Negara berhak mendapat pendidikan yang bagus .Apabila pendidikan bagus hanya dinikmati segelintir orang dan sebagian besar rakyat Indonesia harus menikmati pendidikan apa adanya,tidak heran kita hanya mengekspor tenaga kerja yang dihargai murah.Inikah yang disebut pendidikan yang demokratis???????

Faqih  Muhammad
FIP Universitas Negeri Yogyakarta
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faqih Muhammad - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger