Naik kereta api tut ut tut/siapa hendak turut/…
kereta ku tak berhenti lama (nyayinan waktu kecil).
Dengan keberagaman hidup jadi indah dan penuh warna warni
Pendahuluan
Nyanyian
kereta api yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak adalah mengambarkan
nasib sebagian penghuni bumi yang tersisir ditinggalkan oleh kereta
globalisasi yang melaju semakin kencang. (B.Hari Juliawan, Keretaku Tak Berhenti Lama).
Memasuki melinium ketiga ini kita disibukan dengan dengan istilah
globalsasi yang menjadi arus tidak dapat di bendung. Shimon Peres
menyatakan kekuatan globalisasi sebagai pengalaman orang yang bangun
pagi dan melihat segala sesuatu sudah berubah. Banyak hal yang kita
anggap suatu kebenaran suatu waktu menghilang tanpa bekas. Para pakar
mengakuinya bahwa sekarang perubahan kehidupan manusia terbawa oleh arus
global. Masyarakat atau bangsa yang kurang siap akan terbawa oleh arus
global. (H.A.R.Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan). Senada
pula yang diutarakan oleh Giddens bahwa globalisasi barangkali bukanlah
perkataan yang sangat menarik atau elegan. Namun demikian, tidak
seorangpun memahami prospek kehidupan kita diakhir abad ini tidak dapat
mengabaikannya. Globalisasi berkaitan dengan tesis bahwa
kita sekarang hidup di satu dunia, tetapi dengan mudah kita dapat
melakukan perjalanan keliling dunia. Dalam setiap Negara membicarakan
globalisasi dengan cukup intenship seperti kata globalisasi dikenal oleh warga Prancis dengan mondialisation, sedangkan di Spayol dan Amerika Latin kata ini adalah globalizacion dan untuk Jerman meyebutnya dengan globalisierung. (Anthony Giddens, Runaway World).
Mengenai
fenomena globalisasi sudah banyak dibicarakan dari orang bahkan tukang
becak mahir mengucapkan globalisasi, anak muda pengelana mol,
sampai-sampai pak bupati rajin mengulang-ngulang kata itu, kadang-kadang
sambil meyumpahi dan lain kesempatan sambil bersyukur. Globalisasi
diibaratkan sebagai “pisau” yang bermata ganda sebagai kutukan dan
berkah. Menurut versi pejabat globalisasi menarik invertor asing yang
kemudian menjelma menjadi lapangan pekerjaan. Sebagai kutukan,
globalisasi dikambinghitamkan oleh pemuka agama yang mengeluhkan
merosotnya moral kaum muda setelah mengenal internet dan gaya hidup
barat. (B.Hari Juliawan, Keretaku Tak Berhenti Lama).
Bahwa manusia hidup dalam reliatas yang plural, hal yang sama juga pada masyarakat Indonesia yang majemuk (plural society). Corak
masyarakat Indonesia adalah ber-Bhenika Tungal Ika, bukan lagi
keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, melainkan keanekaragaman
kebudayaan yang berada dalam masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat
majemuk seperti Indonesia dilihat memiliki suatu kebudayaan yang berlaku
secara umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya sebagai mosaik.
Seperti yang telah dikemukan oleh the fanding father bangsa Indonesia bahwa kebudayaan bangsa Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. (Pasudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Masyarakat
yang plural merupakan “belati” bermata ganda dimana pluralitas sebagai
rahmat dan sebagai kutukan. Pemahaman pluralitas sebagai rahmat adalah
keberanian untuk memerima perbedaan. Menerima perbedaan bukan hanya
dengan kopetensi keterampilan, melainkan lebih banyak terkait dengan
persepsi dan sikap sesuai dengan realitas kehidupan yang menyeluruh.
Sedangkan pluralitas sebagai kutukan akan menimbulkan sikap penafian
terhadap yang lain, baik individu ataupun kelompok, karena dianggap
berbeda dengan dirinya, dan perbedaan dianggap menyimpang atau salah.
Penafian terhadap yang lain pada hakekatnya adalah pemaksaan keseragaman
dan menghilangkan keunikan jati diri yang lain, baik individu atau
komunitas. Modus relasi hegemonik berarti mengandaikan konstruksi sosial
herarkis, dan membangaun pengakuan bahwa seseorang atau kelompok lain
unggul atas yang lain, serta mengajukan klaim yang melibihi hak-haknya
dengan cara merampas hak-hak pihak lain. (Salam Redaksi, Kalimatun Sawa,
MultiKulturalisme Desa Global). Menurut Suparlan yang mengutip dari Fay, Jary
dan J. Jary dalam acuan utama masyarakat yang multikultural adalah
multikulturalisme, nyakni sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individu ataupun secara kebudayaan. (Pasudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Globalisasi
Bahasa globalisasi patut mendapatkan perhatian. Bahasa
globalisasi patut mendapatkan perhatian khusus. Kata globalisasi itu
sendiri, dalam kebanyakan penggunaannya tidak mengandung satu konsep
tertentu. Persolannya tidak sekedar penggunaan kata oleh intelektual,
penggunan istilah yang kabur maknanya itu merupkan tabir yang efektif
untu menutup sebab akibat. Menegah analisis tentang apa yang sedang
terjadi, oleh siapa, terhadap siapa, untuk siapa, dan dengan akibat apa. Terdapat
dua macam perkembangan modalis di padukan dengan istilah globalisasi.
Pertama, perkembangan teknologi dan kedua, paerkembangan dalam pemusatan
kekuasaan. (Peter Marcus, Memahami Bahasa Globalisasi). Globalisasi
ini berarti terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama
di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, dan informasi hasil
moderniasasi teknologi. Pertemuan dan gesekan ini akan
menghasilkan kompetisi liar yang saling dipengaruhi dan mempengaruhi,
saling bertentangan dan bertaberakan nilai-nilai yang berbeda yang akan
menghasilkan kalah atau menang atau kerjasama yang menghasilkan sintesa
dan analisis baru. (Qodri Azizy, Melawan Globalisasi).
Beberapa
pemikir memperdebatkan pandangan tentang globalisasi yang masing-masing
berbeda satu sama lainnya. Kaum skeptis, hal yang dibicarakan tentang
globalisasi adalah omong kosong. Adapun manfaat, cobaan, dan
kesengsaraan yang ditimbulkannya, ekonomi global tidak begitu berbeda
dengan yang penah terjadi pada periode sebelumnya. Kaum ini berpandangan
banyak negara yang memperoleh sedikit pendapannya dari perdagangan luar
negeri. Kaum skeptisme ini, cenderung dialiran kiri politik, sebab
bahwa semua ini hanya mitos, pemerintah yang mengendalikan kehidupan
ekonomi negara dan kesejahteraanpun tetap utuh. Gagasan globalisasi
merupakan ideologi yang disebarluaskan oleh para pendukung pasar bebas
yang membongkar kesejahteraan dan mengurangi pengeluaran negara.
Selanjutnya adalah kelompok radikal bahwa globalisasi tidak hanya sangat
riil, melainkan juga konsekuensi yang dirasakan dimanapun. Pasar
global jauh lebih berkembang dan mengabaikan batas-batas negara. Banyak
bangsa telah kehilangan daulatnya, dan para politisi telah kehilangan
kemampuannya untuk mempengaruhi dunia. Kelompok yang masuk aliran kanan
adalah kaum radikal. (Anthony Giddens, Runaway World).
Pasca
perang dingin beberapa system baru menggugurkan hal yang mempersiapakan
rangka kerja yang berbeda untuk hubungan internasional. Pasca perang
dingin suasana dunia sangat berantakan, membingungkan dan tak
terdefinisikan. Tetapi lebih dari itu kita berada dalam system
internasional yang baru. System yang baru tersebut memiliki logika
sendiri yang unik, berbagai peraturan, tekanan intensif, dan memiliki
nama sendiri nyaitu globalisasi. Globalisasi bukan hanya model ekonomis,
dan bukan hanya model yang telah berlalu. Ini merupakan system
internasional yang dominant yang menggantikan system perang dingin
setelah runtuhnya tembok Berlin di Jerman. Makasud dari sebagai system
internasional dalam perang dingin memliki struktur kekuatan sendiri
keseimbangan antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Perang dingin
memiliki trent tersendiri yaitu pertikaian antara kapitalisame dengan
komunisme, antara blok barat dengan timur. Dari seluruh elmen yang
berada dalam perang dingin tersebut mempengaruhi politik, perdagangan
dan hubungan Negara diberbagai belahan dunia. (Thomas L.Freidman, Memahami Globalisasi).
Sedangkan
globalisasi merupakan system internasional yang serupa dengan atribut
unik dan berbeda, dan memiliki ciri yang istimewa integrasi. Dunia
menjadikan tempat untuk menjalin hubungan, dan hari ini, apakah ada
suatu Negara atau perusahaan ancaman dan peluang anda semakin tergantung
dari kepada siapa anda dihubungkan. Globalisasi ini dihubungkan dengan
satu kata jaringan (web). System globalisasi
bersifat dinamis dan berkesinambungan. Maka dalam mendefinisikan
globalisasi adalah integerasi yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dari
pasar, Negara dan teknologi sampai pada tingkat yang tak pernah
disangsikan sebelumnya dalam caranya yang memungkinkan setiap individu,
perusahaan dan bangsa-bangsa untuk mencapai seluruh dunia yang lebih
jauh, lebih cepat lebih murah dari yang pernah ada sebelumnya. Sedangkan
ide di belakang globalisasi adalah kapitalisme pasar bebas dan semakin
anda membiarkan maka kekuatan pasar bekuasa dan semakin anda membuka perekonomian anda bagi pergagangan bebas dan kompetisi. Globalisasi
berarti penyebaran kapitalisme pasar bebas keseluruh Negara di dunia.
Globalisasi memiliki meliki peraturan perekonomian tersendiri peraturan
yang bergulir sekitar pembukaan deregulasi, privatisaasi perekonomian
guna lebih kompetitif dan ateraktif bagi invertasi luar negeri. (Thomas
L. Freidman, Memahami Globalisasi).
Kreteria ekonomi yang melekat pada arti globalisasi merupakan kelanutan kriteria ekonomi yang melekat pada pembangunan (development). (Herry Priyono, Marginalisasi ala Neoliberal).
Proses globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan paham
kapitalisme, nyakni kini terbuka dan menggelobalnya peran pasar,
investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional
yang kemudian dikuatkan oleh ideologi dan tata dunia perdagangan dibawah
satu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara
global. Globalisasi mencul bersamaan dengan runtuhnya pembangauanan di
Asia Timur, era globalisasi ini yang memiskinkan rakyat di dunia ketiga
seolah-olah merupakan arah baru yang menjanjikan harapan kebajikan bagi
umat manusia dan menjadi keharusan sejarah umat manusia di masa depan.
Globalisai juga melahirkan kecemasan yang memperhatikan permasalah
kemiskinan dan marginalisasi rakyat, serta masalah keadilan sosial.
(Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalsasi). Salah satu yang ditimbulkan impact negatif
globalisasi bagi negara berkembang marginalisasi sejumlah besar manusia
dan bertambahnhya angka kemiskinan. Proses marginalisasi (impoverty) makin terasa jika
negara mengalami krisis keuangan. Industrialisasi pada negara
berkembang hanya menguntungkan kaum tertentu dan memiskinkan rakyat
banyak. Demikian pula, dengan degradasi lingkungan yang ditimbulkan
makin parah. (H.A.R. Tilaar, Kuasa dan Pendidikan)
Faham
globalisasai yang didasarkan pada pasar global yang intinya sama dengan
neolibralisme yang didasarkan pada pokok-pokok sebagai berikut,
liberaliasi perdagangan, liberalisasi investasi, privatisasi, pemotongan
anggaran publik untuk sosial, potongan subsidi negara, devalusi mata
uang, upah buruh murah. Liberalisasi perdagangan berarti menghilangkan
segala peraturan yang melindungi industri dan pasar domestik oleh
negara. Logika neoliberal ekonomi negara akan berkembang jika diserahkan
pada pasar. Liberalisasi memberikan kesempatan pada kapitalis untuk
mengeruk keuntungan, dan penghapusan beban yang harus ditanggung oleh
swasta. Hal ini memberikan ruang yang bebas dan terbuka terhadap
perdagangan internasional dan investasi internasional, dan peran negara
diambil alih oleh lembaga-lembaga keungan internasional seperti, IMF,
WTO, WB dan TNC/MNC. Liberasi investasi memberikan masuknya paham
neoliberalism untuk memanam saham sebesar 100 persen untuk perusahan
internasional, bebas bea masuk, tingkat suku bungan dan pajak rendah. Privatisasi penjualan perusahan-perusahaan negara dan pelayanan puplik pada swasta. (Mustofa Abdul Chamid, Orde Baru Neoliberalsme dan Globalisasi Kaum Miskin).
Kebanyakan
perusahaan Multinasional rakasasa yang berbasis di Amerika. Tidak
semuanya berasal dari Negara-negara kaya, namun juga tidak bersal dari
wilayah yang lebih miskin didunia. Pandangan yang pesimis terhadap
globalisasi sebagian berdasar merupakan urusan Negara industri utara,
dimana masyarakat yang berkembang di selatan hanya berperan sedit atau
tidak sama sekali. Pandangan ini juga menganggap bahwa globalisasi telah
menghancurkan kebudayaan lokal, memperluas kesenjangan dunia, dan yang
membuat kehidupan kaum miskin semakin terpuruk. Dan beberapa pihak
mengatakan bahwa globalisasi menciptakan dunia terbelah antara pemenang
dan pecundang, hanya sedikit sekali yang maju menuju kemakmuran,
sementara yang lain mengalami kehidupan yang penuh kesengsaraan dan
keputusasaan. Banyak data statistik yang memperlihatkan bahwa mereka
yang miskin seperlima penduduk dunia, pendapatannya merosot dari
2,3 sampai 1,4 % dari seluruh pendapatan dunia, tetapi bagi negara yang
maju malahan jumlah pendapatannya meningkat. Sedangkan pada Negara
kurang berkembang, regulasi mengenai keselamatan dan lingkungan hidup
cukup rendah atau sama sekali tidak ada. Dan orang mengatakan bahwa
sekarang mirip dengan kampung global (global village), tetapi lebih tepat dengan penjarahan global (global pillage). (Anthony Giddens, Runaway World). Dengan berlangsungnya proses globalisasi telah melahirkan apa yang disebut oleh Marshall McLuhan the global village. (H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan).
Globalisai
dan dampaknya terbagi menjadi dua macam positif dan negatif. Sisi
negatif atau ancaman dari globalisasi arus informasi dan komunikasi kita
dapat mengakses gambar-gambar jorok. Dengan gencarnya iklan menyebabkan
masyarakat menjadi berbudaya konsumtif dengan gaya hidup yang global
sesuai dengan budaya barat. Sedangkan bagi faham kebebasan menjadikan
anak ABG mendefinisikan kebebesan sama dengan kebebasan pada dunia
sekuler, sehingga disini nilai agama, norma dan budaya lokal terancam
olehnya. Kebebasan tersebut adalah kebebasan yang menjurus pada kepuasan
lahiriah (pleasure), egoisme, dan hedonisme. (Qodri Azizy, Melawan Globalisasi).
Globalisasi menjadikan negara yang berkembang menjadi gelandangan
dikampung sendiri dan penjarahan global sehingga melahirkan the village global.
Dalam kampung global tersebut terjadilah ketidak adilan dan peristiwa
dehumanisasi. Globalisasi melahirkan kebudayaan yang bersifat monoisme
kebudayaan atau monokulturalisme dikarenakan imperialisme kebudayaan
barat. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme). Globalisasi menyebabkan merebaknya kebudayaan “McDonald”
makanan instan lainnya, dengan demikin melahirkan kebudayaan yang serba
instans, budaya telenovela yang melahirkan pesimisme, kekerasan
hedonisme. Dengan meminjam istilah dari Edward Said gejala tersebut
merupakan “cultur imprelism” baru menggantikan imprealisme klasik. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya).
Dampak
yang positif dari globalisasi adalah berkembangnya teknologi yang
mempermudah urusan manusia. Dengan media informasi menjadikan kita dapat
melhat berbagai peristiwa diberbagai belahan dunia. Tiupan globalsasi,
perpaduan dengan teknologi informasi melahirkan kebudayaaan dunia maya (cyber cultur)
kemajuan teknologi informasi telah membentuk ruang cyber yang maha
luas, suatu universitas baru, nyaitu universe yang dibangun melalui
komputer dan jaringan komunikasi. Ruang cyber tersebut merupakan
lalulintas ilmu pengetahuan, gudang rahasia, dan berbagai pertunjukan
suara dan kecepatan musik yang dipancarkan dengan kecepatan cahaya
elektronik. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme). Unsur
positif dari globalisasi telah melahirkan LSM dan NGO sebagai gerakan
dalam rangka melindungi masyarakat lokal terhadap serbuan globalisasi.
Gerakan LSM menggelorakan identitas lokal, budaya lokal, perlindungan
terhadap rakyat kecil, dan pandangan yang kritis terhadap negara dengan
birokrasinya. (H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan).
Multikulturalisme
Pengertian
multikulturalisme diberikan oleh para ahli sangat beragam,
multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian
dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan
tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan yang pluralis dan
multikultural yang ada dalam kehidupan masyarakat. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya). Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Menurut longer oxford directionary istilah “multiculturalme” merupakan deviasi kata multicultural kamus
ini meyetir dari surat kabar di Kanada, Montreal times yang
menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multicultural dan
multilingual. (Muhaemin el-Ma’hadi, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikulturalisme).
Multikulturalisme ternyata bukanlah pengertian yang mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks, nyaitu “multi” yang berarti plural dan “kulturalisme” berisi
tentang kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang
berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya
hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi
politis, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengertian tradisonal tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama; pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition).
Kedua, legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam
gelombang pertama multikulturalisme yang esensi terhadap perjuangan
kelakuan budaya yang berbeda (the other). (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Dalam
filsafat multikulturalisme tidak dapat lepas dari dua filosof
kontemporer nyakni, John Rawls dari Harvard University dan Charles
Taylor dari McGill University. Rawls adalah penganut liberalisme
terutama dalam bidang etika dan Taylor dalam filsafat budaya dan
politik. Rawls mengemukakan teorinya dalam bukunya A Theory Justice, yang berusaha menghidupkan kembali “social contrac” dan melanjutkan kategori imperatif Kant, serta mengemukakan pemikiran alternative dari utilitarianisme. Masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin “the greatest good for the greates number” yang terkenal dengan prinsip demokrasi. Filsafat Rawls menekankan arti pada “self interest” dan
aspirasi pengenal dari seseorang. Manusia dilahirkan tanpa mengetahui
akan sifat-sifatnya, posisi sosialnya, dan keyakinan moralnya, maka
manusia tidak mengetahui posisi memaksimalkan kemampuannya. Maka Rawls
mengemukakan dua prinsip; pertama, setiap manusia harus memiliki
maksimum kebebasan individual dibandingkan orang lain. Kedua, setiap
ketidaksamaan ekonomi haruslah memberikan keuntungan kemungkinan bagi
yang tidak memperoleh keberuntungan. Menurutnya institusional yang
menjamin kedua prinsip tersebut adalah demokerasi konstitusional. Dalam
bukunya Taylor membahas tentang The Politics of Recognition,
berisi tentang pandangan multikulturalisme mulai berkembang dengan
pesat, bukan hanya dalam ilmu politik tetapi juga dalam bidang filsafat
dan kebudayaan. Jurgen Habermas menanggapi bahwa pelindungan yang sama
dibawah hukum saja belum cukup dalam demokerasi konstitusional. Kita
harus menyadari persamaan hak dibawah hukum harus disertai dengan
kemampuan kita adalah penulis (authors) dari hukum-hukum yang mengikat kita. Habermas menganjurkan agar supaya warga negara dipersatukan oleh “mutual respect” terhadap hak orang lain demokerasi
konstitusioanal juga memberikan kepada kebudayaan minoritas, memperoleh
hak yang sama untuk bersama-sama dengan kebudayaan mayoritas. (H.A.R.
Tilaar, Multikulturalisme).
Walaupun
multikulturalisme telah digunakan oleh para pendiri bangsa dalam rangka
mendisain kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi bagi orang Indonesia multikulturalisme adalah konsep yang asing.
Konsep multikulturalisme tidaklah sama dengan konsep keanekaragaman
secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri
masyarakat majemuk, karena konsep multikulturalisme menekankan
keanekaragaman dan kesederajatan. Multikulturalisme harus mau mengulas
berbagai permasalahan yang mengandung ideologi, politik, demokerasi,
penegakan hukum, keadialan, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak
budaya komuniti golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral dan
peningkatan mutu produktivitas. (Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Memang
dalam kerangka konsep masyarakat multikultural dan multikulturalisme
secara subtantif tidaklah terlalu baru di Indonesia dikarenakan jejaknya
dapat ditemukan di Indonesia, dengan prinsip negara ber-Bhenika Tunggal
Ika, yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah masyarakat multikultural
tetapi masih terintregrasi ke-ikaan dan persatuan. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya).
Sebagai gambaran tentang multikulturalisme digambarkan oleh John Haba
tentang semangat kekristenan mulai menurun dikalangan intelektual dunia
barat dipengaruhi semangat multikulturalisme, maka persilangan
paradigma, tentang boleh tidaknya gereja dilakalangan misi bukan
kristen. Para intelektual barat melemahkan visi dan misi gereja di era
posmodernisme dan mereka bersikap apatis dan bahkan memilih menjadi
pengikut agama Budha, Hindu atau ateis menjadi warga gereja. (John Haba,
Gereja dan Masyarakat Majemuk).
Multikulturalisme
bukanlah sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus
diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai etika tegaknya demokrasi, HAM,
dan kesejahteraan hidup masyarakat. multikulturalisme sebagai ideologi
tidaklah berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya.
Multikulturalisme memerlukan konsep bangunan untuk dijadikan acuan guna
memahami mengembangluaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.untuk
memahami multikulturalisme, diperlukan landasan pengetahuan berupa
konsep-konsep yang relevan dan mendukung serta keberadaan
berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan. Akar dari
multikulturalisme adalah kebudayaan. Kebudayaan yang dimasudkan disini
adalah konsep kebudayaan yang tidak terjadi pertentangan oleh para ahli,
dikarenakan multikulturalisme merupakan sebuah alat atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Oleh karena itu
kebudayaan harus dulihat dari perfektif fungsinya bagi manusia. (Parsudi
Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Dengan pengunaan istilah dan praktek dari multikulturalisme Parehk membedakan lima jenis multikulturalisme; pertama, “multikulturalisme asosianis” yang
mengacu pada masyarakat dimana kelompok berbagai kultur menjalankan
hidup secara otonom dan menjalankan interaksi minimal satu sama lain.
Contohnya adalah masyarakat pada sistem “millet”, mereka menerima
keragaman tetapi mereka mempertahankan kebudayaan mereka secara terpisah
dari masyarakat lainnya. Kedua, “multikultualisme okomodatif” nyakni
masyarakat plural yang memiliki kultura dominan, yang membuat
penyesuaian, mengakomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur minoritas.
Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menarapkan
undang-undang, hukum dan kekuatan sensitif secara kultural, memberikan
kesempatan kepada kaum minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya dan
minoritas tidak menentang kultur yang dominan. Multikultural ini dapat
ditemukan di Inggris, Prancis dan beberapa negara Eropa yang lain.
Ketiga “multikultural otomatis” masyarakat yang plural dimana
kelompok kultura yang utama berusaha mewujudkan kesetaraan dan
menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik secara kolektif dan
dapat diterima. Contoh dari multikultural ini adalah masyarakat muslim
yang berada di Eropa yang menginginkan anaknya untuk memperoleh
pendidikan yang setara dan pendidikan anaknya sesuai dengan
kebudayaannya. Keempat “multikulturalisme kritikal interaktif” masyarakat
yang plural dimana kelompok kultur tidak terlalu concern dalam
kehidupan kultur otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur
kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perfektif distingtif mereka.
Multikultural ini, berlaku di Amerika Serikat dan Inggris perjuangan
kulit hitam dalam menuntut kemerdekaan. Kelima “multikultural kosmopolitan”,
yang berusaha menghapuskan kultur sama sekali untuk menciptakan sebuah
masyarakat dimana individu tidak lagi terikat dan committed kepada
budaya tertentu. Ia secara bebas terlibat dengan eksperimen-eksperimen
interkultural dan sekaligus mengembangkan kultur masing-masing. Para
pendukung multikultural ini adalah para intelektual diasporik dan
kelompok liberal yang memiliki kecenderungan posmodernism dan memandang
kebudayaan sebagai resauorces yang dapat mereka pilih dan ambil secara
bebas. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya).
Multikulturalisme
dalam penerapan dan bagaimana kita cara melaksanakannya. Konsep dan
kerangka dalam multikulturalisme di paparkan oleh B. Hari Juliawan
dengan membagi multikulturalisme dengan menggunakan empat kerangkanya.
Pertama kerangka multikulturalisme berkenaan dengan istilah
multikulturalisme itu sendiri. Multikulturalisme menunjukan sikap
normatif tentang fakta keragaman. Multikulturalisme memilih keragaman
kultur yang diwadahi oleh negara, dengan kelompok etnik yang diterima
oleh masyarakat luas dan diakui keunikan etniknya. Kelompok etnik tidak
membentul okomodasi politik, tetapi modifikasi lembaga publik dan hak
dalam masyarakat agar mengakomodasi keunikannya. Kerangka
multikulturalisme kedua, merupakan turunan kerangka yang pertama nyaitu
akomodasi kepentingan, dikarenakan jika kita ambil saripati dari
multikulturalisme adalah menegemen kepentingan. Kepentingan disini
merupakan yang relevan dari konsep multikulturalisme yang terbagi
menjadi dua macam kepentingan yang bersifat umum dan khusus. Kepentingan
yang bersifat umum pemenuhan yang sama pada setiap orang tanpa
membedakan identitas kultur. Sedangkan kepentingan khusus pemenuhan yang
terkait dengan aspek khusus kehidupan (surlvival) kelompok
yang bersangkutan. Misalkan kelompok masyarakat adat dapat melaksanakan
adatnya masing-masing tanpa intimidasi dari pemerintah dan ketuatan
kelompok yanga lain. Kerangka multikulturalisme yang ketiga merupakan
ideologi politik dengan menjadikan setiap orang atau kelompok minor
dapat menyampaikan aspirasi politiknya tanpa terjadinya penindasan dan
ancaman. Kerangka keempat berkaitan dengan puncak dan tujuan dari
multikulturalisme yang pantas diperjuangkan dikarenaka dibalik itu ada
tujuan hidup bersama, dengan pemenuhan hak-hak hidup. Hal tersebut
dikarenakan dalam multikulturalisme merupakan penghargaan terhadap
perbedaan. (B. Heri Juliawan, Kerangka Multikulturalisme).
Kebijakan multikulturalisme dalam konteks negara plural saling melengkapi satu dengan yang lain dengan power sharing, lebih
sekedar distribusi pegakuan simbol-simbol budaya, tetapi pada alokasi
kekuasaan, dan kebijakan resmi yang mengakomodir semua kelompok dalam
rangka mempertahankan sekurang-kurangnya paraktek kebudayaan yang unik
dalam berpartisipasi secara stimulan dalam nilai dan sistem kepercayaan
bangsa yang lebih besar. (Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multi Kultural)
Kerangka keempat, puncak tujuan dari multikulturalisme hidup bersama
sedekat mungkin pada kepenuhan hidup baik. Dikarenakan pada setiap orang
ingin hidup baik, baik spiritual dan materialnya. (B. Heri Juliawan, Kerangka Multikulturalisme).
Multikulturalisme
dapat berkembang menjadi hiper-multi-kulturalisme. Steve Fuller
mengemukakan bentuk hipermultikulturalisme yang perlu dihindari.
Pertama, menganggap kebudayaan sendiri yang lebih baik. Pengakuan
tehadap kebudayaan sendiri mengarahkan kecintaan pada diri sendiri atau
narasisme kebudayaan, jika berlebihan dapat menjadikan kolonialisasi.
Kedua, pertentangan antara budaya barat dengan sisa-Barat. Pandangan ini
yang dikenal dengan Eropa Sentris dalam melihat kebudayaan lain.
Ketiga, pengkuan terhadap berjenis-jenis budaya. Pluralisme budaya
penghargaan terhadap budaya ditangapi dikarenakan eksotis, menarik
perhatian. Dan kebudayaan yang lain dilihat bukan karena eksotisnya.
Keempat, penelitian budaya suatu entitas yang homogen dikuasai oleh
laki-laki dan bias gender perempuan. Kelima, mencari “indigeneus culture”. Pemujaan terhadap indigeneus culture
hal yang berlebihan dan kerjasama internasional mengandung unsur
kebudayaan lain dapat diadopsi sesuai dengan lingkungan kebudayan yang
berbeda. Keenam, penduduk asli yang berbicara tentang kebudayaannya. Orang asing tidak berwewenang mempelajari kebudayaan setempat. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Dalam
multikulturalisme global masih berpegang pada doktrin asimilasi yang
satu arah dan logika kebersamaan. Hal ini menjadi tantangan besar
terhadap studi multikulturlisme yang selaknya menggali lebih jauh lagi
masalah identitas dan perbedaan.(Farah Wardani, Representing Islam).
Tilaar juga, mengemukakan tantangan multikultuiralisme, pertama adalah
hegemoni barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan ilmu
pengetahuan. Negara yang berkembang mengambil langkah-langkah seperlunya
untuk mengatasi sehingga sama dengan dunia barat. Kedua, esensialisasi
budaya. Multikulturalisme berusaha untuk mencari esensi budaya tanpa
jatuh dalam pandangan xenophobia dan ennosentrisme.
Multikulturalisme melahirkan tribalisme sampai sehingga merugikan
komunitas global. Ketiga adalah proses globalisasi yang berupa
monokulturalisme karena gelombang dasyat globalisasi menggiling dan
menghancurkan kehidupan bersama budaya tradisional. Masyarakat akan
tersapu bersih dan kehilangan akar budayanya sehingga kehilangan akar
berpijak terkena arus globalisasi. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).