Pendidikan
dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai
bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam
konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau
jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan
dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan
pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya
tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan.
Opini
yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor
yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara
ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan
ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi
bagi kemajuan pembangunan disegala sektor.
Ketidakyakinan
ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor
pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap
buang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran
sektor pendidikanpun biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu.
Cara
pandangan ini sekarang sudah mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya
pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan dalam
memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus
prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.
Konsep
pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah
berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa
pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan
sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber
daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang
pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan
sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para
teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya
investasi keterampilan manusia.
Pemikiran
ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun 1960-an ketika
pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in
human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan
eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato
tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan
melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Schultz
(1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan
dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi
langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan
keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara
pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti
mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan
utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan
interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi
manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti
Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori
human capital ini.
Perkembangan
tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk
pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan
pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor
pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan
selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal
manusia (human capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau
salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap
pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik
anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga
keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan
pembangunan makronya.
Pada
tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara
pendidikan dan oertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya
kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di
beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang
menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul,
antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary
Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih
menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan
manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik
Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis baha
pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis
tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada
dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar
investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait
dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa
penelitin neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah
akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi
secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas
dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan
program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi
pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah
memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik
lainnya.
Artinya,
investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian
hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara
langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik
tersebut.
Sekarang
diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi
kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber
daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu
komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus
meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu
sendiri.
Nilai Balikan Pendidikan
Pengembangan
SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan
ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang
sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai
sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of
return).
Sejumlah
hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi
Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10
negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP
perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek
hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada
nehara-negara lain
Juga
telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai
pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya.
Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang
berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapa
tan rendah menunjukan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit
unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil
tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan. Meskipun masukan ini
kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8
persen, (World Bank, World Development Report, 1980).
Peranan
wanita dalam mengasung dan membesarkan anak begitu pending sehingga
membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti.
Studi-studi menunjukan adanya orelasi signifikan antara tingkat
pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih
jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas
yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya
dalam sektor pembangunan lainnya.
Sebuah
studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World
Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi
(rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara
sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua
tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen.
Berbagai
penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal
manusia lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang
mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya.
Jadi kalau kita mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak
menjadikan modal manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat utama,
maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”.
Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Menurut
Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas, pada
ceramahnya di depan Mahasiswa Pasca UPI Prodi Administrasi Pendidikan,
mengemukakan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi dibidang
pendidikan di Indonesia antara lain :
1. Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah
2. Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan
3. Kesenjangan tingkat pendidikan
4. Good Governance yang belum berjalan secara optimal
5. Fasilitas pelayanan pendidikan yang belum memadai dan merata
6. Kualitas pendidikan relatif rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik
7. Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK
8. Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien
9. Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai.
Permasalahan
tersebut diatas merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara
berkembang termasuk Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara
ekonomi, maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan pemerintah dan
masyarakat terhadap dampak yang akand ialami negara Indonesia dalam
jangka panjang kedepan dengan kebijakan pembangunan pendidikan sebagai
dasar pembangunan negara.
Dalam
Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran pendidikan
ditekankan pada upaya : 1. Perluasan dan Pemerataan Pendidikan 2. Mutu
dan Relevansi Pendidikan dan 3. Governance dan Akuntabilitas. Ketiga
program tersebut merupakan upaya untuk pembangunan pendidikan secara
merata untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan dibindang
peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan
kemajuan diantara negara-negara Asia Pasifik.
Nilai Ekonomi Pendidikan
Menurut Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”,
kata peraih Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian Kompas
(15/12/2004). Pertanyaan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi
pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti apa yang iperlukan Indonesia.
Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder
kebijakan neoliberal yang dianut Indonesia.
Peranan
pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam
pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur
teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan
pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang
merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris
itu.
Dalam
studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya
mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh,
tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per
kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia
diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa
dijelaskan.
Namun,
sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara
bekembang sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990.
Easterly (2001) menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah
dasar meningkat dari 88 persen menjadi 90 persen,
sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen menjadi 45 persen.
Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di dunia yang
angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun 1990
menjadi lebih dari separuhnya.
Nyatanya,
kenaikan dari tingkat pendidikan di negara-negara berkambang tidak
menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara
tahun 1960 hingga tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu
tercatat lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara
di Afrika hanya tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada
“keajaiban ekonomi” di Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho.
Kebanyakan
negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode
tersebut. Kasus ekstrem dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka
sekolah hampir 8 persen per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi
yang negatif.
Dalam
periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka
partisipasi sekolah. Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2
persen dibandingkan dengan 2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah
rahasia untuk pertumbuhan ekonomi, perbedaan itu seharusnya jauh lebih
besar.
Selain
tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga
tidak berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam
pendapatan per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya
konvergensi tingkat pendidikan antar negara di dunia. Sepanjang
1960-1995, deviasi stndar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94
menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan
per kapita antar negara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.
Asumsi
darsar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi
dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkat produktivitas
pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan
meningkat.
Disisi
lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu
diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan
lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat
pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih
cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya,
asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari
pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja
hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan
tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan
danpemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan
bagi kelompok termiskin.
Studi
dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan
terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit
gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga
Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena
mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin,
ada di sektor ini.
Dalam
studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih
produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan
signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan
dasar.
Selain
itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, seringkali
produktivitas lebih ditentukan oleh pengaaman, bukan pendidikan. Bagi
petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak
banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun
pengalaman bekerja di sawah.
Orang
bisa mendebat baik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami
mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin
jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Dibanyak negara
berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India
kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak
hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar
hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa
mobilitas sosial relatif sulit terjadi.
Intervensi Ekonomi Secara Spesifik Pada Pendidikan
Pendapat
yang mengataan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak
bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Ini adalah pendapat sama
sekali tidak berdasar secara impiris. Pesan yang ingin disampaikan
adalah ada banyak hal lain yang menyebabkan kontribusi positif
pendidikan tidak teralu besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra ajaib.
Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus
dilakukan secara hati-hati.
Bentuk
kehati-hatian adalah tidak terjeba untuk mengukut peranan pemerintah
dari besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting,
tetapi bukan pada seberapa besar, melainkan direncanakan digunakan untuk
apa, mengapa dan bagaimana. Di beberapa negara Asia yang sedang
berkembang meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah, dari hasil studi
ADB menyatakan bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung
memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Dalam
hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth
(2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an dalam laporan World
Bank subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi
menyebabkan oefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan
tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode
itu.
Selain
soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi
masalah lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi pemerintah
yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya
ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh
kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan.
Pembagian bat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam
meningkatkan kualitas pendidikan disana.
Kesimpulannya,
tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diteraka secara universal di
semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap
kebijakan neoliberal. Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada
kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal
bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.
Menurut
Mohamad Ali (2005), dikemukakan Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi
di pengembangan SDM, karena pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad,
telah mencanangkan pengembangan SDM kedepan dengan melakukan investasi
yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari anggaran belanja negaranya, dan
pemerintahan PM Mahathir yang berjalan selama 17 tahun. Melihat
keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah
diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan
anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara seperti
tertuang pada pasal 31 Ayat 4.
Investasi
dibidang pengembangan SDM merupakan suatu proses yang panjang dan untuk
menunjang keberhasilan perencanaan tersebut, pendidikan dan pelathan
harus dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda,
artinya keberhasilan proses pendidikan merupakan kontribusi dari lintas
sektoral yaitu tenaga kerja, industri ekonomi, budaya dan lain
sebagainya.
Daftar rujukan
Becker G.S. 1993. Human Capital, A theoritical and Empirical Analysis with Speccial reference to Education. Chicago, University of Chicago P ress
Cohn. Elchanan, 1979. The Economics Of Education, Ballinger Publishing
Engkoswara. 2002. Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan. Bandung, Yayasan Amal Keluarga
Dodi Nandika. 2005. Kebijakan Pembangunan Pendidikan 2005-2009. Bandung UPI.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.Rosda. Bandung
Jac Fitz-enz, 2000.The ROI of Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance, New York, Amacom
Joseph Stiglitz, 2004. Economy Growth and Education Policy, Jakarta. Kompas 15-12-2004