Refleksi Sumpah Pemuda
LOMBA BLOG HIMA ADP UNY 2012.
Peringatan sumpah pemuda mestinya menjadi momen refleksi
diri bagi bangsa Indonesia untuk menakar sejauh mana peranan bangsa
dalam pergaulan internasional. Sebagai sebuah bangsa perjalanan bangsa
Indonesia belumlah lama jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa
lainnya. Seperti yang kita ketahui bahwa nasionalisme dan kebangsaan
rakyat Indonesia di pupuk sejak abad ke-20. Kalau kita di kawasan benua
Asia dan Afrika pada awal abad ke-20 menginjak zaman modern yang
membawa perubahan baru, sehingga pada waktu itu timbul kata-kata baru
Renaissance (kebangkitan kembali) dari benua Asia. Kemenangan Jepang
dari beberapa negara di Asia terhadap Tsar Rusia dari Barat (1905)
telah membangkitkan semangat kepercayaan bangsa-bangsa Asia Timur untuk
bangkit sendiri. Semangat nasionalisme berhembus hingga ke bumi
Nusantara. Muculnya nasionalisme di bumi nusantara dilatar belakangi
oleh suburnya kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh
negara-negara Barat selama tiga setengah abad. Kemauan hidup bersama
dalam sebuah bangsa dan keinginan untuk menentukan nasib sendiri
mendorong munculnya gerakan-gerakan rakyat. Tahun 1908 lahir organisasi
masyarakat pertama bernama Budi Utomo. Pada awalanya organisasi ini
bersifat kedaerahan, dasarnya adalah keturunan sama (common descent),
adat istiadat sama (common tradition), bahasa sama (common language),
dan agama sama (common religion). Fase berikutnya dari pertumbuhan itu
adalah a common effort in a fight for political rights for individual
liberty and tolerance (suatu usaha bersama dalam perjuangan untuk
hak-hak politik, untuk kemerdekaan pribadi dan menghormati orang lain).
Nasionalisme kemudian menjadi suatu state of mind, atau prinsip rohani,
dimana kesetiaan dari individu diabdikan kepada negara. Hingga tahun
20-an pergerakan nasional telah berjiwa “Kebangsaan Indonesia” yang
memuncak pada pertemuan Kongres Pemuda II pada tanggal 27-28 Oktober
1928. Para pemuda dari berbagai perkumpulan pergerakan pemuda seperti
Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamaten Bond,
Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, Pemuda Indonesia, dan Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) membentuk penitia Kongres Pemuda II.
Kongres ini bermaksud untuk menguatkan perasaan persatuan dan kebangsaan
yang di masa itu telah hidup di dalam hati tiap-tiap pemuda Indonesia.
Tak mengherankan jika dalam kongres kata-kata “Kemerdekaan” sempat
muncul. Hingga pada akhirnya menyepakati sebuah konsensus yang mengaku
bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia; mengaku berbangsa satu,
Bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda ini menjadi tonggak persatuan Indonesia di bumi Nusantara.
Sumpah Pemuda menjadi tempat dasar yang tiga dan tujuan yang satu bagi
rakyat Indonesia.
Semua untuk Satu
Seperti dikatakan Presiden Soekarno pada pidato 1 Juni 1945, “Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!”. Nasionalisme Indonesia sangat berbeda dengan nasionalisme Barat. Nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan individualisme. Namun mereka diuntungkan dengan karena budaya mereka dapat mengakomodasi standar-standar modernitas. Sebaliknya, Nasionalisme Kebangsaan Indonesia adalah akumulasi pengalaman penjajah yang dilakukan (kolonialisasi) oleh bangsa Eropa. Apa yang diperjuangkan rakyat Indonesia dulu adalah kemerdekaan diri, kedaulatan dirinya ditengah-tengah bangsa-bangsa di dunia. Nasionalisme adalah motif dan pembenaran atas Revolusi Indonesia. Kemerdekaanlah yang menjadi tujuannya. Merdeka dari segala bentuk penindasan. Nasionalisme adalah faktor pendorong Kemerdekaan untuk membentuk masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Nasionalisme perlu terus dirawat dengan memberikan makna. Meski begitu Soekarno mengingatkan bahwa nasionalisme kita bukanlah nasionalisme borjuis atau nasionalisme keningratan. Nasionalisme borjuis bukanlah nasionalisme kemanusiaan, bukan nasionalisme yang ingin keselamatan massa, yang paling jauh hanya ingin Indonesia Merdeka saja dan tidak mau mengubah susunan masyarakat sesudah Indonesia Merdeka itu merekalah yang harus menjadi “kepala” merekalah yang tetap harus menjadi kaum yang memerintah.
Seperti dikatakan Presiden Soekarno pada pidato 1 Juni 1945, “Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!”. Nasionalisme Indonesia sangat berbeda dengan nasionalisme Barat. Nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan individualisme. Namun mereka diuntungkan dengan karena budaya mereka dapat mengakomodasi standar-standar modernitas. Sebaliknya, Nasionalisme Kebangsaan Indonesia adalah akumulasi pengalaman penjajah yang dilakukan (kolonialisasi) oleh bangsa Eropa. Apa yang diperjuangkan rakyat Indonesia dulu adalah kemerdekaan diri, kedaulatan dirinya ditengah-tengah bangsa-bangsa di dunia. Nasionalisme adalah motif dan pembenaran atas Revolusi Indonesia. Kemerdekaanlah yang menjadi tujuannya. Merdeka dari segala bentuk penindasan. Nasionalisme adalah faktor pendorong Kemerdekaan untuk membentuk masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Nasionalisme perlu terus dirawat dengan memberikan makna. Meski begitu Soekarno mengingatkan bahwa nasionalisme kita bukanlah nasionalisme borjuis atau nasionalisme keningratan. Nasionalisme borjuis bukanlah nasionalisme kemanusiaan, bukan nasionalisme yang ingin keselamatan massa, yang paling jauh hanya ingin Indonesia Merdeka saja dan tidak mau mengubah susunan masyarakat sesudah Indonesia Merdeka itu merekalah yang harus menjadi “kepala” merekalah yang tetap harus menjadi kaum yang memerintah.
Lokomotif Kaum Muda
Sejarah bangsa-bangsa juga mencatat peran penting kaum muda dalam perubahan politik menyeluruh di masing-masing bangsa itu. Beberapa momentum pergerakan nasional yang motori oleh kaum muda memainkan peranan sangat penting seperti peristiwa 1908, 1928, 1945, 1974, 1983, dan 1998. Tidak hanya di Indonesia tetapi pergerakan kaum muda terjadi seperti revolusi di Perancis tahun 1968 digerakkan dan bersumber dari kreativitas dan keberanian politik kaum muda. Tidak heran jika Bung Karno dalam slogannya mengatakan, “Beri aku 10 orang pemuda, maka aku akan mengguncang dunia”. Kaum muda dan perubahan ibarat dua mata pisau yang tak dapat dipisahkan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Kaum muda adalah sebuah kelompok dimana pikiran-pikiran idealisme yang genuine masih tertanan dan bergelora dalam jiwa seorang pemuda bahkan semangat/spirit perubahan tumbuh tiada henti tanpa dipengaruh sahwat kepentingan pragmatis sesaat. Kaum muda adalah tulang punggung sekaligus ruh penggerak perubahan. Momentum sumpah pemuda yang ke 84 ini merupakan munculnya kesadaran baru para intelektual muda untuk membawa kemajuan bagi bangsa dan negara. Ini tergambar dari karyanya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Bumi Manusia” dan “Jejak Langkah” yang menceritakan bagaimana para pemuda dan pemudi kita pada saat masa penjajahan mengalami penindasan, keterbelakangan dan diskriminasi oleh kaum kolonialis. Itulah sebabnya, pemuda Indonesia harus mengubah nasibnya sendiri. Keterbelakangan itu harus segera dihadiri dengan cara memperkuat sistem pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan politik.
Sejarah bangsa-bangsa juga mencatat peran penting kaum muda dalam perubahan politik menyeluruh di masing-masing bangsa itu. Beberapa momentum pergerakan nasional yang motori oleh kaum muda memainkan peranan sangat penting seperti peristiwa 1908, 1928, 1945, 1974, 1983, dan 1998. Tidak hanya di Indonesia tetapi pergerakan kaum muda terjadi seperti revolusi di Perancis tahun 1968 digerakkan dan bersumber dari kreativitas dan keberanian politik kaum muda. Tidak heran jika Bung Karno dalam slogannya mengatakan, “Beri aku 10 orang pemuda, maka aku akan mengguncang dunia”. Kaum muda dan perubahan ibarat dua mata pisau yang tak dapat dipisahkan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Kaum muda adalah sebuah kelompok dimana pikiran-pikiran idealisme yang genuine masih tertanan dan bergelora dalam jiwa seorang pemuda bahkan semangat/spirit perubahan tumbuh tiada henti tanpa dipengaruh sahwat kepentingan pragmatis sesaat. Kaum muda adalah tulang punggung sekaligus ruh penggerak perubahan. Momentum sumpah pemuda yang ke 84 ini merupakan munculnya kesadaran baru para intelektual muda untuk membawa kemajuan bagi bangsa dan negara. Ini tergambar dari karyanya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Bumi Manusia” dan “Jejak Langkah” yang menceritakan bagaimana para pemuda dan pemudi kita pada saat masa penjajahan mengalami penindasan, keterbelakangan dan diskriminasi oleh kaum kolonialis. Itulah sebabnya, pemuda Indonesia harus mengubah nasibnya sendiri. Keterbelakangan itu harus segera dihadiri dengan cara memperkuat sistem pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan politik.
Penutup
Akhirnya, Jika kita melihat dari konteks sejarah, peranan pemuda menjadi kata kunci dari perjalanan bangsa ini. Itulah sebabnya mengutip apa yang dikatakan, Benedict Anderson, menyebut, bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Kehadiran pemuda kata Anderson yang akan menciptakan momen sejarah Indonesia kedepan, yakni sejarah terbentuknya sebuah bangsa yang satu dan merdeka dari ketertindasan kolonialisme. Semangat perjuangan para pemuda pendahulu bangsa yang sudah lama tertanam dalam nilai-nilai Sumpah Pemuda seyogiyanya dijadikan entri poin pada setiap waktu dan tempat dimanapun pemuda berada. Pemuda sebagai agen perubahan (agent of social change) dan agen kontrol (agent of social control) harus menjadi lokomotif perubahan dalam setiap sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Memperingati Sumpah Pemuda dalam 8 dekade terakhir ini tentu saja bukan hanya menikmati romantisme masa lalu semata, tetapi ini harus dijadikan entri poin dalam menjawab persoalan-persoalan kebangsaan dalam menatap Indonesia yang dicita-citakan. Pemuda Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang cukup kompleks untuk mencarikan solusi permasalahan kebangsaan yang amat carut marut khususnya dalam proses penegakan hukum di republik ini. Indonesia jaya adalah cita-cita para pendiri bangsa kita beberapa tahun lalu ketika bersama-sama merumus dasar-dasar negara Indonesia. Indonesia kaya akan sumber daya alamnya dan keberagaman seperti agama, budaya, bahasa, adat istiadata, etnis dan lainnya. Malangnya kekayaaan yang dimiliki Indonesia belum bisa bangkit keluar dari keterpurukan yang melanda kita sekarang ini. Justru sebaliknya kasus korupsi yang masih melilit para elit politik kita belum bisa diatasi secara maksimal.
Akhirnya, Jika kita melihat dari konteks sejarah, peranan pemuda menjadi kata kunci dari perjalanan bangsa ini. Itulah sebabnya mengutip apa yang dikatakan, Benedict Anderson, menyebut, bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Kehadiran pemuda kata Anderson yang akan menciptakan momen sejarah Indonesia kedepan, yakni sejarah terbentuknya sebuah bangsa yang satu dan merdeka dari ketertindasan kolonialisme. Semangat perjuangan para pemuda pendahulu bangsa yang sudah lama tertanam dalam nilai-nilai Sumpah Pemuda seyogiyanya dijadikan entri poin pada setiap waktu dan tempat dimanapun pemuda berada. Pemuda sebagai agen perubahan (agent of social change) dan agen kontrol (agent of social control) harus menjadi lokomotif perubahan dalam setiap sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Memperingati Sumpah Pemuda dalam 8 dekade terakhir ini tentu saja bukan hanya menikmati romantisme masa lalu semata, tetapi ini harus dijadikan entri poin dalam menjawab persoalan-persoalan kebangsaan dalam menatap Indonesia yang dicita-citakan. Pemuda Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang cukup kompleks untuk mencarikan solusi permasalahan kebangsaan yang amat carut marut khususnya dalam proses penegakan hukum di republik ini. Indonesia jaya adalah cita-cita para pendiri bangsa kita beberapa tahun lalu ketika bersama-sama merumus dasar-dasar negara Indonesia. Indonesia kaya akan sumber daya alamnya dan keberagaman seperti agama, budaya, bahasa, adat istiadata, etnis dan lainnya. Malangnya kekayaaan yang dimiliki Indonesia belum bisa bangkit keluar dari keterpurukan yang melanda kita sekarang ini. Justru sebaliknya kasus korupsi yang masih melilit para elit politik kita belum bisa diatasi secara maksimal.
referensi :
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid
VI. Balai Pustaka. Jakarta
VI. Balai Pustaka. Jakarta