Paradigma pendidikan berdasarkan
prestasi belajar mempunyai karakteristik antara lain, yaitu (1) menggunakan
ujian nasional sebagai metode utama dalam penilaian; (2) struktur kekuasaan
merupakan mandat dari atas ke bawah; (3) memandang produk akhir sebagai aspek
pembelajaran yang paling dihargai; (4) mementingkan keterampilan akademik; (5)
peran guru hanya memenuhi intruksi institusi; (5) mata pelajaran yang
terpenting adalah membaca; matematika, dan sains; dan (6) inti dari paradigma
ini adalah nilai ujian tinggi dan uang. Berdasarkan karakteristik ini ujian
nasional merupakan alat utama untuk mengukur atau mengevaluasi kemajuan siswa.
Struktur kekuasaan dalam bentuk atas ke bawah, artinya mereka yang memiliki
kekuasaan lebih tinggi ( kepala sekolah, dinas pendidikan, kementerian,
politisi) mengenakan kebijakan pada orang yang memiliki kekuasaan lebih rendah
( guru dan siswa). Lebih memandang produk akhir atau hasil belajar dari pada
proses pembelajaran. Lebih mementingkan keterampilan akademik dibandingkan
keterampilan lainnya. Guru tidak mempunyai peran yang siknifikan di dalam
pembelajaran dan hanya sekedar menjalankan instruksi dari atas.
Mengklasifikasikan mata pelajaran utama dan pendukung. Kemudian memandang siswa
yang sukses dan akan bahagia dalam hidupnya adalah siswa yang mempunyai nilai
tinggi dan banyak uang.
Penerapan paradigma berdasarkan
prestasi belajar di dalam pendidikan sekarang ini membuat kita memandang siswa
hanya sebagai angka bukan sebagai pribadi yang utuh. Siswa mempunyai potensi
yang unik dan seharusnya dikembangkan sesuai dengan tahap perkembangannya.
Siswa pada usia dini fokus utama pendidikannya seharusnya pada bermain, fokus
utama pendidikan pada sekolah dasar adalah memahami alam semesta, sekolah
lanjutan tingkat pertama adalah memperhatikan pubertas, perkembangan sosial ,
emosional, dan metakognitif, serta terakhir fokus utama sekolah lanjutan
tingkat atas adalah menyiapkan anak untuk hidup mandiri dalam kehidupan nyata
dengan mentoring, magang dan pendidikan kooperatif. Di samping itu juga
paradigma ini membuat keseluruhan proses belajar berkurang nilainya, siswa
tidak lagi belajar hanya untuk kesenangan, tetapi untuk memperoleh nilai tinggi
dengan menghalalkan segala cara.
Sistem penilaian paradigma yang berdasarkan prestasi belajar
berdasarkan pada acuan normatif. Kata ini mengacu pada proses membandingkan
kinerja akedemik siswa dalam ujian nasional dengan kelompok siswa yang
melakukan tes pada masa sebelumnya. Hasil tes kelompok siswa sebelumnya
dijadikan norma. Sedangkan paradigma perkembangan manusia berdasarkan ipsatif,
yang berarti membandingkan kinerja siswa masa kini dengan kinerja sebelumnya.
Kita sering melihat pendekatan ini di bidang olah raga (contohnya, “Saya
menambah jarak lompat jauh sepanjang 15 cm dalam kurun waktu 4 bulan”).
Paradigma ini melihat pendekatan ipsatif sebagai cara yang alami untuk menilai
perkembangan dan pembelajaran manusia. Sebagai contoh, di awal tahun pelajaran,
siswa tidak bisa membaca suatu bacaan yang agak rumit, tidak bisa melakukan pull up, tidak bisa menggambar orang,
tidak bisa mengucapkan kata “maaf!” saat menabrak seseorang, atau belum bisa
mengungkapkan apa yang dia rasakan. Di akhir tahun, dia mampu melakukan semua
hal itu. Namun, dia meraih nilai di bawah 4 untuk salah satu mata pelajaran
pada ujian nasional. Dari sudut pandang paradigma prestasi belajar, secara
normatif siswa tersebut gagal. Tetapi dari sudut pandang paradigma perkembangan
manusia, dia sukses secara ipsatif. Jadi mana yang lebih diutamakan? Ujian
nasional yang kemurnian nilainya masih diragukan atau perkembangan dirinya
sebagai seorang manusia yang utuh dengan keterampilan-keterampilan tersebut
lebih berguna di dalam kehidupannya kelak.
Selanjutnya juga kita mendengar dari berbagai media massa,
ada siswa dan siswi sekolah dasar melakukan pesta seks, siswa SMA kelas XII
melakukan perbuatan tidak senonoh di warnet sehari sebelum ujian nasional, atau
siswa yang melakukan kekerasan dalam geng atau antar geng.
Permasalahan-permasalahan ini tidak mungkin terjadi bila sekolah menjadi tempat
untuk mengembangkan diri sebagai
pribadi yang unik dan siswa merasa diterima di sekolah. Namun kalau tidak
seperti itu, maka tempat belajarnya adalah segala sesuatu yang ada di luar
sekolah misalnya tayangan televisi, internet, atau lingkungan yang tidak
mendukung untuk proses pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 yang menyebutkan fungsi
pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Kalau kita baca fungsi dan tujuan pendidikan tersebut
tidak ada sama sekali menyebutkan tentang keterampilan persiapan menghadapi
ujian yang sekarang banyak dilakukan pihak sekolah di dalam menghadapi ujian
nasional yang seolah-olah sekolah sama fungsinya seperti bimbingan belajar.
Agar tujuan pendidikan nasional
seperti yang terdapat pada pasal 3 di atas terwujud, maka perlulah kita
merenung dan berpikir untuk menerapkan paradigma pendidikan berdasarkan
perkembangan manusia. Paradigma ini memandang tujuan pendidikan untuk
mendukung, mendorong, dan memfasilitasi pertumbuhan siswa sebagai manusia
seutuhnya, termasuk perkembangan kognitif, emosional, sosial, etika, kreatif,
dan spiritualnya. Paradigma berdasarkan perkembangan manusia mempunyai beberapa
asumsi: (1) menjadi manusia seutuhnya adalah bagian terpenting dalam belajar;
(2) mengevaluasi pertumbuhan manusia seutuhnya adalah sebuah proses penuh
makna, berkelanjutan, dan kualitatif, yang menyangkut pertumbuhan manusia itu
sendiri; (3) menyukai kurikulum yang lebih fleksibel, dibuat untuk individu,
dan yang memberikan siswa pilihan bermakna; (4) tertarik pada masa lalu, masa
kini, dan masa depan setiap siswa; (5) bersifat ipsatif, membandingkan kinerja
siswa masa kini dengan kinerja sebelumnya; (6) mendasarkan klaim keabsahannya
dari kekayaan pengalaman manusia; (7) biasanya muncul sebagai bagian dari upaya
kalangan praktisi pendidikan; (8) mempunyai inti kebahagiaan.
Paradigma berdasarkan perkembangan
manusia menghargai setiap siswa sebagai manusia unik dengan caranya sendiri
untuk menghadapi perkembangan tantangan hidup. Oleh karena itu, gaya dan
kecepatan belajar setiap siswa dihargai. Demikian pula dengan ragam minat,
aspirasi, kapasitas, rintangan, temperamen, dan latar belakang mereka menjadi
kerangka pertumbuhan setiap manusia. Disamping itu juga tujuan pendidikan dari
paradigma ini adalah kearifan, integritas, kreativitas, aktualisasi diri,
karakter, pikiran terbuka, kemurahan hati, individualitas dan spiritualitas.
Penerapan paradigma perkembangan manusia ini menurut Thomas
Armstrong dalam bukunya The Best Schools
akan memberikan dampak positif, yaitu antara lain: membuat siswa terlibat di
dalam pembelajaran sehingga lebih siap menghadapi dunia nyata, membuat siswa
lebih berhasil di dalam pembelajaran sesuai dengan potensinya masing-masing,
membantu memperbaiki masalah sosial yang mencemari remaja dalam budaya masa
kini, memberi kendali lebih besar kepada siswa dan guru atas lingkungan belajar
mereka, mendorong inovasi dan keragaman program belajar. Kemudian paradigma
perkembangan manusia didasarkan kepada pemikiran para ahli pendidikan dan
psikologi seperti Jean Jacques Rousseau, Freud, Maria Montessori, Rudolf
Steiner, John Dewey, Jean Piaget, Vygotsky, dan Howard Gardner.
Langkah-langkah
yang dapat kita lakukan di dalam pembelajaran untuk menerapkan paradigma ini
sebenarnya sebagian sudah terdapat di dalam kurikulum kita sekarang yaitu
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Misalnya dengan menerapkan
pembelajaran tuntas (mastery learning)
yang yang
menggunakan prinsip ketuntasan secara inidividual. Dalam hal ini pemberian kebebasan belajar, serta untuk mengurangi
kegagalan siswa dalam belajar dengan menganut pendekatan individual. Kemudian evaluasi yang memiliki banyak dimensi, seperti kemampuan,
kreativitas, sikap, minat, keterampilan, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam
kegiatan evaluasi, alat ukur yang digunakan juga bervariasi bergantung pada jenis data yang ingin diperoleh. Selanjutnya
juga dengan menerapkan berbagai
macam teknik penilaian yang dapat dilakukan secara komplementer (saling
melengkapi) sesuai dengan kompetensi yang dinilai. Teknik penilaian yang
dimaksud antara lain melalui tes, observasi, penugasan, portofolio, projek,
produk, inventori, jurnal, penilaian diri, dan penilaian antarteman yang sesuai
dengan karakteristik kompetensi dan
tingkat perkembangan peserta didik.
Berdasarkan uraian di atas terlihat
sebenarnya terjadi kesenjangan antara kurikulum secara teori dengan
pelaksanaannya di lapangan. Misalnya untuk pembelajaran tuntas, proses
pembelajaran perlu disesuaikan dengan karakteristik siswa dan remidial yang
dilakukan sesuai dengan aturan. Dimensi evaluasi seharusnya banyak dimensi yang
bisa diukur dan bukan hanya kemampuan akademik semata. Demikian juga dengan
teknik penilaian, tes merupakan salah satu dari sepuluh teknik penilaian yang
ada sehingga guru perlu membuat penilaian menggunakan observasi, portofolio,
penugasan, projek, produk, inventori, jurnal, penilaian diri, dan penilaian
antar teman. Tetapi yang lebih penting dari semua itu marilah kita berpandangan
bahwa proses pembelajaran lebih utama dari pada hasil belajar dan hasil belajar
merupakan dampak dari proses pembelajaran. Jika proses pembelajaran berjalan
baik, maka seharusnya hasil belajar juga baik. Kemudian juga jangan terjadi
politisasi pendidikan untuk tujuan sesaat oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Jadi marilah kita memandang anak secara utuh sesuai dengan
potensi masing-masing, sehingga nantinya akan terwujudlah tujuan pendidikan
nasional yang kita agungkan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Amien!