A. Dogmatis
Secara bahasa Dogma adalah pokok ajaran
(ajaran yang tidak boleh di bantah), kepercayaan. Dogma berasal dari
bahasa Yunani ‘dogmata’, yang artinya keyakinan, kepercayaan, dan suatu
asas. Sedangkan Dogmatis adalah sesuatu yang bersifat otoritatif yang
diharapkan dapat mengikat kalangan tertentu tanpa adanya kritik dan
penyelidikan atas dasar-dasarnya. Suatu dogma di dasarkan atas suatu
anggapan yang tidak dapat diselidiki. Contoh dari Dogma adalah kebenaran
yang diwahyukan langsung oleh Tuhan yang termuat dalam Kitab Suci dan
harus di yakini oleh seluruh umat beragama sebagai perkara agama.
Dogmatisme merupakan salah satu aliran filsafat yang tidak terbatas
kepercayaannya kepada akal manusia. Menurut aliran ini, manusia dapat
mengetahui segala sesuatu dengan akalnya (melalui rasio).
Paham dogmatisme berkembang pada zaman abad pertengahan. Semboyan yang dipakai pada masa ini adalah ‘ancilla theologia’ (abdi agama), sehingga semua aktifitas ilmiah selalu berkaitan dengan aktifitas agama. Paham ini menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar Ilmu Pengetahuan begitu saja, tanpa mempertanggung jawabkannya secara kritis. Sifat dogmatis dalam agama menimbulkan jika, pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan tertentu, sehingga menganggap bahwa pernyataan (ayat) yang ada di dalam kitab suci mengandung nilai kebenaran yang sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Kandungan dari ayat kitab suci ini tidak dapat di ubah dan sifatnya absolut. Namun implikasi dari makna kitab suci tersebut dapat berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan waktu.
Pemikiran dogma memiliki kepercayaan yang besar mengenai keagamaan, seperti contoh dogma menurut agama kristen bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Aliran seperti ini bertolak dengan filsafat Yunani Kuno, namun filsafat Yunani Kuno juga memperkuat pendapat tersebut. Menurut filsafat Yunani Kuno yang bertolak dari pendapat tersebut adalah, bahwa kebenaran dapat di capai oleh kemampuan akal (rasional). Sebaliknya, pendapat filsafat Yunani Kuno yang memperkuat pendapat dari paham dogma tersebut adalah, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, kebijaksanaan manusia berarti kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan pula. Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran sejati, oleh karenanya kal dapat di bantu oleh wahyu. Bagi aliran dogmatisme, wahyu merupakan sebagai salah satu sumber pengetahuan. Keyakinan terhadap wahyu adalah berupa peraturan-peraturan atas agama.
B. Spekulatif
Secara bahasa Spekulasi adalah renungan,
terpekur. Secara istilah ialah Suatu pendapat atau dugaan yang tidak
(belum) berdasarkan atas suatu kenyataan. Spekulasi merupakan suatu hal
yang berguna untuk mengembangkan dan mencoba berbagai hipotesa.
Spekulasi berangkat dari keinginan untuk mengembangkan dan mencoba
memecahkan suatu masalah yang di tandai dengan beberapa usaha mencari
solusinya. Misalnya seperti mengusulkan satu hipotesa atau lebih.
Spekulasi merupakan karakteristik yang esensial dalam sikap ilmiah.
Hasil pemikiran spekulasi di jadikan sebagai dasar untuk menjelajah
wilayah pengetahuan yang baru. Hal ini tidak dapat di hindari, karena
bagaimanapun juga jika kita ingin menyusur sebuah lingkaran (menjelajah
sebuah masalah), maka kita harus memulainya terlebih dahulu dari sebuah
titik (langkah awal) spekulasinya.
Menurut Descrates dalam bukunya ‘Perenungan tentang Filsafat Pertama’ (1641), Spekulasi merupakan sesuatu yang mendasari keragu-raguan tentang segala sesuatu, khususnya tentang hal-hal yang bersifat material. Sifat keragu-raguan ini dapat membebaskan kita dari berbagai macamprasangka, dimana prasangka ini dapat melepaskan akal dari pengaruh panca indra. Sehingga dapat memberikan jalan sederhana atau komponen-komponen (kesimpulan) yang membentuk keseluruhan.
Di dalam proses Spekulasi, baik di dalam analisis maupun pembuktiannya, kita harus dapat memisahkan Spekulasi mana yang dapat di andalkan, dan mana yang tidak dapat di andlkan. Karena tugas utama dari spekulasi adalah menetpkan suatu dasar yang dpat di andalkan secara logis ataupun kebenarannya, sebagai langkah awal dari penelusuran suatu pengetahuan. Jika seandainya tidak menetapkan kriteria apa yang di sebut benar, maka tidak akan mungkin suatu pengetahuan dapat berkembang di atas dasar kebenaran. Misalnya, tanpa adany suatu wawasan mengenai apa yang di sebut indah atau jelek, maka tidklah mungkin kita berbicara tentang kesenian.
C. Verifikatif
Verifikasi berasal dari bahasa Inggris,
yakni ‘Verification’, yang artinya pemeriksaan tentang suatu kebenaran
atas laporan, pernyataan, dan lain-lain. Verifikasi merupakan salah satu
cara pengujian hipotesis yang tujuan utamanya adalah untuk menemukan
teori-teori, prinsip-prinsip, generalisasi, dan hukum-hukum. Verifikasi
adalah pandangan yang dikembangkan oleh Neo-Positivisme atau yang di
kenal Positivisme Logis. Pandangan ini dipengaruhi oleh Auguste Comte
(1798-1857) tentang pengetahuan yang berlandaskan pada pendekatan logis
dan pasti ( positif). Aliran ini berpendapat bahwa :
• Sumber pengetahuan terletak pada pengalaman yang berasal dari panca indra (empiris).
• Dengan adanya logika dan matematika, dapat digunakan sebagai pengolah suatu data empiris.
• Adanya demarkasi ( garis batas) antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak bermakna.
• Menolak metafisika yang menggunakan ungkapan atau pernyataan bahasa yang tidak bermakna.
• Filsafat Ilmu Pengetahuan dipandang sebagai logika Ilmu yang di susun berdasarkan analogi logika formal (diarahkan pada forma atau bentuk) dan pernyataan-pernyataan yang logis.
Menurut Moritz Sclick, Verifikasi merupakan pengamatan empiris secara langsung, artinya pernyataan yang di ambil langsung dari objek yng di amati itulah yang benar-benar mengandung makna. Oleh karenanya, pengetahuan di mulai dari suatu pengamatan peristiwa. Dalam hal ini Alfred Jules Ayer menegaskan bahwa Verifikasi merupakan suatu cara untuk merumuskan suatu proposisi (pernyataan) jika pernyataan yang diungkapkan itu dapat di analisis atau dapat di verifikasi secara empiris.
• Sumber pengetahuan terletak pada pengalaman yang berasal dari panca indra (empiris).
• Dengan adanya logika dan matematika, dapat digunakan sebagai pengolah suatu data empiris.
• Adanya demarkasi ( garis batas) antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak bermakna.
• Menolak metafisika yang menggunakan ungkapan atau pernyataan bahasa yang tidak bermakna.
• Filsafat Ilmu Pengetahuan dipandang sebagai logika Ilmu yang di susun berdasarkan analogi logika formal (diarahkan pada forma atau bentuk) dan pernyataan-pernyataan yang logis.
Menurut Moritz Sclick, Verifikasi merupakan pengamatan empiris secara langsung, artinya pernyataan yang di ambil langsung dari objek yng di amati itulah yang benar-benar mengandung makna. Oleh karenanya, pengetahuan di mulai dari suatu pengamatan peristiwa. Dalam hal ini Alfred Jules Ayer menegaskan bahwa Verifikasi merupakan suatu cara untuk merumuskan suatu proposisi (pernyataan) jika pernyataan yang diungkapkan itu dapat di analisis atau dapat di verifikasi secara empiris.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Verifikasi di gunakan untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Artinya, jika suatu pernyataan dapat di verifikasi, maka pernyataan tersebut adalah bermakna, sebaliknya jika suatu pernyataan tidak dapat diverifikasi, maka pernyataan tersebut tidak bermakana. Dalam hal ini, prinsip dasar verifikasi ialah terletak pada proposisinya (suatu pernyataan). Suatu proposisi dinyatakan bermakna jika dapat diuji dengan pengalaman (empiris) dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi).
Pandangan Verifikasi menolak atas metafisika. Karena metafisika di anggap tidak bermakna sebab metafisika mengandung proposisi yang tidak dapat di verifikasi. Menurut Rudolf Carnap (1891-1970), metafisika merupakan proposisi yang “Pseudo-Statements”, yakni suatu proposisi (pernyataan) yang melanggar aturan-aturan sintaksis logika dari pembuktian empiris. Oleh karenanya, pernyataan metafisis harus ditolak, karena metafisis bertentangan dengan kriteria empiris.
D. Falsifikatif
Falsifikasi berasal dari kata falsafah,
yang secara bahasa berarti anggapan, gagasan dan sikap batin yang paling
mendasar. Sedangkan secara istilah berarti penelitian berdasarkan akal
budi menurut sebab, asas, hukum dan sebagainya atas segala sesuatu
mengenai kebenaran dan tentang arti dari ‘adanya’ sesuatu.
Salah satu tokok falsifikatif adalah Karl Raimund Popper (1902). Menurut Popper, falsifikasi atau falsifiabilitas adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat antara sesuatu yang dapat disebut ilmu dengan yang bukan ilmu. Falsifikasi adalah salah satu teori yang berguna untuk menilai, menguji, dan membuktikan suatu kebenaran. Pada dasarnya, aliran Falsifikatif adalah suatu aliran yang tidak puas bahkan menentang atas prinsip verifikatif, yakni prinsip pembedaan antara ungkapan yang bermakna (prinsip Ilmu Pengetahuan empiris) dan yang tidak bermakna (metafisika) yang diyakini oleh kelompok Wina. Menurut aliran ini, suatu teori tidak dapat hanya dengan diverifikasi (tidak bersifat ilmiah, hanya karena dapat dibuktikan) melainkan ialah karena teori itu dapat diuji dengan percobaan-percobaan yang sistematis untuk menyangkal kebenarannya. Apabila suatu hipotesa (teori) dapat bertahan atas penyangkalan-penyangkalan dari kebenarannya (falsifikasi), maka kebenaran hipotesa (teori) tersebut akan semakin diperkokoh. Artinya, jika suatu toeri itu semakin besar kemungkinannya untuk disangkal dan teori tersebut tetap bertahan, maka semakin kokoh pula kebenarannya.
Menurut aliran ini, pada dasarnya tujuan dari suatu penelitian ilmiah adalah untuk membuktikan kesalahan dari suatu teori hipotesa, dan bukan untuk membuktikan kebenaran dari suatu hipotesa. Atas dasar demikian falsifikasi dijalankan sebagai ciri utama teori ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan suatu Ilmu Pengetahuan terjadi karena akibat dari eliminasi terhadap suatu kemungkinan-kemingkinan yang salah atas kebenarannya. Dengan cara melakukan pengujian kebenaran menggunakan metode mencari kesalahan (falsifikasi) pada suatu hipotesis, maka hipotesis yang salah akan ditinggalkan dan digantikan oleh hipotesis yang baru. Jadi dapat disimpulkan bahwa kriteria keilmiahan sebuah teori harus dapat di salahkan (falsifiability), dapat di sangkal (refutability), dan dapat di uji (testabilyty). Pemikiran Popper ini dikenal sebagai Epistemolog Rasionalisme-Kritis dan Empirisis Modern.
KESIMPULAN
Dari penguraian di atas, terdapat empat
model pengujian kebenaran, yakni Dogmatis, Spekulatif, Verifikatif, dan
Falsifikatif. Ke empat model ini berbeda-beda dalam menguraikan sesuatu
yang di anggap benar.
Paham dogmatisme berkembang pada zaman abad pertengahan. Semboyan yang dipakai pada masa ini adalah ‘ancilla theologia’ (abdi agama), sehingga semua aktifitas ilmiah selalu berkaitan dengan aktifitas agama. Dogmatis adalah sesuatu yang bersifat otoritatif yang diharapkan dapat mengikat kalangan tertentu tanpa adanya kritik dan penyelidikan atas dasar-dasarnya. Suatu dogma di dasarkan atas suatu anggapan yang tidak dapat diselidiki.
Paham dogmatisme berkembang pada zaman abad pertengahan. Semboyan yang dipakai pada masa ini adalah ‘ancilla theologia’ (abdi agama), sehingga semua aktifitas ilmiah selalu berkaitan dengan aktifitas agama. Dogmatis adalah sesuatu yang bersifat otoritatif yang diharapkan dapat mengikat kalangan tertentu tanpa adanya kritik dan penyelidikan atas dasar-dasarnya. Suatu dogma di dasarkan atas suatu anggapan yang tidak dapat diselidiki.
Spekulasi merupakan karakteristik yang esensial dalam sikap ilmiah. Spekulasi adalah suatu hal yang berguna untuk mengembangkan dan mencoba berbagai hipotesa. Spekulasi berangkat dari keinginan untuk mengembangkan dan mencoba memecahkan suatu masalah yang di tandai dengan beberapa usaha mencari solusinya.
Verifikasi merupakan salah satu cara pengujian hipotesis yang tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-teori, prinsip-prinsip, generalisasi, dan hukum-hukum. Pada dasarnya Verifikasi di gunakan untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Verifikasi adalah pandangan yang dikembangkan oleh Neo-Positivisme atau yang di kenal Positivisme Logis yang mendapat pengaruh dari Auguste Comte (1798-1857).
Falsifikatif merupakan salah satu teori untuk menilai, menguji, dan membuktikan suatu kebenaran. Falsifikatif adalah sebuah model pengujian kebenaran yang menganggap jika kriteria kebenaran ilmiah dari sebuah teori harus dapat disalahkan, di sangkal, dan dapat di uji. Artinya, suatu teori atau hipotesa harus di buktikan kesalahannya, bukan untuk di buktikan kebenarannya. Jadi semakin besar kemungkinan teori itu untuk di sangkal, dan teori tersebut tetap bertahan, maka senakin kokoh pula kebenaran ayng terkandung dalam teori tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
• Poerbakawatja, R. Soegarda, H. A. H. Harahap. 1982. Ensiklopesi Pendidikan. Jakarta : PT. Gunung Agung.
• Anwar, Desy. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Amelia.
• Budianto, Irmayanti M. 2005. Realitas dan Objektivitas. Jakarta : Wedatama Widya Sastra.
• Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Belukar.
• Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : PT Bumi Aksara.
• Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu : Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Surabaya : Pustaka Intelektual.
• Suriasumantri,Jujun S. 1995. Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
• Anwar, Desy. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Amelia.
• Budianto, Irmayanti M. 2005. Realitas dan Objektivitas. Jakarta : Wedatama Widya Sastra.
• Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Belukar.
• Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : PT Bumi Aksara.
• Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu : Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Surabaya : Pustaka Intelektual.
• Suriasumantri,Jujun S. 1995. Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
• Kattsoff, Louis O. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.