Kita telah tahu dari sejarah, Bangsa kita sudah terjajah semenjak zaman raja-raja, lalu dijajah Belanda, dijajah Jepang, selanjutnya dijajah bangsa sendiri. Karena begitu lamanya terjajah, maka budaya yang timbul yakni budaya keterjajahan itu sendiri. Budaya ini menghasilkan dua dikotomi dalam tatanan masyarakat kita sekarang, sehingga jika boleh dikategorikan terdapat dua golongan besar yang ada di Indonesia, yakni golongan yang terjajah dan golongan penjajah.
Jika dilihat dari internal bangsa
indonesia, mereka yang memiliki kekuasaan itu cenderung bermental
penjajah, dan rakyat memiliki mental terjajah. Namun jika dikaitkan
dengan tatanan dunia, maka pemerintah Indonesia memiliki mental
terjajah. Hal ini sangat tampak jika diamati dalam kehidupan berbangsa
kita. Ambil saja contoh saat kita bertemu camat, maka si camat akan
serupa penjajah di mata rakyat walaupun pada hakikatnya mereka adalah
abdi masyarakat. Kita jarang (jika tidak mau dikatakan tidak pernah)
melihat perilaku pejabat dan penguasa yang mencerminkan abdi masyarakat
dalam pengertian masyarakat-lah yang dianggap majikan, bukan sebaliknya
seperti yang terjadi sekarang. Para pejabat mulai dari lurah sampai ke
atasnya bersikap sok kuasa. Nah, jika hal ini tidak dihentikan, artinya
bangsa kita tidak akan pernah merdeka sebagai bangsa!. Tidak merdeka
dalam artian disini adalah tidak merdeka dari segi perilaku, karena kita
mempunyai mentalitas keterjajahan itu.
Satu-satunya yang bisa memerdekakan kita ( jika saya boleh memandangnya dalam prespektif Islam ) hanyalah La ilaha illallah. Artinya apa? Artinya hanya mereka yang mau dijajah oleh Allah (atau dengan kata lain yang mau menjadi hamba Allah) saja yang bisa merdeka. Kalau orang tak mau dijajah oleh Allah, maka ia akan dijajah oleh segala apapun. Oleh isme-isme. Oleh siapa saja. Nah, sebab inilah, yang akan melahirkan kita menjadi budak-budak. Kalau kita tidak merdeka, bagaimana kita bisa kreatif, bisa menyikapi dunia dengan benar.?
Apa artinya jika kita, sebagai bangsa
tidak merdeka secara menyeluruh? artinya kita tetap saja kalah dan tak
bisa berbuat apa-apa. Jika bangsa kita belum La ilaha illalah, seperti
yang diatas tadi, ya sulit. Mereka- Kaum imperialis-kapitalis bisa
membuat kita ini seenaknya sendiri. Dibuat biru, hijau, atau merah,
terserah mereka.
Kenapa hal tersebut terjadi? Karena
sebagai bangsa, kita masih bermental budak. Itulah mengapa, kita harus
merdeka total dulu, baru berfikir menanggulangi masalah kemiskinan,
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan. Jika belum merdeka, ya, sulit
sekali. Apalagi Indonesia itu kan, jika boleh dianalogikan serupa dengan
orang desa melihat orang kota. Dunia ketiga diibaratkan desa, dan
negara adikuasa itu kota. Gambarannya persis ketika orang desa melihat
orang kota. Orang kota punya gaya gini, orang desa ikut-ikutan. Silau.
Pokoknya apa-apa yang di kota itu pasti hebatnya. Nah, Kitapun terhadap
negara-negara maju juga melihat demikian. Silau dulu. Dan kalau silau,
ya nggak bisa lihat apa-apa. Apa saja ditiru.
Termasuk Orba ketika mau membangun
ekonomi, yang menjadi contohnya adalah negara-negara maju. Hal tersebut
wajar dan tidak salah. Cuma yang menjadi tidak wajar, proses menirunya
itu, meniru ini, meniru itu tidak perduli pantas atau tidak. Jadi ketika
Orde Baru
meniru Barat, ya hasilnya kapitalis. Dan sebagai konsekuensinya akan
akan melahirkan manusia-manusia yang materialistis dan hedonis.
Seandainya yang materalistis atau hedonis itu orang kaya ya masih
mendingan. Lha, bagaimana kalo orang mlarat tapi maksa niru orang kaya?
Mereka melihat bahwa barat itu memiliki
peradaban maju, padahal apakah suatu peradaban maju atau tidak adalah
sangat relatif. Ketika peradaban kapitalis dikatakan maju, yang
mengatakan maju pastilah orang kapitalis juga. Apakah peradaban yang
maju itu ketika orang punya mobil, teknologinya maju, dan segala macam
atau yang seperti apa?
Apakah peradaban pada zaman rasul adalah
peradaban tinggi atau rendah? Padahal pada zaman itu, kehidupannya
sangat sederhana sekali. Hal tersebut disebabkan karena memang dunia
diletakkan pada tempat yang seharusnya. Yang terjadi sekarang,
kondisinya berbalik, dunia yang menjadi tujuan. Ketika dunia menjadi
tujuan, maka berbalik juga pemikiran manusia. Peradaban yang hebat
adalah peradaban yang bersifat duniawi. Padahal sebenarnya hal tersebut
bukan peradaban.
Apakah namanya peradaban jika manusia
dianggap mesin, jika manusia dianggap tidak mempunyai ruh, jika manusia
dianggap sumber daya? Yang nantinya untuk apa? Untuk produksi?!. Apakah
namanya peradaban jika mereka menciptakan teknologi canggih padahal
merusak dunia, dan digunakan untuk tujuan membunuh?
Sekarang ini manusia Indonesia mulai dari
yang paling bawah sampai ke atas, sadar ataupun tidak, semuanya
materialistis. Lihat saja jika mereka ditanya apa itu tujuan mereka, apa
itu parameter mereka tentang sukses, hampir semua jawabannya sukses itu
ya punya banyak duit, bisa beli apa saja, punya rumah yang besar.
Pokoknya semua-semua yang berbau materi. Mereka secara sadar atau tidak
ya, itu tadi telah menjadikan tujuan hidupnya, prinsip hidupnya sebatas
pada prinsip-prinsip materi. Nah, ga heranlah jika sekarang korupsi
sudah mewabah dari kalangan elit politisi di senayan, sampai ke bagian
di kehidupan sehari – hari kita.
literatur :kliktedy.com