Seiring
dengan berbagai kejadian yang merupakan indikasi terpuruknya
perekonomian Indonesia saat ini, seperti imbas krisis di Amerika
Serikat, harga minyak tanah yang melambung tinggi, dan PHK
besar-besaran, maka pembahasan pemulihan ekonomi dengan cara yang tidak
bergantung sepenuhnya kepada pemerintah menjadi aktual. Dikemukakan
berbagai konsep alternatif seperti pemberdayaan ekonomi mikro (misalnya
UKM; usaha kecil menengah), pengembangan sumber energi alternatif,
penerapan konsep ekonomi kreatif (creative economy) sampai entrepreneurship atau kewirausahaan. Hal terakhir, yakni kewirausahaan menjadi topik hangat bila diperbincangkan di kampus.
Jika ditinjau secara ilmiah, sudah sejak ratusan abad yang lalu, istilah entrepreneurship dibahas. Antara lain Richard Cantillon pada tahun 1755 dan J.B. Say pada tahun 1803 (Santosa, 2007). Cantillon menyatakan entrepreneur sebagai
seseorang yang mengelola perusahaan atau usaha dengan mendasarkan pada
akuntabilitas dalam menghadapi resiko yang terkait ( a person who undertakes and operates a new enterprise or venture and assumes some accountability for inherent risks). Di dalam konsep sebuah entrepreneurship, terdapat unsur pemberdayaan atau empowerment di dalamnya. Menurut Webster dan Oxford English Dictionary, empowerment bisa diartikan sebagai to give power to atau authority to, atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Bisa juga diterjemahkan sebagai to give ability to or enable
atau usaha memberi kemampuan. Salah satu unsur yang termaktub dalam
kewirausahaan memang bermakna sebagai sebuah usaha untuk memberikan
kemampuan dan mengalihkan kekuatan seseorang atau beberapa orang menuju
sebuah kemandirian. Kemandirian secara finansial misalnya.
Sedangkan Social Entrepreneurship merupakan sebuah istilah turunan dari kewirausahaan. Gabungan dari dua kata, social yang artinya kemasyarakatan, dan entrepreneurship yang artinya kewirausahaan. Pengertian sederhana dari Social Entrepreneur adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan kesehatan (healthcare) (Santosa, 2007). Sesungguhnya Social Entrepreneurship sudah
dikenal ratusan tahun yang lalu diawali antara lain oleh Florence
Nightingale (pendiri sekolah perawat pertama)dan Robert Owen (pendiri
koperasi). Pengertian Social Entrepreneurship sendiri
berkembang sejak tahun 1980 –an yang diawali oleh para tokoh-tokoh
seperti Rosabeth Moss Kanter, Bill Drayton, Charles Leadbeater dan
Profesor Daniel Bell dari Universitas Harvard yang sukses dalam kegiatan
Social Entrepreneurship karena
sejak tahun 1980 berhasil membentuk 60 organisasi yang tersebar di
seluruh dunia. SE mencoba melayani pasar yang belum digarap,
menghilangkan kesenjangan dalam kesejahteraan, pendidikan, kesehatan,
demografis dan peluang bekerja (Elkington, 2008).
Konsep secara umum dari Social Entrepreneurship, sebenarnya
berarti bukan merupakan sebuah lembaga atau organisasi bentukan atau
turunan dari perusahaan swasta (misalnya hasil dari CSR, Corporate Social Responsibility)
dan lembaga pemerintahan (dalam hal ini yang terkait dengan Dinas
Kesejahteraan Sosial). Akan tetapi murni merupakan sebuah usaha entrepreneurship yang bergerak di bidang sosial. Pada awalnya, Social Entrepreneurship mempunyai inti pemberdayaan dalam bidang kemasyarakatan yang bersifat voluntary atau charity (kedermawanan
dan sukarela). Dalam hal ini membentuk sebuah lembaga-lembaga sosial
seperti panti asuhan, anak asuh atau donasi untuk beasiswa di bidang
pendidikan. Konsep awal mula Social Entrepreneurship tidak
menekankan pada usaha untuk menghasilkan profit (non-profit). Jikalau
ada profit, bukan menjadi tujuan utama dan nilainya bisa dibilang kecil.
Karena inti utama dalah pemberdayaan untuk kemaslahatan bersama. Social Entrepreneurship akhir-akhir
ini menjadi makin populer terutama setelah salah satu tokohnya Dr.
Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh yang mendapatkan
hadiah Nobel untuk perdamaian tahun 2006 (Santosa,
2003). Yang dikembangkan oleh Yunus, dengan pemberdayaan masyarakat di
segmen kurang mampu secara finansial, tidak hanya menghasilkan
kesejahteraan sosial masyarakat tetapi ternyata juga mendatangkan sebuah
keuntungan secara finansial. Bisa dilihat dengan banyaknya tenaga kerja
yang terserap (6 juta wanita), seperti phone-lady, ribuan pengemis, dan tumbuhnya UKM (Usaha Kecil Menengah) yang terbentuk dari usaha peminjaman uang atau kredit uang dengan bunga murah.
Gambar di atas adalah sebuah ilustrasi yang menggambarkan bahwa Social Entrepreneurship tersusun atas dasar 3 aspek. Voluntary Sector bersifat suka rela. Public Sector menyangkut kepentingan publik bersama. Private Sector adalah unsur pribadi atau individual yang bersangkutan, bisa termasuk unsur kepentingan profit.
Kisah Nyata
Sebenarnya contoh kesuksesan Social Entrepreneurship telah ada sejak dari dulu. Misalnya Dr.
Maria Montessori (Italy) yang mengembangkan lembaga pendidikam untuk
anak-anak dan John Muir (U.S.) yang membuat lembaga perlindungan dan
konservasi kebun binatang serta membuat lembaga bernama Sierra Club (http://wikipedia.org/). Beberapa contoh lain adalah organisasi – organisasi atau lembaga independen hasil bentukan konsepsi Social Entrepreneurship, yakni The
George Foundation’s Women’s Empowerment (mengurusi pemberdayaan
perempuan di India), Ashoka: Innovators for the Public, the Skoll
Foundation, the Omidyar Network, the Schwab Foundation for Social
Entrepreneurship, the Canadian Social Entrepreneurship Foundation,
EthiCorp Pte Ltd New Profit Inc. dan Echoing Green among others (http://ashoka.org)
Di negara kita Indonesia sebenarnya contoh sukses Social Entrepreneurship sudah ada beberapa. Misalnya
lembaga amil dan zakat seperti Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat. Kedua
lembaga tersebut adalah contoh lembaga yang awalnya merupakan inisiatif
beberapa orang untuk mengadakan donasi dan voluntary
untuk mengurusi masalah zakat, infak dan shodaqoh. Tapi dalam
perkembangannya sangat pesat. Bisa menyerap beribu tenaga kerja. Rumah
sakit bersalin gratis, mobil jenazah keliling dan berobat gratis di
berbagai pos kesehatan yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia
adalah contoh hasil nyatanya. Sehingga kemanfaatannya tentu saja bukan
hanya dampak untuk kemaslahatan umat, tetapi juga keuntungan atau profit
secara finansial.
Realita di Indonesia dan Sebuah Solusi dengan Mengubah Paradigma
Angka
pengangguran di Indonesia tidak dipungkiri masih terlihat tinggi.
Walaupun survey-survey statistik menunjukkan angka yang beragam
(pro-kontra), tetapi jika dilihat realita di lapangan, masih banyak
pengangguran yang susah mencari kerja dan angka PHK cenderung meningkat.
Tak sulit menjumpai para pengemis, gelandangan dan preman-preman di
perempatan jalan kota-kota besar. Dan
semuanya sebenarnya masih bisa digolongkan dalam fakir dan miskin.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat suci Al Qur’an, surat Ar Rum ayat 38, ”Maka
berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula)
kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang
lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka
itulah orang-orang beruntung”. Sudah jelas termaktub di situ bahwa menjadi kewajiban setiap orang yang mampu untuk membantu yang lemah.
Sebuah
solusi riil untuk membantu meringankan beban orang-orang yang kurang
mampu dapat diselesaikan salah satunya dengan mempraktekan Social Entrepreneurship.
Bukan semata mengandalkan lembaga pemerintahan atas nama departemen
kesejahteraan sosial. Masayarakat secara pribadi bisa bergerak sendiri.
Akan menghasilkan efek ganda, sesuai dengan pemaparan di atas, yakni
kesejahteraan orang lain meningkat dan menjadi nilai kewirausahaan untuk
mencari profit. Sebenarnya ada yang paling mendasar untuk dimengerti
dan dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Dan hal ini sesungguhnya bisa
dilakukan dengan mengubah paradigma masyarakat Indonesia pada umumnya.
Jika selama ini lembaga-lembaga sosial tersebut hanya dipandang sebuah
ajang aktualisasi diri untuk saling membantu sesama, maka sebenarnya
dengan membangun sendiri sebuah Social Entrepreneurship juga
akan mendatangkan profit secara finansial. Hal ini bisa diterapkan
semenjak dini untuk memupuk rasa kemanusiaan dan pemahaman apa itu Social Entrepreneurship.
Contoh riilnya jika di kampus adalah diterapkan di kegiatan-kegiatan semacam KKN (kuliah Kerja Nyata). Paradigma Social Entrepreneurship
bisa dimasukkan dan diaplikasikan di situ. Dengan pemberdayaan
masayarakat secara komprehensif sehingga misalnya dapat menciptakan
lapangan kerja. Mata kuliah kewirausahaan didesain agar mahasiswa dapat
langsung mengaplikasikan Entrepreneurship, khususnya Social Entrepreneurship. Mahasiswa diberi pinjaman modal untuk membuka usaha sendiri selama mata kuliah KWU berlangsung. Selain itu, konsep Social Entrepreneurship bisa
lebih diperdalam dan dikembangkan di lembaga-lembaga sosial agar lebih
mantap dan matang. Seperti di Lembaga Amil Zakat Infak dan Shodaqoh,
serta lembaga sosial lain seperti untuk pemberantasan buta huruf dan
penanggulangan HIV/AIDS.
Referensi :
Elkington
John, Pamela H. 2008. “The Power of Unresonable People : How Social
Entrepreneur creates markets that changes the world”. Havard Business
Press.
Santosa, Setyanto. 2007. ”Peran Social Entrepreneurship dalam Pembangunan”.