Ketidakjujuran akademik merupalan salah satu contoh pragmatisme mahasiswa
Pragmatisme merupakan sifat atau ciri
seseorang yang cenderung berfikir praktis, sempit dan instant. Orang
yang mempunyai sifat pragmatis ini menginginkan segala sesuatu yang
dikerjakan atau yang diharapkan ingin segera tercapai tanpa mau berfikir
panjang dan tanpa melalui proses yang lama. Sehingga kadang hasilnya
itu meleset dari tujuan awal.
Biasanya sifat ini identik dengan
orang yang kurang penyabar dan ambisius. Orang yang ambisius ini selalu
melakukan sesuatu atau melakukan perubahan secara cepat. Sehingga tidak
heran kalau orang seperti ini mempunyai keinginan yang keras dan tidak
mau dikalahkan oleh orang lain. Tapi, sifat ambisius ini cenderung
bersifat ke hal yang negatif, mereka melakukan segala macam cara untuk
mencapai keinginannya.
Salah satu contoh kecil pragmatisme
mahasiswa yang terjadi di universitas adalah ketidakjujuran akademik.
Permasalahan ini merupakan permasalahan yang sangat klasik yang terjadi
dalam dunia pendidikan. Misalnya dalam menempuh ujian, banyak sekali
mahasiswa yang berlaku curang dalam dalam ujian seperti membuat
contekan-contekan, mereka menulis ringkasan pelajaran dalam
kertas-kertas kecil.
Apalagi dengan kecanggihan tekhnologi sekarang ini, mahasiswa dengan mudahnya mengakses segala macam informasi yang mereka inginkan dari internet. Dengan membawa sebuah hand phone yang disertai dengan kecanggihan dalam mengakses informasi. Sehingga mereka dengan mudahnya mendapatkan jawaban yang diinginkan tanpa berfikir secara panjang. Hal itu mereka lakukan untuk mendapatkan nilai semaksimal mungkin, minimal tidak D.
Apalagi dengan kecanggihan tekhnologi sekarang ini, mahasiswa dengan mudahnya mengakses segala macam informasi yang mereka inginkan dari internet. Dengan membawa sebuah hand phone yang disertai dengan kecanggihan dalam mengakses informasi. Sehingga mereka dengan mudahnya mendapatkan jawaban yang diinginkan tanpa berfikir secara panjang. Hal itu mereka lakukan untuk mendapatkan nilai semaksimal mungkin, minimal tidak D.
Kepraktisan inilah yang
menghambat pemikiran mahasiswa untuk mengeksplorasi pemikirannya.
Sehingga mereka tidak lagi berfikiran secara kritis ketika menghadapi
sebuah masalah. Dunia pendidikan tidak membenarkan hal tersebut tapi hal
tersebut sudah mengakar dalam diri mahasiswa.
Sekalipun mahasiswa tersebut sangat pandai pasti sekali atau dua kali tentunya pernah menyontek. Hal ini pernah diutarakan oleh seorang aktivis ketika mengkampanyekan “Anti Korupsi Dimulai Dari Diri Sendiriâ€Â. Beliau merupakan salah satu mahasiswa yang tergolong sangat pandai dikalangan universitasnya. Beliau saja sudah mengaku kalau pernah melakukan korupsi dalam ujian, yaitu menyontek. Sehingga tidak dapat dipungkiri kalau dalam jiwa setiap mahasiswa pastinya terdapat sifat pragmatis meskipun presentasinya kecil maupun besar karena pribadi orang itu berbeda-beda.
Sekalipun mahasiswa tersebut sangat pandai pasti sekali atau dua kali tentunya pernah menyontek. Hal ini pernah diutarakan oleh seorang aktivis ketika mengkampanyekan “Anti Korupsi Dimulai Dari Diri Sendiriâ€Â. Beliau merupakan salah satu mahasiswa yang tergolong sangat pandai dikalangan universitasnya. Beliau saja sudah mengaku kalau pernah melakukan korupsi dalam ujian, yaitu menyontek. Sehingga tidak dapat dipungkiri kalau dalam jiwa setiap mahasiswa pastinya terdapat sifat pragmatis meskipun presentasinya kecil maupun besar karena pribadi orang itu berbeda-beda.
Sebenarnya pengawasan dosen penguji ketika ujian seakan tidak cukup mengamati lipatan-lipatan kertas yang sengaja di buat oleh mahasiswa untuk meraih nilai maksimal. Mengkopi sumber-sumber dari buku maupun internet merupakan hal yang sudah biasa dilakukan mahasiswa sekarang ini. Sehingga hal tersebut dapat mengurangi kekritisan pemikiran mahasiswa dalam mengeksplorasi masalah yang dihapinya.
Seperti yang diungkapkan oleh Hendra Sugiantoro
Universitas Karangmalang Yogyakarta bahwa minimnya perilaku ilmiah tetap
tidak bisa digeneralisir pada keseluruhhan mahasiswa. Masih terdapat
mahasiswa yang memiliki kesadaran moral organis, sehingga tidak berfikir
pragmatis dalam mengumpulkan pundi-pundi prestasi akademiknya. Meskipun
demikian, adanya pseudo mahasiswa tidak bisa diingkari dan terkesan
bagga mengenakan topengnya. Lebih parah lagi, mahasiswa bertopeng
menyelesaikan tugas akhir atau skripsinya melalui “the invisible
hand’.
Kondisi mahasiswa yang jauh dari etika akademik ini tidak bisa dilepaskan dari factor eksternal tuntutan indeks prestasi tinggi. Lagi-lagi pengukuran hasil belajar secara kuantitatif tetap menarik untuk diperdebatkan. Mahasiswa mengikuti perkuliahan hanya untuk mengejar nilai minimal tidak D, bahkan mengumpulkan tugas-tugas kuliah asal tepat waktu. Tidak dibantah dan mahasiswa berfikir sama bahwa dosen tidak mungkin memeriksa keseluruhan tugas mahasiswa, akibat kesibukannya yang padat.
Kondisi mahasiswa yang jauh dari etika akademik ini tidak bisa dilepaskan dari factor eksternal tuntutan indeks prestasi tinggi. Lagi-lagi pengukuran hasil belajar secara kuantitatif tetap menarik untuk diperdebatkan. Mahasiswa mengikuti perkuliahan hanya untuk mengejar nilai minimal tidak D, bahkan mengumpulkan tugas-tugas kuliah asal tepat waktu. Tidak dibantah dan mahasiswa berfikir sama bahwa dosen tidak mungkin memeriksa keseluruhan tugas mahasiswa, akibat kesibukannya yang padat.
Mahasiswa memang mendapatkan
nilai untuk tidak mengulang di semester depan, tetapi terdapat
kemungkinan menihilkan proses ilmiah, seperti membaca literatur,
mengakses informasi dan memahami materi kuliah secara komprehensif.
Disamping itu, mahasiswa juga memiliki "guru virtual". Dalam leksikon Jawa, kata guru diakronimkan dengan ungkapan "digugu lan ditiru". Saat ini televisi relatif dijadikan guru maya mahasiswa.
Hampir minim tayangan televisi yang menengahkan aspek-aspek ilmiah serta menyuguhkan etos belajar dan perjuangan di bangku pendidikan formal. Mahasiswa relatif meniru dan mengikuti pesan dari guru virtualnya yang tak terbantahka memiliki daya pengaruh luar biasa.
Fenomena pragmatisme mahasiswa ini, akhirnya justru membuka peluang bagi tumbuhnya jasa penyusunan skripsi. Mendapatkan rupiah melalui lahan ini cukup prospektif sambil terus meninabobokan budaya instan mahasiswa. Namun, adanya bisnis tersebut justru makin merunyamkan dunia Perguruan Tinggi yang telah tercoreng dengan kebijakan biaya mahalnya.
Disamping itu, mahasiswa juga memiliki "guru virtual". Dalam leksikon Jawa, kata guru diakronimkan dengan ungkapan "digugu lan ditiru". Saat ini televisi relatif dijadikan guru maya mahasiswa.
Hampir minim tayangan televisi yang menengahkan aspek-aspek ilmiah serta menyuguhkan etos belajar dan perjuangan di bangku pendidikan formal. Mahasiswa relatif meniru dan mengikuti pesan dari guru virtualnya yang tak terbantahka memiliki daya pengaruh luar biasa.
Fenomena pragmatisme mahasiswa ini, akhirnya justru membuka peluang bagi tumbuhnya jasa penyusunan skripsi. Mendapatkan rupiah melalui lahan ini cukup prospektif sambil terus meninabobokan budaya instan mahasiswa. Namun, adanya bisnis tersebut justru makin merunyamkan dunia Perguruan Tinggi yang telah tercoreng dengan kebijakan biaya mahalnya.
Diperlukan tindakan tegas untuk memperkarakan secara hukum
tukang jasa skripsi agar kredibilitas Perguruan Tinggi dalam mencetak
lulusan tetap terjaga. Upaya menghadirkan etika akademik hendaknya terus
dilakukan untuk melahirkan lulusan mahasiwa yang memiliki kompetensi
ideal. Mahasiswa yang menguasai konsep dan pengetahuan secara luas dan
mendalam terkait program studinya serta memiliki akuntabilitas untuk
manampilkan unjuk kerja secara profesional di tanah publi