Gambar 1: Proses belajar yang sesuai konteks |
Ada dua persoalan mendasar yang bisa
kita sebut sebagai dampak dari salah urus pendidikan nasional. Pertama,
pengangguran yang melimpah. Survei BPS Agustus 2010 bahwa dari 116, 5
juta angkatan kerja, ada 710.00 ber-ijasah sarjana, ada 443.000 lulusan
Diploma, yang tidak tau hendak ‘ngapain’ alias tanpa kerja. Bahkan,
tenaga kerja Indonesia hari ini 49,53 persen adalah lulusan Sekolah
Dasar.
Kedua, siswa atau rakyat kerap
dijadikan korban dalam soal akses hak pendidikan. Rakyat terus ditindas
karena dibatasi meng-akses hak dididik, dengan beragam bentuk tes ini
dan itu. Akibatnya, pendidikan sebagai barang publik menjadi mahal dan
sulit bagi mayoritas warga negeri. Pemerataan pendidikan oleh
pemerintah, sebagai amanat Konstitusi Negara menjadi sekedar mimpi dan
mimpi.
Belum tuntas dengan tugas pemerataan penyediaan akses, malahan penguasa hari ini menerapkan konsep neo-liberalisme
dalam dunia pendidikan. Negara didesain agar membatasi akses publik
terhadap hak pendidikan—negara tidak lagi bertanggung jawab penuh biaya
pendidikan—dengan cara-cara halus, yakni dengan melegitimasi kompetisi
(manifestasi paham individualistik) melalui istilah seleksi masuk!
Dengan seleksi, beban pembiayaan negara
jadi berkurang, sebab yang sudah pasti lulus masuk jumlahnya terbatas.
Publik pun dipaksa mengikuti pola pikir anti sosial ini. Publik diajar
saling sikut, harus berkompetisi, otomatis saling mengalahkan, untuk
memperoleh kursi di lembaga pendidikan (Sekolah Dasar hingga Perguruan
Tinggi), adalah wajar. Ini jelas akan mengacaukan sistem berbudaya
kita. Bahkan, pembatasan melalui cara halus ini adalah bentuk
pelanggaran HAM serius, karena pendidikan sebagai barang publik adalah
hak warga negara, yang mestinya langsung kita terima tanpa harus ikut
seleksi-seleksi diskriminatif itu.
Kontekstualisasi pendidikan adalah solusi
kaitan solusi lepas dari lilitan
persoalan pengangguran massal ini. “Pendidikan dalam
Pembangunan”, agar perlunya keterlibatan perguruan
tinggi (PT) dalam merancang, bahkan hingga mengevaluasi jalannya
pembangunan di Indonesia, termasuk di tingkat daerah.
Apalagi, mengingat kini perencanaan
pembangunan Indonesia telah dipetakan dalam enam koridor, sebagai fokus
pembangunan sektor. Gagasan agar pembangunan secara keseluruhan perlu
melibatkan PT menjadi relevan, walau mestinya itu tidak terbatas di
lembaga tinggi. Pada tataran pendidikan dasar, mereka juga mestinya
dilibatkan. Dengannya, siswa sudah akan dibiasakan mendesain hidup dan
orientasi pendidikannya sedari awal yang mengarah pada pembangunan
potensi alam Indonesia pada konteks daerahnya, bukan malah diarahkan
pada mimpi-mimpi yang jauh dari konteksnya.
Adalah lucu dan memalukan, kalau-kalau ada di antara kita yang enggan
menjadi petani atau bahkan malu bercita-cita menjadi seorang nelayan
handal. Dari sisi konteks, mestinya itu tidak harus terjadi. Di titik
inilah, kita perlu mendesain agar pendidikan kita mulai dari tingkat
dasar hingga tinggi sungguh-sungguh kontesktual, dalam arti sejalan
dengan upaya-upaya pengembangan potensi alam di lingkungannya.
Bila perlu, secara sederhana (sebagai
contoh saja), untuk mereka di Wakatobi, cara menjala dan memancing ikan
dengan metode-metode teruji harus diajarkan dan masuk dalam kurikulum
pendidikan lokal. Bagi mereka yang ada di pedalaman Jawa, secara
sengaja mestinya juga diajarkan bagaimana mencangkul dan atau menanam
padi dengan metode-metode yang bertanggung jawab. Bukan hanya dalam
kaitan bagaimana melakukan sesuatu, bahkan siswa juga perlu diajarkan
beragam pemikiran unik lokal (local wisdom), kaitan cara memaknai hidup dalam konteksnya.
Secara garis besar, Indonesia kini
dibagi ke dalam enam wilayah sektor pembangunan dengan fokus yang
berbeda-beda. Sumatera ditetapkan sebagai sektor atau sentra produksi
dan pengelolaan hasil bumi dan energi. Koridor Jawa, sebagai pendorong
industri dan jasa nasional. Koridor Kalimantan sebagai pusat produksi
dan pengelolaan hasil tambang dan lumbung energi.
Koridor Bali dan Nusa Tenggara sebagai
pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional. Koridor
Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengelolahan hasil pertanian,
perkebunan, dan perikanan, serta pertambangan nikel. Koridor Papua dan
Maluku sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan
pertambangan nasional.
Dengan pemetaan ini, menjadi keharusan
dan kemestian bagi Perguruan Tinggi di masing-masing wilayah, termasuk
berbagai lembaga pendidikan dasar, untuk mereorientasikan pengembangan
kurikulum pendidikannya agar sejalan dengan tujuan-tujuan pemetaan
potensi wilayah yang telah dilakukan pemerintah pusat itu.
perguruan tinggi di daerah
juga harus segera mereformasi diri agar jurusan-jurusan studi yang
dikembangan di kampus pun sejalan dengan usaha mengembangkan dan
mengelola potensi daerahnya.
Inilah setidaknya salah satu bentuk
menerapkan maksud kontekstualisasi pendidikan itu, yakni kurikulum
lembaga pendidikan secara sengaja, secara baik, dan secara teratur
didesain dalam rangka memaksimalkan potensi alam dengan ilmu
pengetahuan yang bertanggung jawab, itu berarti tidak boleh merusak
alam.
Kontekstualisasi kedua adalah
pengembangan potensi sumber daya manusia setempat, atau siswa sesuai
dengan, bukan saja searah dengan kebutuhan mengelola alam sekitar,
namun juga sesuai dengan potensi kecerdasan masing-masing siswa sebagai
manusia yang unik.
Gambar 2: Anak didik belajar sesuai minatnya |
Dengan anggapan ini, maka fungsi
pendidikan menjadi jelas, sebagai upaya memaksimalkan potensi siswa
yang bukan saja sesuai dengan kebutuhan pengembangan potensi alam,
namun utama-utamanya juga dalam rangka meng-eksplorasi kemampuan unik
darinya. Di sinilah peran sentral lembaga pendidikan, yakni
mempertemukan dua hal berbeda—namun tidak bisa dipisahkan—itu agar
searah.
Menjadi tugas penting bagi sekolah
untuk mendesain kurikulum pendidikan agar potensi siswa yang unik itu
sungguh-sungguh bisa berkembang, sekaligus di saat yang sama juga
bermanfaat bagi pengembangan potensi alam di sekitarnya. Pendidikan
yang memanusiakan siswa adalah pendidikan yang membawa seseorang
menjadi dan berkembangan sesuai dengan potensi kecerdasan yang
dimilikinya, namun juga berguna bagi kemanusiaan.
Bagi siswa, adalah penting untuk paham
bahwa kecerdasan yang dianugerahkan ilahi kepada kita, bukanlah sesuatu
yang hanya ada untuk ada, namun tentu itu ada untuk dimanfaatkan bagi
penciptaan situasi lingkungan, di mana kita berada, tampil lebih baik.
Kita harus sadar bahwa potensi kecerdasan itu haruslah membawa manfaat
bagi pengembangan potensi alam dan kelestarian lingkungan di mana kita
hidup. Tanpa kedua itu, kita telah gagal menjadi manusia-manusia yang
utuh:
1. http://www.ymp.or.id/esilo/content/blogcategory/3/4/9/90/
2. http://baltyra.com/2010/05/20/masih-tentang-sekolah-anak-anak-kita/ terdidik.
1. http://www.ymp.or.id/esilo/content/blogcategory/3/4/9/90/
2. http://baltyra.com/2010/05/20/masih-tentang-sekolah-anak-anak-kita/ terdidik.