Sebagian besar penduduk Indonesia menempati wilayah
pedesaan dan mereka hidupnya sangat bergantung pada sektor pertanian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Mei 2012 tenaga kerja di
sektor pertanian mencapai 41,20 Juta jiwa atau sekitar 43,4% dari jumlah
total penduduk Indonesia. Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar
4,76% atau sebesar 1,9 juta dibandingkan Agustus 2011. Indonesia
menempati urutan ke 3 dunia setelah China (66% ) dan India (53,2%).
Sektor
pertanian di Indonesia sungguh sangat strategis untuk meningkatkan
taraf hidup penduduk di pedesaan, penyediaan pangan bagi seluruh
penduduk Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian ke
depan seyogianya dengan sasaran utama peningkatan kesejahteraan
masyarakat petani dan pemantapan ketahanan pangan nasional.
Komitmen
Pemerintah untuk memajukan sektor pertanian sudah besar. Mengingat
kemampuan pendapatan negara terbatas, alokasi biaya pembangunan sektor
pertanian menjadi tidak ideal. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) Tahun 2013 untuk alokasi anggaran program sektor pangan sebesar
Rp. 83 triliun atau sepertiga dari anggaran belanja pegawai yang
besarnya mencapai Rp 241 triliun. Anggaran pangan tersebut hanya
mencakup untuk 2 (dua) kegiatan, yaitu stabilisasi harga pangan bagi
pemenuhan kebutuhan rakyat sebesar Rp. 64,3 triliun, serta pembangunan
infrastruktur irigasi Rp. 18,7 triliun.
Dengan 7% dari total
anggaran di APBN 2013, diharapkan anggaran untuk sektor ini mampu
menyelesaikan berbagai persoalannya, termasuk persoalan ketenagakerjaan.
Mengacu pada ukuran Organisasi Pangan Dunia (FAO), dana bagi sektor
pertanian suatu negara, diharuskan sebesar 20% dari total anggaran untuk
membiayai pembangunannya.
Tekanan Globalisasi Pasar dan Liberalisasi Perdagangan
Sektor
pertanian Indonesia dihadapkan pada persaingan pasar yang semakin
kompetitif, di tengah dinamika perubahan lingkungan strategis
internasional. Ratifikasi berbagai kesepakatan internasional, memaksa
setiap negara membuka segala rintangan perdagangan dan investasi, serta
membuka kran ekspor-impor seluas-luasnya. Hal tersebut akan mendorong
persaingan pasar yang semakin ketat, sebagai akibat integrasi pasar
regional/internasional terhadap pasar domestik.
Praktek perdagangan bebas yang cenderung menghilangkan perlakukan non-tariff barrier
telah berdampak besar terhadap sektor pertanian Indonesia, baik di
tingkat mikro (usahatani) maupun di tingkat makro (nasional-kebijakan).
Di tingkat mikro, liberalisasi perdagangan ini sangat terkait dengan
efisiensi, produktivitas dan skala usaha. Sedangkan di tingkat makro,
kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi petani produsen
dan masyarakat konsumen. Pada kenyataannya kelompok negara maju lebih
berhasil dalam mengamankan petaninya agar tetap bergairah berproduksi.
Sementara negara-negara berkembang relatif kurang berhasil memproteksi
petani produsen dan masyarakat konsumen.
Tantangan sektor
pertanian Indonesia ke depan yang harus dihadapi adalah bagaimana
meningkatkan daya saing komoditas pertanian dengan karakteristik yang
sesuai keinginan konsumen dan memiliki daya saing yang tinggi, baik di
pasar domestik ataupun pasar ekspor. Pengembangan daya saing dan
ekspansi pasar komoditas ekspor tradisional harus lebih ditingkatkan,
terutama pengembangan produk olahan pertanian. Di samping pengembangan
komoditas dan produk pertanian baru yang memiliki permintaan pasar yang
tinggi harus segera dirintis dan diwujudkan.
Menumbuhkan Minat Wirausaha
Rendahnya
kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala yang serius dalam
pembangunan pertanian. Mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya
adalah petani yang tinggal di daerah pedesaan, kondisi ini juga semakin
menyulitkan dengan semakin berkurangnya upaya pendampingan dalam bentuk
penyuluhan pertanian. Di sisi lain, bagi sebagian besar penduduk
pedesaan, sudah kurang tertarik lagi bekerja dan berusaha di sektor
pertanian, sehingga mengakibatkan semakin tingginya urbanisasi ke
perkotaan.
Kondisi ini hanya dapat ditekan dengan mengembangkan
agroindustri pertanian di pedesaan, karena dapat membuka peluang
keterlibatan seluruh pelaku, termasuk kelompok penduduk di pedesaan.
Kelompok ini sesungguhnya dapat lebih memegang peranan penting dalam
seluruh proses produksi usaha tani. Mereka berpeluang menjadi
penyediaan dan distribusi sarana produksi, usaha jasa pelayanan alat
dan mesin pertanian, usaha industri pasca panen dan pengolahan produk
hasil pertanian, usaha jasa transportasi, pengelolaan lembaga keuangan
mikro, sebagai konsultan manajemen agribisnis, serta tenaga pemasaran
hasil-hasil produk agroindustri.
Hal ini mengisyaratkan perlunya
pembangunan pertanian dilakukan secara komprehensif dan terpadu dengan
pengembangan sektor komplemennya (agroindustri, penyediaan kredit,
teknologi melalui penyuluhan, dan pasar), sehingga menghasilkan nilai
tambah di luar lahan dan upah tenaga fisiknya.
Dengan pendekatan
sistem dan usaha agribisnis tersebut, maka pembangunan pertanian jelas
berbasi
s pada rakyat dan berkelanjutannya akan terjamin dengan
sendirinya karena pengembangannya memanfaatkan sumberdaya lokal.
Pendekatan pembangunan yang berasal dari rakyat dilaksanakan oleh rakyat
dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan keadilan seluruh
rakyat Indonesia, merupakan tantangan yang berpeluang menang dalam
menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan tajam.
sumber: Kabid Ketahanan Pangan dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Deputi Bidang Perekonomian
+ komentar + 1 komentar
Wah, semoga pertanian Indonesia semakin maju.
visit back ya min : go organik!