Pragmatisme
merupakan salah satu istilah yang asing bagi masyarakat namun
realitasnya sangat mendominasi kehidupan masyarakat kita. Seringkali
kita dengan ungkapan ”kita mesti realistis!” atau ungkapan ”jamane jaman
edan, yen ora edan ora keduman” (zamannya zaman edan/gila, kalau tidak
ikut2 gila tidak kebagian) yang lebih parah bahkan diantara mahasiswa
aktivis pergerakan mulai lancar melafalkan ”idealisme telah mati,
pragmatisme adalah kebutuhan zaman.” Sepintas kalimat tersebut terasa
ringan diucapkan, namun memiliki pengaruh yang sangat mendasar.
Pragmatisme berasal dari bahasa yunani pragma berarti perbuatan
(action) atau tindakan (practise). Isme berarti ajaran, aliran, paham.
Dengan demikian, pragmatisme berarti ajaran/aliran/paham yang menekankan
bahwa pemikiran itu mengikuti tindakan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pragmatisme berarti kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai
suatu ajaran (paham/doktrin/gagasan/pernyataan/dsb) bergantung pada
penerapannya bagi kepentingan manusia. Sedangkan pragmatis berarti
bersifat praktis dan berguna bagi umum, bersifat mengutamakan segi
kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan), mengenai/bersangkutan dengan
nilai-nilai praktis. Karena itu, pragmatisme mandang bahwa kriteria
kebenaran ajaran adalah faedah atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis
dianggap oleh pragmatisme benar jika membawa suatu hasil. Dengan kata
lain, suatu teori itu benar jika berfungsi. Jadi, pragmatisme dapat
dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran.
Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad 20. Pragmatisme dirintis di Amerika oleh Charles S. Pierce (1839-1942) yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Munculnya paham ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ajaran/paham lainnya pada abad Pertengahan (renaissance), yaitu ketika terjadi pertentangan yang tajam antara gereja dan kaum intelektual. Pertentangan itu menghasilkan kompromi: pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), sebagai asas yang menjadi pondasi Kapitalisme.
Pragmattisme
merupakan pemikiran cabang kapitalisme. Hal ini tampak dari
perkembangan sejarah kemunculan pragmatisme yang merupakan perkembangan
lebih lanjut dari empirisme. Empirisme adalah paham yang memandang bahwa
sumber pengetahuan adalah empiri atau pengalaman manusia dengan
menggunakan panca inderanya. Dalam konteks ideologis, pragmatisme
berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Ide pragmatisme keliru dari tiga sisi. Pertama, pragmatisme mencampurradukkan kriteria kebenaran ide dan keguanaan praktisnya. Padahal kebenaran ide adalah suatu hal , sedangkan kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran suatu ide diukur dari kesesuaian ide itu dengan realita. Sedangkan kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri. Jadi, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia.
Kedua,
pragmatisme menafikkan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah
ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar
tertentu. Sedangkan penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan
kebutuhannya adalah identifikasi naluriah. Memang, identifikasi naluriah
dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam memuaskan hajatnya, tetapi
tidak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Artinya, pragmatisme
telah menafikkan aktifitas intelektual dan menggantinya dengan
identifikasi naluriah. Dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan
keputusan akal pada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi
naluriah.
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide-baik individu, kelompok, maupun masyarakat- serta perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki pragmatisme baru dapat dibuktikan – menurut pragmatisme iru sendiri – setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Ini jelas mustahil dan tidak akan pernah terjadi. Karena itu, pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikkan dirinya sendiri. Bahaya pragmatisme Pragmatisme pada akhirnya bersifat destruktif dan menyebabkan inkonsistensi pada penganutnya. Sikap pragmatis cenderung menempuh segala cara untuk mencapai kepentingannya dengan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran. Walhasil, sikap pragmatis ini tidak akan memberikan kontribusi apapun dalam menyelesaikan problematika kehidupan, justru sebaliknya – akan mendatangkan bahaya laten – yang mampu merusak nilai-nilai kebenaran. Dalam ranah kehidupan publik, pragmatisme politik berarti mereka hanya melihat kepentingan jangka pendek yang menguntungkan diri dan kelompoknya. Bermanfaat atau menguntungkan bukan berarti benar, tetapi hanya sekedar memuaskan hawa nafsu. Di sinilah sikap plin-plan dan tidak punya pendirian sangat kentara. Begitu kemanfaatan jangka pendek hilang, mereka akan mencari kemanfaatan lain. Akibatnya, persoalan utama yang dihadapi masyarakat tidak akan pernah terselesaikan. Lagi-lagi, rakyatlah yang jadi korban. Politik kjemudian hanya sebagai alat untuk melestarikan kepentingan elit politik, bukan untuk rakyat. Karena itu, sangat wajar jika kemudian ada partai-partai Islam yang rela mengorbankan idealisme Islam demi kepentingan kekuasaan. Suara Islam yang sebelumnya digemakan dalam kampanye lenyap begitu saja saat virus pragmatisme menjangkiti partai tersebut. Deal-deal yang muncul hanyalah siapa memperoleh apa. Perbedaan ideologi, paham, platform, visi, dan misi tidak lagi diperhatikan Partai Islam bisa bergabung dengan partai kufur sekalipun tanpa rasa berdosa dengan dalih sama-sama memperjuangkan perbaikan. Oleh karena itu, sikap pragmatisme politik bisa mencederai agama yang menjadi dasar eksistensi partai-partai Islam. Contoh sikap partai Islam yang tengah ’kerasukan’ virus ini adalah saat berbicara tentang wanita menjadi presiden. Haramnya wanita menjadi presiden/gubernur/walikota/bupati dipropagandakan untuk mencegah naiknya calon dari lawan politiknya. Namun, saat situasi politik berubah dan tidak ada pilihan lain kecuali wanita, dibuatlah pembenaran-pembenaran untuk menerima wanita sebagai pemimpin. Alasannya sama, yakni kemaslahatan. Yang lebih buruk lagi, pragmatisme politik partai-partai Islam bisa menimbulkan citra buruk pada Islam itu sendiri dan pada partai Islam yang hakiki yang benar-benar memperjuangkan Islam. Bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin skeptis terhadap partai politik Islam dengan menganggap politik Islam itu kotor, buruk, menipu, penuh manipulasi, dan penuh siasat. Kalau ini berlarut-larut, maka akan mendatangkan bahaya bagi upaya upaya menegakkan kembali Islam di muka bumi. (bersambung) |