Tenaga
kerja dari kalangan menengah kebawah yang notabene sebagai pihak paling
lemah dan tidak berdaya apa-apa. Sudah barang tentu lemah dari segi
pendidikan, lemah status sosial juga sangat lemah dibidang ekonomi.
Sehingga mau tidak mau selalu terpaksa untuk tiga kali lebih lemah
dibawa tingkatan pengusaha yang memang sudah memiliki ketiganya. Jadi
bagaimanapun aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk menyetarakan
pekerja dengan pengusaha, baik sebagai mitra pengusaha maupun sebagai
aset perusahaan tetap tidak akan berarti apa-apa bila pekerja itu
sendiri tidak mengetahui apa yang dibutuhkan sebenarnya. Kita banyak
menyaksikan seseorang yang diterima bekerja disuatu perusahaan, hal yang
pertama dipikirkannya adalah bagaimana memiliki kebutuhan sekunder
berupa koleksi barang-barang yang merupakan kegemaran umum setiap
manusia. Belum lagi dengan desakan emosional untuk melengkapi kebutuhan
lainnya dengan kwalitas terbaik. Demi gengsi untuk memiliki berbagai
kemewahan lainnya dan segala sesuatu yang sebenarnya akan menambah beban
hidup yang pada akhirnya akan senantiasa memperkecil volume pendapatan
mereka karena harus menanggung biaya operasi dan biaya perbaikan serta
biaya pemeliharaan dari barang-barang yang telah dimilikinya. Sadar atau
tidak, bahwa hal demikian adalah merupakan beban yang dapat dihindari
dengan mengerti apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan pokok kita sebagai
penerima upah. Bukannya menambah beban, tapi potensi yang kita miliki
hendaknya menjadi prioritas utama untuk diasah dan dikembangkan sehingga
apa yang diperoleh dari pekerjan itu akan dapat menjadi sumber
penghasilan baru. Sebagai contoh bilamana kita sadari bagaimana
memproyeksikan upah yang kita terima dengan persentasi tertentu, antara
lain tunjangan hidup, rencana jangka menengah dan jangka panjang.
Dengan
demikian keterampilan yang kita dapatkan dari pekerjaan sekarang ini
dapat dikembangkan untuk menjdi sumber penghasilan baru diluar
penghasilan kita sebagai pekerja. Dengan sendirinya apabila kita dapat
memiliki sumber penghasilan lebih dari satu, maka secara mutlak beban
kita akan berkurang. Bukannya meningkat, tidak jadi soal berapa upah
yang kita peroleh tapi berapa berapa besar manfaat yang dapat diperoleh
dari upah atas pekerjaan telah kita lakukan.
Bilamana pekerja tidak mengerti akan kebutuhan pokoknya, dapat dipastikan bahwa ia akan menghabiskan usia mereka dengan bekerja keras menghasilkan lebih banyak buat majikan dan mendapatkan hanya sedikit sebagai imbalannya. Dan yang paling pahit adalah bukan tidak mungkin hal tersebut akan berlangsung selamanya dan menurun kepada anak keturunan sehingga tidak akan pernah mengalami perubahan apapun dari waktu kewaktu. Hal ini juga akan mempersulit pencapaian predikat pekerja sebagai mitra perusahaan maupun sebagai aset dari perusahaan karena ketidak mampuan menciptakan nilai tambah sebagai tolak ukur.
Kita dapat melihat betapa kepentingan pengusaha sangat jauh berbeda dengan kepentingan pekerja. Pengusaha menghendaki begaimana supaya dapat bekerja dengan sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk mencapai hasil yang sebesar-besarnya. Sementara pekerja menginginkan agar dapat bekerja dengan lebih sedikit untuk mendapatkan imbalan sebesar mungkin. Namun bila hal tersebut bisa didapatkan suatu titik temu sehingga kedua prinsip dasar yang berbeda dapat berjalan selaras maka hambatan semacam apapun dapat diatasi dengan mudah. Selama tidak ada unsur mementingkan pihak sendiri tanpa peduli dengan pihak lainnya pasti akan dicapai apa yang menjadi tujuan bersama.
Bilamana pekerja tidak mengerti akan kebutuhan pokoknya, dapat dipastikan bahwa ia akan menghabiskan usia mereka dengan bekerja keras menghasilkan lebih banyak buat majikan dan mendapatkan hanya sedikit sebagai imbalannya. Dan yang paling pahit adalah bukan tidak mungkin hal tersebut akan berlangsung selamanya dan menurun kepada anak keturunan sehingga tidak akan pernah mengalami perubahan apapun dari waktu kewaktu. Hal ini juga akan mempersulit pencapaian predikat pekerja sebagai mitra perusahaan maupun sebagai aset dari perusahaan karena ketidak mampuan menciptakan nilai tambah sebagai tolak ukur.
Kita dapat melihat betapa kepentingan pengusaha sangat jauh berbeda dengan kepentingan pekerja. Pengusaha menghendaki begaimana supaya dapat bekerja dengan sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk mencapai hasil yang sebesar-besarnya. Sementara pekerja menginginkan agar dapat bekerja dengan lebih sedikit untuk mendapatkan imbalan sebesar mungkin. Namun bila hal tersebut bisa didapatkan suatu titik temu sehingga kedua prinsip dasar yang berbeda dapat berjalan selaras maka hambatan semacam apapun dapat diatasi dengan mudah. Selama tidak ada unsur mementingkan pihak sendiri tanpa peduli dengan pihak lainnya pasti akan dicapai apa yang menjadi tujuan bersama.
Untuk
itu hanya satu jalan yang dapat ditempuh untuk mengatasi perbedaan
tersebut, yaitu pekerja hendaknya selalu berusaha meningkatkan kemampuan
personalnya, juga keterampilan finansial tentunya sehingga dapat
memiliki nilai tawar. Tidak seharusnya kita berada tiga lapis lebih
lemah dibawa pengusaha. Kita ambil contoh tenaga kerja dinegara
berkembang di Asia Tenggara seperti Hongkong, Jepang dan Korea Selatan
dan tetangga dekat kita Singapura. Dinegara tersebut kehidupan pekerja
benar-benar terjamin sebagaimana layaknya.