Dehumanisasi
merupakan satu masalah mendasar dalam sistem pendidikan nasional.
Pendidikan saat ini tidak lagi menghormati dan menghargai martabat
manusia dan segala hak asasinya. Akibatnya, melalui proses pendidikan
peserta didik tidak tumbuh dalam kemanusiaan sebagai subyek. Mereka
justru menjadi korban dalam sebuah sistem yang memaksa mereka mengikuti
aturan dalam sistem itu.
Alih-alih pembentukan dan pembudayaan yang mereka peroleh. Yang mereka
dapat justru stres karena aturan dan pemaksaan yang dibuat oleh orang
dewasa terhadapnya tidak mengedepankan psikologi perkembangan peserta
didik. Bagaimana mungkin untuk menanamkan mental dan sikap kerja keras,
peserta didik dipaksa stres dan bekerja keras memikirkan persiapan ujian
nasional (UN) sepanjang tahun.
Tak aneh ketika buahnya adalah kekerasan dalam
pendidikan yang kian merebak. Peserta didik lebih mendengarkan nasihat
televisi, film kartun ketimbang nasihat para gurunya. Bunuh diri,
kekerasan guru dan peserta didik, antar peserta didik menjadi ulasan
media yang terus-menerus terjadi. Bahkan yang teraktual, di Salatiga
Jawa Tengah siswa kelas IV SD membunuh temannya dalam perkelahian (Sinar
Harapan, 19/2).
Pembelajaran tak lagi menarik. Suasana kelas yang dulu menjadi ajang mengembangkan kreativitas dan eksplorasi diri, kini menjadi senyap karena yang ada adalah drilling soal-soal persiapan UN, latihan soal persis lembaga bimbingan belajar yang memang dari sononya lahir untuk menjadi ajang memecahkan soal. Seolah-olah dengan adanya UN, sekolah diajak melupakan tanggung jawab utamanya sebagai ajang pembentukan manusia. Pendidikan memang telah direduksi menjadi sangat pragmatis yang penting tujuan tercapai sementara prosesnya cenderung diabaikan.
Pembelajaran tak lagi menarik. Suasana kelas yang dulu menjadi ajang mengembangkan kreativitas dan eksplorasi diri, kini menjadi senyap karena yang ada adalah drilling soal-soal persiapan UN, latihan soal persis lembaga bimbingan belajar yang memang dari sononya lahir untuk menjadi ajang memecahkan soal. Seolah-olah dengan adanya UN, sekolah diajak melupakan tanggung jawab utamanya sebagai ajang pembentukan manusia. Pendidikan memang telah direduksi menjadi sangat pragmatis yang penting tujuan tercapai sementara prosesnya cenderung diabaikan.
Karya-karya spektakuler seperti menjadi juara
berbagai ajang perlombaan internasional bukan milik semua peserta didik.
Ada semacam kasta dalam pendidikan yang secara berjenjang membagi
peserta didik dalam beragam strata. Hampir tidak mungkin dalam sistem
pendidikan nasional belakalangan ini, sekolah miskin dengan peserta
didik dari kalangan menengah ke bawah mampu mengakses perkembangan
modernisasi dan globalisasi.
Sistem pendidikan telah memaksa mereka yang marginal dan tidak mampu bersaing untuk minggir. Mereka pada akhirnya menjadi peserta didik pasif dan kelak hanya menjadi penonton dari perubahan-perubahan yang terjadi di sekeliling hidup mereka. Mereka akhirnya akan sampai pada anggapan bahwa perubahan bukan untuk mereka. Perubahan dan juga kesejahteraan hidup hanya untuk mereka yang kaya dan berkuasa saja.
Marginalisasi dan ketidakadilan dalam pendidikan mestinya ditangkap para pembuat kebijakan dalam pendidikan sebagai ancaman yang amat serius. Mereka akan berpandangan bahwa pemerintah memang tidak mengusahakan suatu pendidikan yang serius untuknya. Pemerintah dengan logika kapitalisnya hanya berpihak kepada mereka yang mempunyai modal dan mampu unjuk gigi dalam beragam percaturan internasional.
Pendidikan memang sasaran empuk dikomoditaskan secara politik. Ketika musim kampanye isu pendidikan dijadikan bahan penarik simpati. Pendidikan gratis atau murah kerap diwacanakan namun tidak pernah menjadi kenyataan. Selalu ada cara membebani peserta didik dan orang tuanya dengan aneka pungutan, karena baik negeri dan swasta sudah terbangun image pendidikan yang bagus adalah yang mahal.
Peserta didik telah menjadi obyek demi kepentingan ideologi, politik, industri dan bisnis. Salah satu contoh paling nyata adalah asumsi bahwa apa yang diajarkan jauh lebih penting dari siapa yang diajar. Prestasi guru juga diukur dari nilai yang didapat peserta didiknya. Guru sebagai pendidik tidak mampu menghentikan dehumanisasi ini karena guru sendiri terjebak sebagai obyek dalam sistem pendidikan nasional.
Sistem pendidikan telah memaksa mereka yang marginal dan tidak mampu bersaing untuk minggir. Mereka pada akhirnya menjadi peserta didik pasif dan kelak hanya menjadi penonton dari perubahan-perubahan yang terjadi di sekeliling hidup mereka. Mereka akhirnya akan sampai pada anggapan bahwa perubahan bukan untuk mereka. Perubahan dan juga kesejahteraan hidup hanya untuk mereka yang kaya dan berkuasa saja.
Marginalisasi dan ketidakadilan dalam pendidikan mestinya ditangkap para pembuat kebijakan dalam pendidikan sebagai ancaman yang amat serius. Mereka akan berpandangan bahwa pemerintah memang tidak mengusahakan suatu pendidikan yang serius untuknya. Pemerintah dengan logika kapitalisnya hanya berpihak kepada mereka yang mempunyai modal dan mampu unjuk gigi dalam beragam percaturan internasional.
Pendidikan memang sasaran empuk dikomoditaskan secara politik. Ketika musim kampanye isu pendidikan dijadikan bahan penarik simpati. Pendidikan gratis atau murah kerap diwacanakan namun tidak pernah menjadi kenyataan. Selalu ada cara membebani peserta didik dan orang tuanya dengan aneka pungutan, karena baik negeri dan swasta sudah terbangun image pendidikan yang bagus adalah yang mahal.
Peserta didik telah menjadi obyek demi kepentingan ideologi, politik, industri dan bisnis. Salah satu contoh paling nyata adalah asumsi bahwa apa yang diajarkan jauh lebih penting dari siapa yang diajar. Prestasi guru juga diukur dari nilai yang didapat peserta didiknya. Guru sebagai pendidik tidak mampu menghentikan dehumanisasi ini karena guru sendiri terjebak sebagai obyek dalam sistem pendidikan nasional.
Potret yang paling telanjang para guru tengah
mengalami belenggu kemiskinan, finansial, intelektual, emosional,
kultural dan spiritual (Anita Lie, 2008). Akibatnya, semakin menjadi
kebiasaan guru yang bekerja sampingan sehingga tugas utamanya sebagai
pendidik terlupakan, jarang membaca dan belajar, karena terbebani urusan
administrasi, cenderung berlaku kasar dan mengumpat, dan pada akhirnya
kehilangan identitas dan integritas.
Makin jarang dijumpai guru yang mengajar dengan cinta kasih. Guru yang memberikan sepenuh waktu dan hidupnya untuk kesejahteraan hidup peserta didiknya. Guru yang merasa gembira ketika peserta didiknya berhasil dan guru yang merasa bersedih ketika menyaksikan peserta didiknya gagal dalam mencapai tujuan dan cita-citanya. Guru-guru yang demikian hanya akan lahir dalam suasana pembentukan yang memang mengedepankan aspek pemanusiaan dan pembudayaan.
Karena itu mesti dicatat, pekerjaan sebagai guru tidak sama dengan bekerja di pabrik. Menjadi guru adalah membentuk manusia. Ia menggantikan peran orang tua yang menyerahkan seluruh tanggung jawab sosialnya kepada sekolah untuk dibentuk dan diarahkan. Ketika guru lupa menyadari tanggung jawab sosial nan berat ini dapat ditebak, arah pendidikan dan pembentukan kian samar-samar dan kabur.
Pekerjaan sebagai guru tak lagi sebuah panggilan. Padahal motivasi sosial inilah yang pertama-tama menggerakkan seseorang menjadi guru. Penelitian Dr. Martin Handoko (1992) yang meneliti anak-anak pedesaan yang masuk ke SPG Van Lith Muntilan untuk menjadi guru, pertama-tama menempatkan panggilan sebagai motivasi utama mengapa mereka ingin menjadi guru.
Kemudian disusul dengan keinginan untuk mengangkat harkat dan martabat keluarganya yang biasanya amat miskin di pedesaan. Menjadi guru merupakan pekerjaan yang mampu mereka raih dengan kondisi sosial ekonomi mereka yang miskin. Dan dengan demikian, mereka bisa memperbaiki keadaan dibanding orang tua mereka yang hanya hidup sangat sederhana sebagai petani.
Makin jarang dijumpai guru yang mengajar dengan cinta kasih. Guru yang memberikan sepenuh waktu dan hidupnya untuk kesejahteraan hidup peserta didiknya. Guru yang merasa gembira ketika peserta didiknya berhasil dan guru yang merasa bersedih ketika menyaksikan peserta didiknya gagal dalam mencapai tujuan dan cita-citanya. Guru-guru yang demikian hanya akan lahir dalam suasana pembentukan yang memang mengedepankan aspek pemanusiaan dan pembudayaan.
Karena itu mesti dicatat, pekerjaan sebagai guru tidak sama dengan bekerja di pabrik. Menjadi guru adalah membentuk manusia. Ia menggantikan peran orang tua yang menyerahkan seluruh tanggung jawab sosialnya kepada sekolah untuk dibentuk dan diarahkan. Ketika guru lupa menyadari tanggung jawab sosial nan berat ini dapat ditebak, arah pendidikan dan pembentukan kian samar-samar dan kabur.
Pekerjaan sebagai guru tak lagi sebuah panggilan. Padahal motivasi sosial inilah yang pertama-tama menggerakkan seseorang menjadi guru. Penelitian Dr. Martin Handoko (1992) yang meneliti anak-anak pedesaan yang masuk ke SPG Van Lith Muntilan untuk menjadi guru, pertama-tama menempatkan panggilan sebagai motivasi utama mengapa mereka ingin menjadi guru.
Kemudian disusul dengan keinginan untuk mengangkat harkat dan martabat keluarganya yang biasanya amat miskin di pedesaan. Menjadi guru merupakan pekerjaan yang mampu mereka raih dengan kondisi sosial ekonomi mereka yang miskin. Dan dengan demikian, mereka bisa memperbaiki keadaan dibanding orang tua mereka yang hanya hidup sangat sederhana sebagai petani.
Gejala dehumanisasi ini berawal dari ketakutan yang
tercipta dari sistem pendidikan nasional Indonesia. Guru sudah
terposisikan sebagai peragkat dan sistem yang tidak cukup memberikan
penghargaan bagi upaya pembaruan, namun justru sangat menghargai
tindakan pengukuhan aturan dan sistem. Cermin yang menonjol adalah guru
sebagai inovator dan pelopor perubahan di sekolah lebih suka dengan
hal-hal yang bersifat seremonial dan rutin ketimbang mengadakan
perubahan yang sifatnya mendasar.
Sertifikasi guru yang menjanjikan pemberian insentif dan perubahan kesejahteraan disambut dengan gegap gempita di kalangan para guru, tidak peduli bahwa tindakan itu diwarnai kecurangan penyediaan dokumen portofolio, stres berkepanjangan, bahkan saking sibuk dengan urusan sertifikasi melupakan tugas utamanya sebagai pendidik. Sekali lagi, guru begitu bersemangat jika perubahan itu untuk diri mereka sendiri, sementara jika perubahan itu demi kemajuan pendidikan dan peserta didik responnya setengah hati.
Ketakutan guru terjadi secara multidimensional. Ketakutan terhadap sistem dengan segala perangkatnya, termasuk evaluasi terhadap peserta didik berupa ujian yang diselenggarakan lembaga yang berkuasa, pengakuan atas profesionalitasnya berupa program sertifikasi maupun penilaian kerja yang buruk dari kepala sekolah telah menghambat dirinya berkembang menjadi guru yang utuh.
Sertifikasi guru yang menjanjikan pemberian insentif dan perubahan kesejahteraan disambut dengan gegap gempita di kalangan para guru, tidak peduli bahwa tindakan itu diwarnai kecurangan penyediaan dokumen portofolio, stres berkepanjangan, bahkan saking sibuk dengan urusan sertifikasi melupakan tugas utamanya sebagai pendidik. Sekali lagi, guru begitu bersemangat jika perubahan itu untuk diri mereka sendiri, sementara jika perubahan itu demi kemajuan pendidikan dan peserta didik responnya setengah hati.
Ketakutan guru terjadi secara multidimensional. Ketakutan terhadap sistem dengan segala perangkatnya, termasuk evaluasi terhadap peserta didik berupa ujian yang diselenggarakan lembaga yang berkuasa, pengakuan atas profesionalitasnya berupa program sertifikasi maupun penilaian kerja yang buruk dari kepala sekolah telah menghambat dirinya berkembang menjadi guru yang utuh.
Profesi guru merupakan panggilan. Betapapun berat
pergumulan untuk memperjuangkan tingkat kesejahteraan, yang membedakan
guru sejati dari yang tidak adalah bagaimana mereka masing-masing
memaknai profesi keguruannya. Yang satu menjalaninya sebagai panggilan
hidup, yang lainnya mencari nafkah. Namun penting dicatat, begitu
besarnya tanggung jawab sosial guru sebagai pendidik, mereka tidak bisa
ditempatkan sebagai tukang.