Dehumanisasi Pendidikan Indonesia




Di tengah krisis moralitas pendidikan diharapkan mampu menjadi solusi. Tetapi kenyataannya malah berbanding terbalik. Pendidikan tidak mampu melahirkan dan menyuburkan moralitas bangsa. Para pelaku pendidikan justru tidak bermoral.


Moral dipahamai dengan sikap dan atau perilaku yang bisa menghargai manusia sesamanya. Manusia yang bisa memanusiakan manusia lainnya. Nilai-nilia kemanusiaan menjadi acuan utama dalam setiap langkah laku manusia. Pendidikan mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Tidak hanya sebatas mengajarkan tetapi juga dibarengi dengan memberi tauladan sebagaimana yang telah diajarkan. Pendidikan diharapkan mampu membentuk insan kamil yang tidak pernah mendurhakai nilai kemanusiaan.

Tetapi sekarang, pendidikan menjadi ajang pertengkaran dan manipulasi nilai kemanusiaan. Pendidikan (lembaga pendidikan) tidak lagi menjadi tempat untuk membentuk manusia yang sahih. Pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia justru memberi contoh dehumanisasi. Pendidikan tidak lagi menghargai manusia. Pendidikan lebih senang membuat manusia menderita dalam tekanan yang tak berujung.

Pendidikan yang diharapkan masyarakat akan mampu mengubah tingkat kesejahteraan kehidupannya justru semakin menjadi beban berat. Di beberapa daerah, pelaksanaan pendidikan masih setengah hati. Sedangkan pendidikan yang dilaksanakan di kota-kota besar semakin mahal biayanya. Sehingga banyak calon peserta pendidikan tidak mampu melanjutkan pendidikannya. Slogan “orang miskin dilarang sekolah” semakin kental dengan praktik pendidikan di negara ini. 

Mahalnya pendidikan mempersempit kesempatan belajar bagi anak yang ekonomi orang tuanya kurang mampu. Sementara anak yang berprestasi tidak berani mendaftar di sekolah maupun perguruan tinggi favorit. Infrastruktur di lembaga pendidikan tidak diperhatikan secara komperehensif. Hanya lembaga tertentu yang memiliki infrastruktur pendidikan memadai. Padahal di luar pulau Jawa banyak lembaga pendidikan yang masih menggunakan infrastruktur apa adanya. Akhirnya, pendidikan menjadi dipertanyakan, ada apanya?

Infrastruktur di beberapa daerah tertinggal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan di negeri ini hanya setengah hati. Beberapa waktu lalu diberitakan Kompas bahwa murid kelas 4 SD belum bisa membaca dan menulis dengan baik. Hal ini disebabkan oleh seringnya jam kosong. Guru yang mengajar di sekolah tersebut terkendala oleh perjalanan yang jauh dan jalan yang masih sulit untuk dilewati. 

Di samping itu, beberapa prgram pemerintah menyangkut pendidikan semakin memperkuat dehumanisasi pendidikan. Sertifikasi guru yang semula bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru malah menjadi boomerang. Sertifikasi guru hanya digunakan untuk memperoleh peningkatan finansial. Prof. Baedhowi membuktikannya dengan melakukan riset dengan responden 2.600 guru yang sudah mengikuti sertifikasi dan 2.600 guru yang belum mengikuti sertifikasi diketahui bahwa mayoritas motivasi guru ikut sertifikasi adalah alasan finansial 

Sertifikasi hanya menjadi ajang untuk mencari kelayakan finansial. Kita tidak bisa menyalahkan guru yang beralasan finansial. Sebab mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk merubah perekonomiannya. Gaji guru yang mereka dapatkan selama ini tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan mereka tidak memiliki usaha lain karena terlalu banyak waktu yang tersita di sekolahan. Lagi-lagi sistem pendidikan menjadikan manusia meninggalkan nilai kamanusiaan. Seorang guru yang menjadi tiang bagi pendidikan harus mengemis dalam sertifikasi. 

Slogan “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” menghegemoni dunia pendidikan di Indonesia. Sehingga jasa guru tidak perlu dihargai dan diperhatikan. Akibatnya guru enggan mengajar, sebab mengajar harus tanpa pamrih dan ikhlas. Ketika guru sedang tidak ikhlas maka ia tidak berangkat mengajar. Sekolah pun tidak berani menegurnya karena merasa tidak memiliki otoritas terhadap guru. 

Dehumanisasi dunia pendidikan juga diperkuat dengan tingkat kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan. Tahun 2008 terjadi 1.736 kasus kekerasan terhadap anak dan tahun 2009 terjadi 1.998 kasus. Kebanyakan kasus tersebut terjadi dalam keluarga dan sekolah . Dengan dalih melatih kedisiplinan peserta didik, sekolah kerap melakukan kekerasan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak mengajarkan nilai humanis. Justru sekolah menjadi ajang penekanan psikologis terhadap anak didiknya. Padahal lembaga pendidikan seyogyanya menjadi pengayom dan pendidik peserta didiknya.

Kedisiplinan sekarang ini sudah tidak lagi bisa diterapkan dengan kekerasan. Tetapi kedisiplinan mestinya dilakukan dengan cara dan metode yang santun dan menarik yang dapat menyentuh intuisi peserta didik. Sehingga peserta didik tidak merasa tertekan dalam mengikuti pembelajaran. 

Maria Ulfa Anshor (2010) sebagaimana diberitakan Kompas menjelaskan bahwa anak merupakan bagian terpenting dari seluruh proses pertumbuhan manusia. Karena pada masa anak-anaklah sesungguhnya karakter dasar seseorang dibentuk baik yang bersumber dari fungsi otak maupun emosionalnya. 

Dengan fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan seperti sekarang ini tidak akan mampu menghantarkan tujuan pendidikan pada pintunya. Moralitas bangsa yang menjadi tujuan utama pendidikan semakin kabur. Output pendidikan tidak lagi menghiraukan nilai moralitas dan kemanusiaan. Sebab pelaksanan pendidikan sendiri tidak mendidik dengan baik.

Untuk itu jika bangsa ini masih menginginkan tujuan pendidikan tercapai maka permasalahan dalam lembaga pendidikan mesti segera diselesaikan. Kesejahteraan guru mesti diperhatikan. Sebab logikanya, ketika guru sudah tidak lagi memikirkan finansial maka ia akan fokus dengan peserta didiknya.

Selama ini pemerintah tidak fokus dalam menggarap aspek pendidikan. Padahal pendidikan merupakan unsur terpenting dan fital dalam setiap dimensi pembangunan dan perkembangan bangsa. Pemerintah belum bisa menghargai hasil pendidikan. Beberapa karya dari pendidikan tak juga mendapat apresiasi yang layak. Sedangkan permasalahan ekonomi dalam dunia pendidikan sudah sedemikian parahnya. Pendidikan hanya sebagai lahan dan wahana menumpuk kekayaan. Tingkat keilmuan tidak lagi diutamakan. Sehingga frame pelajar yang terbentuk adalah untuk mencari uang, bukan belajar untuk mencari kearifan.
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faqih Muhammad - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger