Setiap malam tahun baru, kita melihat pemandangan yang sama
dari tahun ke tahun. Berpawai dengan mobil atau motor; mendatangi
tempat-tempat hiburan; bermalam di hotel atau tempat wisata. Seolah
hukumnya wajib bahwa pada malam pergantian tahun harus bersenang-senang,
pesta-pora, dan berwisata-ria. Tanpa perlu mempedulikan hari esok,
apalagi saudara-saudara yang sedang tertimpa musibah, kita hanya
berfokus mengejar kenikmatan malam tahun baru.
Tradisi mencari kesenangan seperti itu semakin meningkat kuantitas
dan kualitasnya setiap tahun. Kebiasaan merayakan malam tahun baru
seperti itu cepat menjalar ke setiap jiwa, sehingga ‘penganutnya’ terus
meningkat dari tahun ke tahun. Adakah ini menjadi bukti semakin
terinternalisasikannya paham hedonisme pada diri kita ?
Konon, paham Hedonisme ini berkembang semenjak masa Yunani. Hedonisme
adalah salah satu aliran filsafat dari Yunani. Para penganut paham ini
berkayakinan bahwa tujuan hidup adalah mencari kebahagiaan. Untuk
mendapatkan kebahagiaan yang langgeng, mereka menjalani berbagai praktik
asketis, seperti puasa, hidup miskin, bahkan menjadi pertapa agar
mendapat kebahagiaan sejati. Bukan sekaar kebahagiaan duniawi yang semu.
Namun, ketika Romawi menguasai Eropa dan Afrika, pandangan Hedonisme
ini mengalami pergantian makna. Pencarian kebahagiaan diganti dengan
pengejaran kenikmatan duniawi semata. Semboyan hidup baru yang mereka
hembuskan adalah carpe diem (raihlah kenikmatan sebanyak mungkin selagi
kamu hidup).
Pergeseran paradigma hidup dari mencari kebahagiaan ke mencari
kenikmatan ternyata membawa implikasi yang luar biasa. Selain hanya
sekadar mengejar kenikmatan duniawi semata, pandangan baru ini juga jauh
lebih mementingkan kenikmatan sesaat. Karena, bagi mereka, hidup
hanyalah saat ini. Maka nikmatilah saat ini semaksimal mungkin. Lupakan
kemarin dan hari esok. Jika terlalu berpaku pada hari kemarin atau hari
esok, itu artinya menyia-nyiakan nikmat yang bisa didapat hari ini.
Dalam pandangan demikian, maka nilai baik buruk harus diabaikan.
Karena, jika terlalu mempertimbangkan baik-buruk, maka saat-saat untuk
memperoleh kenikmatan akan berlalu begitu saja. Dengan demikian, paham
Hedonisme ala Romawi ini sangat menonjolkan pemenuhan hawa nafsu dan
sikap egoistik.
Karakter manusia seperti itu sangat cocok dengan kebanyakan manusia
modern saat ini. Bukankah sikap individualistik dan pengejaran
kenikmatan duniawi telah menjadi ‘Tuhan’ manusia modern ? Bahkan para
remaja pun tak lupt dari virus pandangan hidup tersebut.
Karena itu, tidaklah mengherankan, meski sebagian saudara kita sedang
menderita akibat bencana alam, bangsa ini tetap bisa merayakan malam
tahun baru dengan luar biasa gemerlap. Biaya ratusan milyar dihabiskan
untuk acara tersebut, seolah bangsa ini adalah bangsa kaya tanpa
penderitaan.
Seperti diuraikan di atas, gaya hidup seperti itu juga melanda
remaja. Coba saja dilihat gaya mereka bicara, berpakaian, asesoris yang
dikenakan, barang-barang ( khususnya gadget ), kebiasaan mengunjungi
mall dan tempat hiburan malam, semuanya menampilkan gaya hidup mewah.
Kebiasaan ini seolah telah menjadi life style. Dan, para remaja ini
telah merasa nikmat dan nyaman dengan life style ini.
Gaya hidup serba mewah, serba enak dan serba berkecukupan yang dianut
para remaja sesungguhnya karena ‘diajarkan’ oleh orang-orang dewasa
disekitar mereka. Karakter dari remaja adalah mudah meniru gaya dari
significant others. Selain itu, juga dipicu oleh program-program yang
ditayangkan oleh televisi. Kehidupan ala sinetron yang kerap menampilkan
hidup mewah dan cara instan telah menjadi ‘agama baru’ bagi remaja.
Siapa pun yang ‘kafir’ dengan gaya hidup ala sinetron ini akan mendapat
stigmatisasi ‘tidak gaul dan tidak funky’. Sebuah stigma yang amat
memalukan bagi mereka, karena itu sedapat mungkin harus dihindari.
Selain itu, program-program televisi yang mendorong remaja dengan
cepat dapat menjadi selebritis atau tokoh terkenal, meski juga cepat
tenggelam kembali, semacam Indonesian Idol, AFI atau KDI telah menabur
mimpi di kalangan remaja untuk menjadi tenar dengan cara instan. Akibat
dari program-program semacam ini, baik pesertanya maupun penontonnya,
meyakini bahwa cara-cara instant adalah hal yang lumrah dan dapat
dibenarkan.
Kebutuhan hidup yang tercipta akibat keinginan mengejar ‘syahwat’
kenikmatan duniawi, berpadu dengan budaya instant, menyebabkan para
remaja seringkali menjerumuskan diri ke dalam perilaku sesat. Keinginan
untuk memenuhi barang-barang mewah mungkin bukan terlalu menjadi masalah
bagi anak-anak orang kaya. Orangtua sanggup memenuhi sebagian besar
keinginan mereka. Tapi, bagaimana dengan remaja dari keluarga pas-pasan ?
Ketika keinginan memiliki hand phone atau pakaian type termutakhir,
sementara anggaran dari orangtua tidak ada, maka remaja dari keluarga
kurang mampu biasanya mengambil jalan pintas. Tidaklah mengherankan,
jika saat ini muncul fenomena baru yang muncul di sekitar kehidupan
kampus. Para mahasiswi atau pelajar putri mengambil profesi sebagai
‘ayam kampus’ dan yang laki-laki berprofesi sebagai pengedar narkoba.
Profesi ini menjadi pilihan karena tidak memerlukan keahlian dan
ketrampilan tertentu. Siapapun dapat melakukannya, asalkan tidak
memikirkan segala resiko dari profesi tersebut. Selain itu, dibandingkan
dengan jenis pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan, profesi menjadi
‘ayam kampus’ dan pengedar narkoba memungkinkan mereka mendaptkan
penghasilan yang jauh lebih menjanjikan. Bagi yang telah ‘mengimani’
budaya instant, cara ini dipandang paling logis.
Penulis yakin, siapa pun tahu betapa besar resiko dari kedua profesi
di atas. Selain merusak kesehatan mereka, baik kesehatan fisik maupun
mental, profesi tersebut juga berbahaya secara hukum. Dan yang lebih
parah, profesi tersebut dapat merusak masa depan mereka.
Oleh karena itu, tahun baru mestinya menjadi momen untuk melakukan
instropeksi. Prestasi apa saja yang telah dicapai dalam setahun
terakhir; kesalahan apa saja yang telah diperbuat; dan sekaligus juga
mengkaji potensi-potensi diri apa saja yang belum termanfaatkan secara
maksima. Selain itu, juga untuk merancang strategi-strategi apa saja
yang mesti dilakukan untuk meraih berbagai macam prestasi di masa depan.
Jika saja setiap malam tahun baru kita melakkukan instropeksi seperti
itu, maka pasti kualitas hidup kita akan meningkat dari tahun ke tahun.