Realita Kehidupan “Mahasiswa” Masa Kini


Siapa itu mahasiswa yang sebenarnya ? suatu pertanyaan yang akhir-akhir ini muncul dengan adanya dinamika yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual dan kritis seakan semakin luntur dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena adanya kegagalan pemahaman makna transisi status dari siswa ke mahasiswa serta didukung dengan adanya berbagai macam godaan dizaman yang serba pragmatis seperti saat ini. Kegagalan pemahaman makna transisi status itu terlihat dari sikap mahasiswa yang masih identik dengan sikap seorang siswa yang masih berada di dunia sekolah seperti egoisme, kegundahan khas remaja dimasa puberitas dan cita-cita yang tinggi tanpa didasari usaha nyata serta dilengkapi oleh godaan sikap hedonisme.

Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka dikuliahkan. Kaum minoritas berintelektual ini sebenarnya merupakan tulang punggung pembangun bangsa dan negara menuju perubahan yang lebih baik. Sedikit kita melihat sejarah perubahan bangsa, dimana motor penggerak utamanya adalah mahasiswa seperti kemerdekaan Indonesia yang tidak lepas dari peranan kaum muda dan mahasiswa, peralihan orde lama ke orde baru dan yang terakhir adalah reformasi 1998 yang meruntuhkan orde baru. Namun pola pikir semacam ini kadang tidak dipahami oleh seorang mahasiswa yang kadang menganggap pola pikir semacam ini sebagai pola pikir yang “Berat”. Negara sudah ada yang memikirkan, mengapa kita ikut berpikir tentang negara, begitulah gampangannya sedikit pola pikir yang ada saat ini.

Pola pikir yang semacam ini wajar adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat ini. Tidak dapat dipungkiri memang perjuangan mahasiswa dulu dan sekarang berbeda. Zaman dulu riil lawan yang harus dihadapi siapa seperti penjajah, penguasa orde lama atau penguasa orde baru. Zaman saat ini lawan yang dihadapi adalah hal yang abstrak, hedonisme dan apatisme. Paham-paham seperti ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa seiring dengan pencarian jati dirinya. Bahkan sampai dengan saat ini masih ada mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan kebingungan dalam menentukan arah hidup selanjutnya. Mahasiswa yang kebingungan tersebutlah mayoritas banyak yang terjebak dalam pusaran hedonisme yang pasti berpusat pada hura-hura dan sifat kosumtif. Memenuhi kepuasaan pribadi seakan membudaya. Shopping, clubbing, narkoba, free sex mewarnai kehidupan mahasiswa saat ini.

Hal-hal semacam itulah yang identik dengan mahasiswa saat ini. Sebenarnya mencari kesenangan itu wajar saja asalkan jangan berlebihan. Batas kelebihan itu dapat dilihat dari batas kewajaran yang ada dimasyarakat. Memang kita sebagai mahasiswa terkadang jenuh dengan hal-hal yang terus dipenuhi dengan agenda akademik. Tapi kejenuhan semacam itu dapat disalurkan ke hal-hal yang lebih positif, contohnya ikut dalam organisasi sebagai ajang bersosialisasi. Organisasi juga dapat membentuk pola pikir kita menjadi lebih kritis dan progresif dalam bentuk menulis, membaca atau berdikusi. Relaksasi (pacaran, berkaroke, nonton dibioskop, jalan-jalan bersama teman) itupun juga perlu untuk menyegarkan pikiran agar tidak terlalu tertekan dan frustasi dengan kegiatan sehari-hari, hal itupun manusiawi karena memang setiap orang butuh sedikit intermezzo hiburan tapi tetap kembali ke awal tadi, seorang mahasiswa harus mengerti batas-batas kewajaran dalam mencari kesenangan hidup dan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.

Semua mahasiswa dari segala cabang keilmuan seharusnya sadar bahwa ia merupakan calon-calon pemimpin bangsa sebagai agent of change di masyarakat dan dapat resisten terhadap berbagai macam godaan hedonisme yang ada saat ini. Mahasiswa yang sadar pasti akan merasakan bahwa bangku kuliah yang dia enyam saat ini merupakan “The real education”, pendidikan yang penuh warna dan pertarungan pembentukan jati diri yang dinilai dengan intelektualitas cara berpikir. Mahasiswa yang baik juga seharusnya mampu berpikir secara rasional-sistematis, tidak hanya berpikir spontan tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan nantinya atas tindakan yang diambil contohnya tawuran antar mahasiswa di Jakarta dan Makassar. Apakah hal yang seperti itu dapat dikatakan sebagai kaum intelektual muda calon pemimpin bangsa yang mengedepankan otot dari pada otak ??? memang ironis jika ditelaah ulang.

Kemudian ada sebuah realita yang saat ini membudaya dikalangan muda, Mahasiswa yang seharusnya up to date news atau isu-isu nasional saat inipun kadang terbalik malah hanya up to date status di Twitter atau Facebook. Hal seperti ini jika dipikir ulang memang aneh namun merupakan sebuah realita yang ada saat ini. Tapi penilaian penulis secara umum terhadap hal seperti ini wajar karena memang mahasiswa merupakan jiwa muda yang ingin selalu mengekspresikan hati, pikiran dan perasaannya melalui berbagai macam media. Dan tidak sepenuhnya dalam jejaring sosial tersebut semua bernilai negative ada juga hal positifnya. Ekspresi-ekspresi yang ditimbulkan tadi sebenarnya merupakan buah dari kekuatan yang dimiliki oleh setiap mahasiswa, antara lain kekuatan moral (moral force), kekuatan ide (power of idea), kekuatan nalar (power of reason) tapi kadang hal tersebut tidak diolah dan dikelola dengan baik sehingga kekuatan-kekuatan tersebut tidak berfungsi secara optimal bagi mahasiswa dalam usaha menggapai semua cita-citanya atau bahkan malah terjerumus ke hal yang negative karena kegagalan mengelola beberapa kekuatan yang dimilikinya.

Setiap mahasiswa pasti memiliki impian dan cita-cita untuk menggapai kesuksesan, namun saat ini hal itu tidak dibarengi dengan usaha keras. Bahkan saat ini mayoritas mahasiswa berpikir instan, ingin menjadi orang sukses namun tidak mau berusaha dan bekerja keras. Padahal dalam sebuah forum Prof. Husein Haikal, MA (guru besar UNY) pernah berkata bahwa “Untuk menjadi orang hebat dan sukses itu usaha dan tantangannya luar biasa”. Tidak ada orang besar di negeri ini yang masa mudanya hanya dipenuhi oleh kegiatan hura-hura dan berfoya-foya, pasti pada masa mudanya dijalani dengan usaha keras. Berpikir, membaca, berdiskusi dan menulis merupakan kegiatan mereka sehari-hari. Jadi lebih baik kita mencontoh hal-hal tersebut dan bukan malah mencontoh berhura-hura dan berfoya-foya.

Beberapa hal yang dibahas diatas, saat ini merupakan deskripsi dari mahasiswa secara umum. Sebenarnya kita patut bersyukur dan bangga jika dapat menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa karena hanya sekitar 4,3 juta orang atau 5 % dari jumlah penduduk Indonesia yang bisa merasakan pendidikan tinggi. Rasa syukur itu dapat kita wujudkan dengan benar-benar menjadi seorang “MAHASISWA” dan bukan menjadi “mahasiswa angin-anginan” atau “mahasiswa abal-abal” yang hanya menumpang bertitel “MAHASISWA”, namun secara intelektualitas, pola pikir dan tindakan tidak menunjukan predikat sebagai seorang mahasiswa. Mari kita jalani “The real education” ini dengan baik dan sepenuh hati untuk menggapai impian dan kesuksesan yang kita idamkan dan pada akhirnya nanti mendapat prestisius dan sebuah pengakuan atas semua usaha yang kita lakukan saat ini.
 

Minat Baca Turun, Mahasiswa Pasif

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memberikan dampak negatif pada keaktifan mahasiswa di bangku perkuliahan. Mahasiswa cenderung diam dan lebih senang “autis” dengan benda-benda canggih berupa ponsel untuk berkomunikasi dengan teman sejawat, dari pada mendengarkan cuap-cuap dosen di di depan kelas.

Tidak berhenti sampai di situ, ketika akhir perkuliahan biasanya dosen selalu memberikan pertanyaan, apakah ada yang tidak paham atau ada tanggapan terhadap materi perkuliahan. Pada momen inilah mahasiswa biasanya menunjukkan kepasifannya. Diam dan perlahan-lahan menundukkan kepala. Ini memberikan arti bahwa peserta perkuliahan sudah mengerti atau tidak paham akan materi yang sudah disampaikan. Atau memang tidak ada keinginan untuk bertanya atau menanggapi.

Fenomena kefasifan mahasiswa di dalam kelas hampir terjadi di setiap perguruan tinggi. Hal itu disebabkan menurunnya daya kritis dalam menerima dan menganalisis materi-materi perkuliahan. Mahasiswa sebagai insan intelektual dan agent of change harus mampu memiliki pengetahuan yang luas. Pengetahuan yang luas tentu tidak di dapat hanya dengan berdiam diri. Itu semua didapatkan jika tingginya minat dan kebiasaan membaca mahasiswa. Membaca apapun itu, baik informasi di media massa, buku dan diktat perkuliahan.

Sulit Menulis

Kebiasaan membaca berkaitan erat dengan kemampuan tulis menulis. Pada saat ini, mahasiswa sulit sekali untuk menulis di media massa, apalagi menulis untuk tugas akhir skripsi. Terkadang untuk mencari topik tulisan pun susahnya setengah mati. Jika kebiasaan membaca mahasiswa tinggi, mungkin tidak akan ada lagi permasalahan seperti itu. Bisa-bisa karya pemikiran mahasiswa yang fresh, kreatif dan solutif akan banyak dihasilkan.

Tokoh sastra Indonesia, Taufik Ismail pernah berkata bahwa minat baca masyarakat pada saat ini telah turun. Pada zaman Hindia Belanda, seorang pelajar tingkat menengah selama tiga tahun harus membaca minimal 25 buku. Buku-buku tersebut ada di kurikulum dan disediakan di perpustakaan. Lalu buku tersebut harus dirangkum dan akan diujikan. Berbeda dengan sekarang, mahasiswa hanya membaca rangkumannya saja, tidak isinya secara keseluruhan. Padahal perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sudah memberikan banyak kemudahan.

Untuk meningkatkan budaya membaca di kalangan mahasiswa ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, tingkatkan kualitas pelayanan di perpusatakaan kampus. Peningkatan kualitas tersebut bisa dilakukan dengan memperbanyak koleksi buku-buku utama perkuliahan dan buku penunjang.

Di samping itu, peningkatkan koleksi media massa berupa majalah, koran dan ensiklopedi juga diperlukan. Agar mahasiswa tidak hanya berkutat pada ilmu-ilmu di perkuliahan, juga pengetahuan akan peristiwa terkini di seantero dunia.

Kedua, berikan kemudahan bagi mahasiswa untuk mengakses buku-buku yang ada diperpustakaan. Biarkan mahasiswa di waktu luangnya untuk bebas mencari buku apa saja yang disukai. Jangan sampai buku-buku yang berkualitas hanya di simpan di lemari dan menjadi pajangan.

Ketiga, pihak universitas dan organisasi mahasiswa hendaknya semakin sering melakukan lomba-lomba penulisan. Entah itu penulisan artikel opini, esai, cerita fiksi dan sebagainya. Dengan lomba-lomba tersebut diharapkan antusias mahasiswa untuk terus membaca dan menulis semakin meningkat.

Dengan adanya peningkatan kualitas perpusatakaan di kampus, kemudahan akses terhadap buku-buku, dan berbagai lomba penulisan yang menarik, maka minat membaca dan menulis dikalangan mahasiswa akan semakin meningkat. Tidak aneh lagi jika nantinya pemikiran-pemikiran mahasiswa yang kritis dan kreatif akan tertulis di media massa, buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah. Mahasiswa yang dijuluki sebagai kaum intelektual muda dan agent of change akan terwujud. Pada akhirnya akan terbangun tatanan negeri yang sejahtera, adil, dan makmur diiringi dengan tingkat intelektual kaum muda yang tinggi, dan pantas untuk disamakan dengan negara-negara maju.
 

Mengkonstruk Jati Diri Intelektual Progresif Di tengah Apatisme






Dalam konteks sehari-hari, istilah intelektual biasanya ditunjukkan kepada orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Merujuk pada istilah modern ‘intelektual’ adalah mereka yang amat terlibat dalam ide-ide dan buku-buku. Namun dari segi marxisme istilah intelektual ini adalah mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, intelektual sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan atau belajar di universitas.

Berbicara mengenai universitas, maka tentunya akan berhubungan pula dengan mahasiswa sebagai komponen penting dari sebuah universitas. Mahasiswa merupakan struktur tertinggi dalam berbagai pembelajar, dengan berbagai bekal pengalaman empiris dan kemampuannya mendayagunakan rasionalitas maka mahasiswa dipandang mempunyai kelebihan dan kedewasaan dalam bersikap maupun bertindak dalam menghadapi persoalan. Kemampuan dan kapasitas yang dimiliki tersebut, memperkuat eksistensi mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual.

Mahasiswa adalah kalangan terpandang dalam struktur pendidikan yang perannya sangat diperhitungkan oleh banyak kalangan. Hal ini sebenarnya modal yang sangat berharga yang harus dapat didayagunakan oleh mahasiswa sebagai wujud dari eksistensinya. Lalu permasalahan yang timbul sekarang adalah sikap seperti apa yang harus dikembangkan oleh mahasiswa ketika melihat realitas yang sedang berkembang, apa yang harus dilakukan mahasiswa dalam kaitan dengan peran yang sedang diembannya sebagai seorang intelektual. Bila merujuk pada pengertian umum intelektual, maka dengan mudah ditemukan jawaban yang sederhana, yakni mahasiswa sebagai bagian dari komunitas intelektual harus membaca buku untuk memahami realitas sosial yang terjadi disekelilingnya. Namun, bila hanya sebatas itu peran yang dapat dilakukan oleh seorang intelektual, sungguh tiada berguna semua ilmu pengetahuan, kecerdasan, dan kemampuan yang dimilikinya. Pendefinisian intelektual sebatas kepada individu yang selalu memiliki keterkaitan dengan buku menyebabkan hilangnya peran-peran penting seorang intelektual dalam mendayagunakan kekmampuannya dalam keterlibatan aktif membangun lingkungannya.

Sebagai seorang intelektual, tugas dan prioritas seorang mahasiswa memang untuk belajar dalam lingkup akademik di perguruan tinggi. Namun posisi yang diemban oleh mahasiswa sebagai seorang intelektual muda tersebut, juga mempunyai tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan untuk dapat turut berpartisipasi aktif dalam menggerakkan dan menggagas perubahan dalam dunia sosialnya (Prasetyo, jadilah intelektual progresif. 2007). Karena betapun juga mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat, dan pada akhirnya juga akan kembali ke tengah masyarakat Soe Hok Gie mengatakan :

“…mahasiswa sebagai intelektual muda harus bisa menciptakan sesuatu yang baru, untuk mengatasi keberlangsungan kehidupan masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi sampah masyarakat…”.



Sebagaimana yang juga disepakati oleh banyak kalangan mahasiswa, sebagai seorang intelektual maka sudah sepatutnya mahasiswa bersikap progresif. Progresif merupakan sikap yang tanggap, aktif, dan partisipatif dalam menyikapi setiap realitas disekitarnya (Prasetyo, 2007). Jadi, sikap yang harus ditanamkan oleh mahasiswa sekarang ini adalah sikap kritis progresif bukan apatis (tidak mau peduli) karena hal ini akan membawa mahasiswa menjawab tantangan kedepan menuju cita – cita bangsa, mewujudkan kemakmuran dan keadilan masyarakat.

Namun realitas yang terjadi sekarang ini, dimana semua sudah tersedia, laju informasi yang pesat serta beragam kemudahan teknologi lainnya semacam internet dan fasilitas lainnya ternyata justru semakin melemahkan daya kritis dan gerak progresif mahasiswa. Mahasiswa semakin manja dan bersikap apatis terhadap kehidupan sekitarnya. Situasi saat ini telah menanggalkan peran progresif kaum intelektual. Peran yang nyatanya ditelan oleh rendahnya kepedulian dan pengetahuan. Kepedulian tidak tertanam kuat karena watak kelas yang semakin memanjakan. Watak yang tidak tahan derita dan penuh dengan keinginan akan kemapanan. Cerminan tersebut nampak nyata dalam kehidupan kampus. 

"Mahasiswa – mahasiswa yang gemar bersolek dan memperagakan teori tanpa kenal realitas. Malas dalam berdebat dan tidak punya gairah dalam berkarya.." (Hadiz, 2004).



Budaya intelektual yang menumbuhkan ide – ide kritis baik itu dalam diskusi, tulisan ataupun organisasi semakin tidak menarik minat mahasiswa. Mahasiswa cenderung berpikiran sempit bahwa tugas seorang intelektual adalah belajar dengan tekun di bangku perkuliahan, melakukan beragam penelitian dan eksperimen ilmiah, dan melaksanakan kegiatan akademis lainnya guna menjadi paling cerdas dan lulus dari bangku perkuliahan secepat mungkin untuk memperoleh predikat cumlaude, mahasiswa berprestasi, mahasiswa teladan atau semacamnya. Kemudian, kenyataan akan realitas sosial hanya dituangkan kedalam grafik-grafik, didefinisikan secara umum, kemudian dipecahkan melalui prosedur yang rumit. 

"...mahasiswa boleh saja maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa kepedulian sosial dan kepekaan akan realitas lingkungan, mahasiswa hanya tinggal hewan yang pandai..." (Pramoedya Ananta Toer).

Seorang intelektual harus memiliki sikap progresif. Tak ada intelektual yang pekerjaannya hanya duduk di belakang meja, apalagi jika hanya bergegas memburu kemapanan. 


Seorang intelektual bukan perantara dari teori – teori abstrak untuk dicangkokkan pada lapisan massa awam : tapi seorang yang mendasarkan pengetahuan dari fakta – fakta sosial yang ada di lingkungannya (Gramsci dalam Groz, 2005). 

Oleh karena itu maka seorang intelektual harus terlibat aktif dengan lingkungannya, berperan serta dalam segala usaha untuk membangun dan merubah masyarakat sosialnya. Keunggulan seorang intelektual tidak bisa lagi terdapat pada kefasihan berbicara, yang merupakan gerak luar dan sementara dari perasaan dan keinginan, namun dalam partisipasi aktif dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap dan bukan semata – mata ahli pidato. 

Dengan sikap progresifnya, mahasiswa sebagai kalangan intelektual muda, harus dapat menjadi bagian dari organisasi sosial yang menyuarakan segala perubahan dan perbaikan sistem sosial atau bahkan menjadi organisator dari segala upaya perbaikan sistem dan pembangunan masyarakat sosialnya. Dalam pengertian yang paling sederhana, pada lingkup yang paling kecil mahasiswa sebagai kaum intelektual harus mampu bersikap progresif di lingkungannya sendiri, yakni lingkungan kampus atau perguruan tinggi. Perwujudan sikap yang paling sederhana adalah dengan terlibat aktif didalam berbagai pergerakan organisasi kemahasiswaan dikampus, yang kehadirannya selama ini memberikan andil yang cukup besar bagi perjalanan intelektualitas mahasiswa. 



Dengan kata lain, organisasi juga merupakan sarana pengembangan intelektualitas dan sekaligus kepekaan sosial mahasiswa terhadap kehidupan bermasyarakat.

Namun sebagaimana disampaikan sebelumnya, permasalahannya kembali lagi kepada sikap apatis yang semakin membudaya di kalangan mahasiswa. Golongan mahasiswa yang apatis dan enggan untuk memikirkan politik yang rumit adalah realitas yang harus dipecahkan.

Kecenderungan bersikap apatis dan tanpa sikap apapun juga dikarenakan keengganan untuk bisa berpikir dan bertindak dalam proses, selalu orientasi hasil, sangat instant dan terkesan tidak mau tahu dengan proses padahal kalau berbicara politik adalah juga berbicara proses. Butuh idealisme, keihklasan dan yang terpenting adalah sikap tanpa pamrih karena ukurannya adalah moral, sedangkan gerakan moral membutuhkan durasi yang lumayan panjang dan harus dijalani dengan sabar. Untuk itulah diperlukan pola pikir yang tumbuh dalam jiwa – jiwa muda yang progresif harus bisa menggugah kalangan mahasiswa lainnya untuk sama – sama bergerak dan mengembangkan progresifitas. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan sebuah usaha bersama untuk dapat membangun kembali jati diri mahasiswa sebagai insan progresif bukan sebagai insan intelektual apatis.


DIPERUNTUKKAN KEPADA YANG MENGAKU SEBAGAI MAHASISWA
 

Masalahku atau Masalahmu


Apa yang ada di otakmu mungkin tak sama dengan yang ada di otakku. Saat aku berpikiran ingin mati saja, mungkin kau berpendapat beda bila kita menghadapi masalah yang sama, walaupun masalah itu serupa hingga detail-detailnya. Jadi, setiap manusia memang ditakdirkan untuk menempuh jalannya berbeda-beda. Sial, mungkin kata itu terbesit bagi orang yang merasa tak mendapat keberuntungan di dunia ini. Tetapi begitulah kehidupan, bahkan orang yang kekayaannya berlimpah sekalipun, pasti suatu saat akan jatuh juga bila ia berhenti berusaha. Ingatlah pepatah bahwa kehidupan ini bagaikan roda, kadang kita di bawah, kadang kita di atas.

Sampai kapan kita akan tetap sial? Pertanyaan ini cocok bagi orang-orang yang tak beruntung tadi. Sampai kapan? Sampai kiamat? Sampai bumi dan langit menyatu? Sampai takdir membuatmu berubah, tetapi kau harus tetap berusaha merubahnya. Tidak ada gunanya kita memaki-maki takdir. Tak ada gunanya kita menyalahkan diri sendiri yang terlahir dalam keadaan kurang beruntung.

Kembali ke masalah setiap manusia yang berbeda-beda. Di dunia ini ada yang disebut sebagai kesukaran dan kemudahan. Bila ada kalimat yang mengatakan setelah ada kesukaran pasti ada kemudahan, itu adalah kalimat yang salah. Sebenarnya kalimat yang benar adalah bersama kesukaran ada kemudahan. Karena setiap kesulitan yang timbul akan ada kemudahan diantara kesulitan tersebut. Di setiap masalah yang ada akan ada solusinya. Maka janganlah pernah merasa stres, gila atau merasa aneh sendiri bila ada masalah timbul. Bila ada yang menganggap kita aneh, gila atau stres, mungkin orang itulah yang aneh. Karena setiap pribadi manusia dibuat se-unik mungkin, berbeda satu sama lainnya. Maka, sebelum kita menilai orang lain, cobalah nilai diri kita sendiri. Apakah sudah pantas kita menganggap orang tersebut aneh, atau justru kita sendiri yang aneh. Atau semua orang memang aneh?

Setiap perasaan dari masalah yang dihadapi memang berbeda-beda, begitu juga dengan sikap. Ada yang mencoba menutupinya dengan lari dari masalah, tetapi itu tak akan pernah menyelesaikan masalah, ada pula yang menyalahi dirinya sendiri, bahkan ada yang membenturkan kepalanya ke dinding atau mungkin membuat pelampiasan dengan menumpahkan tinta ke atas kertas. Marah, benci, dengki, perasaan terkutuk, atau apapun itu namanya pasti muncul di saat-saat seperti ini. Tapi cobalah untuk selesaikan masalah dengan cara yang tepat. Tidak perlu cepat dan benar, tetapi gunakanlah cara yang terbaik, terbaik untuk diri kita dan umpan balik dari pemecahan masalah tersebut. Mulai sekarang jangan pernah lari dari masalah, hadapi semua masalah dengan senyuman, mungkin akan membuat kita meringankan beban yang ada.

”Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’arij: 19-21)
 

Lembaga Kemahasiswaan Pasca Reformasi

Masih teringat dalam benak kita dengan Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang menewaskan empat pahlawan reformasi yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie. Keempat mahasiswa Universitas Trisakti ini gugur tertembak di dalam kampus terkena peluru tajam. Saat itu terjadi pergerakan besar-besaran dari seluruh mahasiswa dalam wadah lembaga kemahasiswaan. Sekumpulan mahasiswa ini dapat menurunkan Presiden Republik Indonesia yang berkuasa saat itu, Soeharto. Ini adalah prestasi yang cukup besar dari mahasiswa era itu.

10 tahun Tragedi Trisakti telah berlalu, apa yang telah kita lakukan sebagai mahasiswa terhadap negeri ini? Bila mengacu pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, adalah pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang harus kita lakukan. Itukah yang seharusnya kita lakukan? Hanya itukah? Bagaimana dengan idealisme seorang mahasiswa seharusnya? Bagaimana dengan idealisme lembaga kemahasiswaan seharusnya?

Lembaga kemahasiswaan, yang sejatinya sebagai wadah berpolitik di dalam kampus seharusnya dapat menjawab persoalan-persoalan yang telah disebutkan di atas. Setelah adanya perintisan dari senior-senior kita yang terdahulu yang begitu dahsyat dengan perjuangannya, apakah kita tidak malu dengan hal itu? Dengan menjadikan lembaga kemahasiswaan sebagai organisasi yang hanya menjalankan program kerja saja, hanya memenuhi fungsi administrasi saja, dan mungkin hanya sebagai media pengaktualisasian diri saja. Tidakkah kita malu dengan pergerakan yang telah menjadikan kita dapat bebas berorganisasi dalam kampus.

Kemudian bagaimana seharusnya peran kita sebagai mahasiswa? Banyak pilihan yang dapat kita tempuh. Kita hanya tinggal memilih apa yang sesuai dengan minat dan bakat kita. Kehidupan berorganisasi di kampus tidak melulu membicarakan tentang senat mahasiswa, tidak melulu tentang lembaga eksekutif atau legislatif. Masih banyak organisasi yang bergerak di bidang-bidang kesenian, kebudayaan maupun olahraga, yang salah satunya dapat kita ikuti. Lantas apakah dengan mengikuti lembaga-lembaga tersebut kita dapat memberikan yang terbaik pada negeri kita yang tercinta ini? Jawabannya ada di diri kita masing-masing. Dengan sbaik-baiknya kita merumuskan keidealismean kita sebagai mahasiswa serta dengan sekuat-kuatnya menerapkan keidealismean kita tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Masalahnya adalah definisi ideal dari setiap orang itu berbeda.

Jadi, saya harap melalui tulisan ini, kita sebagai mahasiswa dapat membangun negeri kita yang tercinta ini, tidak mesti melalui lembaga kemahasiswaan, tetapi yang jelas bagaimana caranya agar lembaga kemahasiswaan tersebut yang saat ini dapat dikatakan kurang menggigit dapat menjadi tunggangan kita dalam mengadvokasi permasalahan-permasalahan yang terjadi pada bangsa kita, Bangsa Indonesia.
 

Globalisasi dan Multikulturalisme; Sebuah Realitas

Naik kereta api tut ut tut/siapa hendak turut/…

kereta ku tak berhenti lama (nyayinan waktu kecil).
Dengan keberagaman hidup jadi indah dan penuh warna warni
Pendahuluan
Nyanyian kereta api yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak adalah mengambarkan nasib sebagian penghuni bumi yang tersisir ditinggalkan oleh kereta globalisasi yang melaju semakin kencang. (B.Hari Juliawan, Keretaku Tak Berhenti Lama). Memasuki melinium ketiga ini kita disibukan dengan dengan istilah globalsasi yang menjadi arus tidak dapat di bendung. Shimon Peres menyatakan kekuatan globalisasi sebagai pengalaman orang yang bangun pagi dan melihat segala sesuatu sudah berubah. Banyak hal yang kita anggap suatu kebenaran suatu waktu menghilang tanpa bekas. Para pakar mengakuinya bahwa sekarang perubahan kehidupan manusia terbawa oleh arus global. Masyarakat atau bangsa yang kurang siap akan terbawa oleh arus global. (H.A.R.Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan). Senada pula yang diutarakan oleh Giddens bahwa globalisasi barangkali bukanlah perkataan yang sangat menarik atau elegan. Namun demikian, tidak seorangpun memahami prospek kehidupan kita diakhir abad ini tidak dapat mengabaikannya. Globalisasi berkaitan dengan tesis bahwa kita sekarang hidup di satu dunia, tetapi dengan mudah kita dapat melakukan perjalanan keliling dunia. Dalam setiap Negara membicarakan globalisasi dengan cukup intenship seperti kata globalisasi dikenal oleh warga Prancis dengan mondialisation, sedangkan di Spayol dan Amerika Latin kata ini adalah globalizacion dan untuk Jerman meyebutnya dengan globalisierung. (Anthony Giddens, Runaway World).
Mengenai fenomena globalisasi sudah banyak dibicarakan dari orang bahkan tukang becak mahir mengucapkan globalisasi, anak muda pengelana mol, sampai-sampai pak bupati rajin mengulang-ngulang kata itu, kadang-kadang sambil meyumpahi dan lain kesempatan sambil bersyukur. Globalisasi diibaratkan sebagai “pisau” yang bermata ganda sebagai kutukan dan berkah. Menurut versi pejabat globalisasi menarik invertor asing yang kemudian menjelma menjadi lapangan pekerjaan. Sebagai kutukan, globalisasi dikambinghitamkan oleh pemuka agama yang mengeluhkan merosotnya moral kaum muda setelah mengenal internet dan gaya hidup barat. (B.Hari Juliawan, Keretaku Tak Berhenti Lama).
Bahwa manusia hidup dalam reliatas yang plural, hal yang sama juga pada masyarakat Indonesia yang majemuk (plural society). Corak masyarakat Indonesia adalah ber-Bhenika Tungal Ika, bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang berada dalam masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia dilihat memiliki suatu kebudayaan yang berlaku secara umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya sebagai mosaik. Seperti yang telah dikemukan oleh the fanding father bangsa Indonesia bahwa kebudayaan bangsa Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. (Pasudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Masyarakat yang plural merupakan “belati” bermata ganda dimana pluralitas sebagai rahmat dan sebagai kutukan. Pemahaman pluralitas sebagai rahmat adalah keberanian untuk memerima perbedaan. Menerima perbedaan bukan hanya dengan kopetensi keterampilan, melainkan lebih banyak terkait dengan persepsi dan sikap sesuai dengan realitas kehidupan yang menyeluruh. Sedangkan pluralitas sebagai kutukan akan menimbulkan sikap penafian terhadap yang lain, baik individu ataupun kelompok, karena dianggap berbeda dengan dirinya, dan perbedaan dianggap menyimpang atau salah. Penafian terhadap yang lain pada hakekatnya adalah pemaksaan keseragaman dan menghilangkan keunikan jati diri yang lain, baik individu atau komunitas. Modus relasi hegemonik berarti mengandaikan konstruksi sosial herarkis, dan membangaun pengakuan bahwa seseorang atau kelompok lain unggul atas yang lain, serta mengajukan klaim yang melibihi hak-haknya dengan cara merampas hak-hak pihak lain. (Salam Redaksi, Kalimatun Sawa, MultiKulturalisme Desa Global). Menurut Suparlan yang mengutip dari Fay, Jary dan J. Jary dalam acuan utama masyarakat yang multikultural adalah multikulturalisme, nyakni sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individu ataupun secara kebudayaan. (Pasudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Globalisasi
Bahasa globalisasi patut mendapatkan perhatian. Bahasa globalisasi patut mendapatkan perhatian khusus. Kata globalisasi itu sendiri, dalam kebanyakan penggunaannya tidak mengandung satu konsep tertentu. Persolannya tidak sekedar penggunaan kata oleh intelektual, penggunan istilah yang kabur maknanya itu merupkan tabir yang efektif untu menutup sebab akibat. Menegah analisis tentang apa yang sedang terjadi, oleh siapa, terhadap siapa, untuk siapa, dan dengan akibat apa. Terdapat dua macam perkembangan modalis di padukan dengan istilah globalisasi. Pertama, perkembangan teknologi dan kedua, paerkembangan dalam pemusatan kekuasaan. (Peter Marcus, Memahami Bahasa Globalisasi). Globalisasi ini berarti terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, dan informasi hasil moderniasasi teknologi. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan kompetisi liar yang saling dipengaruhi dan mempengaruhi, saling bertentangan dan bertaberakan nilai-nilai yang berbeda yang akan menghasilkan kalah atau menang atau kerjasama yang menghasilkan sintesa dan analisis baru. (Qodri Azizy, Melawan Globalisasi).
Beberapa pemikir memperdebatkan pandangan tentang globalisasi yang masing-masing berbeda satu sama lainnya. Kaum skeptis, hal yang dibicarakan tentang globalisasi adalah omong kosong. Adapun manfaat, cobaan, dan kesengsaraan yang ditimbulkannya, ekonomi global tidak begitu berbeda dengan yang penah terjadi pada periode sebelumnya. Kaum ini berpandangan banyak negara yang memperoleh sedikit pendapannya dari perdagangan luar negeri. Kaum skeptisme ini, cenderung dialiran kiri politik, sebab bahwa semua ini hanya mitos, pemerintah yang mengendalikan kehidupan ekonomi negara dan kesejahteraanpun tetap utuh. Gagasan globalisasi merupakan ideologi yang disebarluaskan oleh para pendukung pasar bebas yang membongkar kesejahteraan dan mengurangi pengeluaran negara. Selanjutnya adalah kelompok radikal bahwa globalisasi tidak hanya sangat riil, melainkan juga konsekuensi yang dirasakan dimanapun. Pasar global jauh lebih berkembang dan mengabaikan batas-batas negara. Banyak bangsa telah kehilangan daulatnya, dan para politisi telah kehilangan kemampuannya untuk mempengaruhi dunia. Kelompok yang masuk aliran kanan adalah kaum radikal. (Anthony Giddens, Runaway World).
Pasca perang dingin beberapa system baru menggugurkan hal yang mempersiapakan rangka kerja yang berbeda untuk hubungan internasional. Pasca perang dingin suasana dunia sangat berantakan, membingungkan dan tak terdefinisikan. Tetapi lebih dari itu kita berada dalam system internasional yang baru. System yang baru tersebut memiliki logika sendiri yang unik, berbagai peraturan, tekanan intensif, dan memiliki nama sendiri nyaitu globalisasi. Globalisasi bukan hanya model ekonomis, dan bukan hanya model yang telah berlalu. Ini merupakan system internasional yang dominant yang menggantikan system perang dingin setelah runtuhnya tembok Berlin di Jerman. Makasud dari sebagai system internasional dalam perang dingin memliki struktur kekuatan sendiri keseimbangan antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Perang dingin memiliki trent tersendiri yaitu pertikaian antara kapitalisame dengan komunisme, antara blok barat dengan timur. Dari seluruh elmen yang berada dalam perang dingin tersebut mempengaruhi politik, perdagangan dan hubungan Negara diberbagai belahan dunia. (Thomas L.Freidman, Memahami Globalisasi).
Sedangkan globalisasi merupakan system internasional yang serupa dengan atribut unik dan berbeda, dan memiliki ciri yang istimewa integrasi. Dunia menjadikan tempat untuk menjalin hubungan, dan hari ini, apakah ada suatu Negara atau perusahaan ancaman dan peluang anda semakin tergantung dari kepada siapa anda dihubungkan. Globalisasi ini dihubungkan dengan satu kata jaringan (web). System globalisasi bersifat dinamis dan berkesinambungan. Maka dalam mendefinisikan globalisasi adalah integerasi yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dari pasar, Negara dan teknologi sampai pada tingkat yang tak pernah disangsikan sebelumnya dalam caranya yang memungkinkan setiap individu, perusahaan dan bangsa-bangsa untuk mencapai seluruh dunia yang lebih jauh, lebih cepat lebih murah dari yang pernah ada sebelumnya. Sedangkan ide di belakang globalisasi adalah kapitalisme pasar bebas dan semakin anda membiarkan maka kekuatan pasar bekuasa dan semakin anda membuka perekonomian anda bagi pergagangan bebas dan kompetisi. Globalisasi berarti penyebaran kapitalisme pasar bebas keseluruh Negara di dunia. Globalisasi memiliki meliki peraturan perekonomian tersendiri peraturan yang bergulir sekitar pembukaan deregulasi, privatisaasi perekonomian guna lebih kompetitif dan ateraktif bagi invertasi luar negeri. (Thomas L. Freidman, Memahami Globalisasi).
Kreteria ekonomi yang melekat pada arti globalisasi merupakan kelanutan kriteria ekonomi yang melekat pada pembangunan (development). (Herry Priyono, Marginalisasi ala Neoliberal). Proses globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, nyakni kini terbuka dan menggelobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional yang kemudian dikuatkan oleh ideologi dan tata dunia perdagangan dibawah satu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global. Globalisasi mencul bersamaan dengan runtuhnya pembangauanan di Asia Timur, era globalisasi ini yang memiskinkan rakyat di dunia ketiga seolah-olah merupakan arah baru yang menjanjikan harapan kebajikan bagi umat manusia dan menjadi keharusan sejarah umat manusia di masa depan. Globalisai juga melahirkan kecemasan yang memperhatikan permasalah kemiskinan dan marginalisasi rakyat, serta masalah keadilan sosial. (Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalsasi). Salah satu yang ditimbulkan impact negatif globalisasi bagi negara berkembang marginalisasi sejumlah besar manusia dan bertambahnhya angka kemiskinan. Proses marginalisasi (impoverty) makin terasa jika negara mengalami krisis keuangan. Industrialisasi pada negara berkembang hanya menguntungkan kaum tertentu dan memiskinkan rakyat banyak. Demikian pula, dengan degradasi lingkungan yang ditimbulkan makin parah. (H.A.R. Tilaar, Kuasa dan Pendidikan)
Faham globalisasai yang didasarkan pada pasar global yang intinya sama dengan neolibralisme yang didasarkan pada pokok-pokok sebagai berikut, liberaliasi perdagangan, liberalisasi investasi, privatisasi, pemotongan anggaran publik untuk sosial, potongan subsidi negara, devalusi mata uang, upah buruh murah. Liberalisasi perdagangan berarti menghilangkan segala peraturan yang melindungi industri dan pasar domestik oleh negara. Logika neoliberal ekonomi negara akan berkembang jika diserahkan pada pasar. Liberalisasi memberikan kesempatan pada kapitalis untuk mengeruk keuntungan, dan penghapusan beban yang harus ditanggung oleh swasta. Hal ini memberikan ruang yang bebas dan terbuka terhadap perdagangan internasional dan investasi internasional, dan peran negara diambil alih oleh lembaga-lembaga keungan internasional seperti, IMF, WTO, WB dan TNC/MNC. Liberasi investasi memberikan masuknya paham neoliberalism untuk memanam saham sebesar 100 persen untuk perusahan internasional, bebas bea masuk, tingkat suku bungan dan pajak rendah. Privatisasi penjualan perusahan-perusahaan negara dan pelayanan puplik pada swasta. (Mustofa Abdul Chamid, Orde Baru Neoliberalsme dan Globalisasi Kaum Miskin).
Kebanyakan perusahaan Multinasional rakasasa yang berbasis di Amerika. Tidak semuanya berasal dari Negara-negara kaya, namun juga tidak bersal dari wilayah yang lebih miskin didunia. Pandangan yang pesimis terhadap globalisasi sebagian berdasar merupakan urusan Negara industri utara, dimana masyarakat yang berkembang di selatan hanya berperan sedit atau tidak sama sekali. Pandangan ini juga menganggap bahwa globalisasi telah menghancurkan kebudayaan lokal, memperluas kesenjangan dunia, dan yang membuat kehidupan kaum miskin semakin terpuruk. Dan beberapa pihak mengatakan bahwa globalisasi menciptakan dunia terbelah antara pemenang dan pecundang, hanya sedikit sekali yang maju menuju kemakmuran, sementara yang lain mengalami kehidupan yang penuh kesengsaraan dan keputusasaan. Banyak data statistik yang memperlihatkan bahwa mereka yang miskin seperlima penduduk dunia, pendapatannya merosot dari 2,3 sampai 1,4 % dari seluruh pendapatan dunia, tetapi bagi negara yang maju malahan jumlah pendapatannya meningkat. Sedangkan pada Negara kurang berkembang, regulasi mengenai keselamatan dan lingkungan hidup cukup rendah atau sama sekali tidak ada. Dan orang mengatakan bahwa sekarang mirip dengan kampung global (global village), tetapi lebih tepat dengan penjarahan global (global pillage). (Anthony Giddens, Runaway World). Dengan berlangsungnya proses globalisasi telah melahirkan apa yang disebut oleh Marshall McLuhan the global village. (H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan).
Globalisai dan dampaknya terbagi menjadi dua macam positif dan negatif. Sisi negatif atau ancaman dari globalisasi arus informasi dan komunikasi kita dapat mengakses gambar-gambar jorok. Dengan gencarnya iklan menyebabkan masyarakat menjadi berbudaya konsumtif dengan gaya hidup yang global sesuai dengan budaya barat. Sedangkan bagi faham kebebasan menjadikan anak ABG mendefinisikan kebebesan sama dengan kebebasan pada dunia sekuler, sehingga disini nilai agama, norma dan budaya lokal terancam olehnya. Kebebasan tersebut adalah kebebasan yang menjurus pada kepuasan lahiriah (pleasure), egoisme, dan hedonisme. (Qodri Azizy, Melawan Globalisasi). Globalisasi menjadikan negara yang berkembang menjadi gelandangan dikampung sendiri dan penjarahan global sehingga melahirkan the village global. Dalam kampung global tersebut terjadilah ketidak adilan dan peristiwa dehumanisasi. Globalisasi melahirkan kebudayaan yang bersifat monoisme kebudayaan atau monokulturalisme dikarenakan imperialisme kebudayaan barat. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme). Globalisasi menyebabkan merebaknya kebudayaan “McDonald” makanan instan lainnya, dengan demikin melahirkan kebudayaan yang serba instans, budaya telenovela yang melahirkan pesimisme, kekerasan hedonisme. Dengan meminjam istilah dari Edward Said gejala tersebut merupakan “cultur imprelism” baru menggantikan imprealisme klasik. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya).
Dampak yang positif dari globalisasi adalah berkembangnya teknologi yang mempermudah urusan manusia. Dengan media informasi menjadikan kita dapat melhat berbagai peristiwa diberbagai belahan dunia. Tiupan globalsasi, perpaduan dengan teknologi informasi melahirkan kebudayaaan dunia maya (cyber cultur) kemajuan teknologi informasi telah membentuk ruang cyber yang maha luas, suatu universitas baru, nyaitu universe yang dibangun melalui komputer dan jaringan komunikasi. Ruang cyber tersebut merupakan lalulintas ilmu pengetahuan, gudang rahasia, dan berbagai pertunjukan suara dan kecepatan musik yang dipancarkan dengan kecepatan cahaya elektronik. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme). Unsur positif dari globalisasi telah melahirkan LSM dan NGO sebagai gerakan dalam rangka melindungi masyarakat lokal terhadap serbuan globalisasi. Gerakan LSM menggelorakan identitas lokal, budaya lokal, perlindungan terhadap rakyat kecil, dan pandangan yang kritis terhadap negara dengan birokrasinya. (H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan).
Multikulturalisme
Pengertian multikulturalisme diberikan oleh para ahli sangat beragam, multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan yang pluralis dan multikultural yang ada dalam kehidupan masyarakat. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya). Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Menurut longer oxford directionary istilah “multiculturalme” merupakan deviasi kata multicultural kamus ini meyetir dari surat kabar di Kanada, Montreal times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multicultural dan multilingual. (Muhaemin el-Ma’hadi, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikulturalisme).
Multikulturalisme ternyata bukanlah pengertian yang mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks, nyaitu “multi” yang berarti plural dan “kulturalisme” berisi tentang kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengertian tradisonal tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama; pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition). Kedua, legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam gelombang pertama multikulturalisme yang esensi terhadap perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the other). (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Dalam filsafat multikulturalisme tidak dapat lepas dari dua filosof kontemporer nyakni, John Rawls dari Harvard University dan Charles Taylor dari McGill University. Rawls adalah penganut liberalisme terutama dalam bidang etika dan Taylor dalam filsafat budaya dan politik. Rawls mengemukakan teorinya dalam bukunya A Theory Justice, yang berusaha menghidupkan kembali “social contrac” dan melanjutkan kategori imperatif Kant, serta mengemukakan pemikiran alternative dari utilitarianisme. Masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin “the greatest good for the greates number” yang terkenal dengan prinsip demokrasi. Filsafat Rawls menekankan arti pada “self interest” dan aspirasi pengenal dari seseorang. Manusia dilahirkan tanpa mengetahui akan sifat-sifatnya, posisi sosialnya, dan keyakinan moralnya, maka manusia tidak mengetahui posisi memaksimalkan kemampuannya. Maka Rawls mengemukakan dua prinsip; pertama, setiap manusia harus memiliki maksimum kebebasan individual dibandingkan orang lain. Kedua, setiap ketidaksamaan ekonomi haruslah memberikan keuntungan kemungkinan bagi yang tidak memperoleh keberuntungan. Menurutnya institusional yang menjamin kedua prinsip tersebut adalah demokerasi konstitusional. Dalam bukunya Taylor membahas tentang The Politics of Recognition, berisi tentang pandangan multikulturalisme mulai berkembang dengan pesat, bukan hanya dalam ilmu politik tetapi juga dalam bidang filsafat dan kebudayaan. Jurgen Habermas menanggapi bahwa pelindungan yang sama dibawah hukum saja belum cukup dalam demokerasi konstitusional. Kita harus menyadari persamaan hak dibawah hukum harus disertai dengan kemampuan kita adalah penulis (authors) dari hukum-hukum yang mengikat kita. Habermas menganjurkan agar supaya warga negara dipersatukan oleh “mutual respect” terhadap hak orang lain demokerasi konstitusioanal juga memberikan kepada kebudayaan minoritas, memperoleh hak yang sama untuk bersama-sama dengan kebudayaan mayoritas. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Walaupun multikulturalisme telah digunakan oleh para pendiri bangsa dalam rangka mendisain kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi bagi orang Indonesia multikulturalisme adalah konsep yang asing. Konsep multikulturalisme tidaklah sama dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena konsep multikulturalisme menekankan keanekaragaman dan kesederajatan. Multikulturalisme harus mau mengulas berbagai permasalahan yang mengandung ideologi, politik, demokerasi, penegakan hukum, keadialan, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral dan peningkatan mutu produktivitas. (Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Memang dalam kerangka konsep masyarakat multikultural dan multikulturalisme secara subtantif tidaklah terlalu baru di Indonesia dikarenakan jejaknya dapat ditemukan di Indonesia, dengan prinsip negara ber-Bhenika Tunggal Ika, yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah masyarakat multikultural tetapi masih terintregrasi ke-ikaan dan persatuan. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya). Sebagai gambaran tentang multikulturalisme digambarkan oleh John Haba tentang semangat kekristenan mulai menurun dikalangan intelektual dunia barat dipengaruhi semangat multikulturalisme, maka persilangan paradigma, tentang boleh tidaknya gereja dilakalangan misi bukan kristen. Para intelektual barat melemahkan visi dan misi gereja di era posmodernisme dan mereka bersikap apatis dan bahkan memilih menjadi pengikut agama Budha, Hindu atau ateis menjadi warga gereja. (John Haba, Gereja dan Masyarakat Majemuk).
Multikulturalisme bukanlah sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai etika tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat. multikulturalisme sebagai ideologi tidaklah berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme memerlukan konsep bangunan untuk dijadikan acuan guna memahami mengembangluaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.untuk memahami multikulturalisme, diperlukan landasan pengetahuan berupa konsep-konsep yang relevan dan mendukung serta keberadaan berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan. Akar dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Kebudayaan yang dimasudkan disini adalah konsep kebudayaan yang tidak terjadi pertentangan oleh para ahli, dikarenakan multikulturalisme merupakan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Oleh karena itu kebudayaan harus dulihat dari perfektif fungsinya bagi manusia. (Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).
Dengan pengunaan istilah dan praktek dari multikulturalisme Parehk membedakan lima jenis multikulturalisme; pertama, “multikulturalisme asosianis” yang mengacu pada masyarakat dimana kelompok berbagai kultur menjalankan hidup secara otonom dan menjalankan interaksi minimal satu sama lain. Contohnya adalah masyarakat pada sistem “millet”, mereka menerima keragaman tetapi mereka mempertahankan kebudayaan mereka secara terpisah dari masyarakat lainnya. Kedua, “multikultualisme okomodatif” nyakni masyarakat plural yang memiliki kultura dominan, yang membuat penyesuaian, mengakomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menarapkan undang-undang, hukum dan kekuatan sensitif secara kultural, memberikan kesempatan kepada kaum minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya dan minoritas tidak menentang kultur yang dominan. Multikultural ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis dan beberapa negara Eropa yang lain. Ketiga “multikultural otomatis” masyarakat yang plural dimana kelompok kultura yang utama berusaha mewujudkan kesetaraan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik secara kolektif dan dapat diterima. Contoh dari multikultural ini adalah masyarakat muslim yang berada di Eropa yang menginginkan anaknya untuk memperoleh pendidikan yang setara dan pendidikan anaknya sesuai dengan kebudayaannya. Keempat “multikulturalisme kritikal interaktif” masyarakat yang plural dimana kelompok kultur tidak terlalu concern dalam kehidupan kultur otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perfektif distingtif mereka. Multikultural ini, berlaku di Amerika Serikat dan Inggris perjuangan kulit hitam dalam menuntut kemerdekaan. Kelima “multikultural kosmopolitan”, yang berusaha menghapuskan kultur sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu. Ia secara bebas terlibat dengan eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kultur masing-masing. Para pendukung multikultural ini adalah para intelektual diasporik dan kelompok liberal yang memiliki kecenderungan posmodernism dan memandang kebudayaan sebagai resauorces yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas. (Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya).
Multikulturalisme dalam penerapan dan bagaimana kita cara melaksanakannya. Konsep dan kerangka dalam multikulturalisme di paparkan oleh B. Hari Juliawan dengan membagi multikulturalisme dengan menggunakan empat kerangkanya. Pertama kerangka multikulturalisme berkenaan dengan istilah multikulturalisme itu sendiri. Multikulturalisme menunjukan sikap normatif tentang fakta keragaman. Multikulturalisme memilih keragaman kultur yang diwadahi oleh negara, dengan kelompok etnik yang diterima oleh masyarakat luas dan diakui keunikan etniknya. Kelompok etnik tidak membentul okomodasi politik, tetapi modifikasi lembaga publik dan hak dalam masyarakat agar mengakomodasi keunikannya. Kerangka multikulturalisme kedua, merupakan turunan kerangka yang pertama nyaitu akomodasi kepentingan, dikarenakan jika kita ambil saripati dari multikulturalisme adalah menegemen kepentingan. Kepentingan disini merupakan yang relevan dari konsep multikulturalisme yang terbagi menjadi dua macam kepentingan yang bersifat umum dan khusus. Kepentingan yang bersifat umum pemenuhan yang sama pada setiap orang tanpa membedakan identitas kultur. Sedangkan kepentingan khusus pemenuhan yang terkait dengan aspek khusus kehidupan (surlvival) kelompok yang bersangkutan. Misalkan kelompok masyarakat adat dapat melaksanakan adatnya masing-masing tanpa intimidasi dari pemerintah dan ketuatan kelompok yanga lain. Kerangka multikulturalisme yang ketiga merupakan ideologi politik dengan menjadikan setiap orang atau kelompok minor dapat menyampaikan aspirasi politiknya tanpa terjadinya penindasan dan ancaman. Kerangka keempat berkaitan dengan puncak dan tujuan dari multikulturalisme yang pantas diperjuangkan dikarenaka dibalik itu ada tujuan hidup bersama, dengan pemenuhan hak-hak hidup. Hal tersebut dikarenakan dalam multikulturalisme merupakan penghargaan terhadap perbedaan. (B. Heri Juliawan, Kerangka Multikulturalisme).
Kebijakan multikulturalisme dalam konteks negara plural saling melengkapi satu dengan yang lain dengan power sharing, lebih sekedar distribusi pegakuan simbol-simbol budaya, tetapi pada alokasi kekuasaan, dan kebijakan resmi yang mengakomodir semua kelompok dalam rangka mempertahankan sekurang-kurangnya paraktek kebudayaan yang unik dalam berpartisipasi secara stimulan dalam nilai dan sistem kepercayaan bangsa yang lebih besar. (Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multi Kultural) Kerangka keempat, puncak tujuan dari multikulturalisme hidup bersama sedekat mungkin pada kepenuhan hidup baik. Dikarenakan pada setiap orang ingin hidup baik, baik spiritual dan materialnya. (B. Heri Juliawan, Kerangka Multikulturalisme).
Multikulturalisme dapat berkembang menjadi hiper-multi-kulturalisme. Steve Fuller mengemukakan bentuk hipermultikulturalisme yang perlu dihindari. Pertama, menganggap kebudayaan sendiri yang lebih baik. Pengakuan tehadap kebudayaan sendiri mengarahkan kecintaan pada diri sendiri atau narasisme kebudayaan, jika berlebihan dapat menjadikan kolonialisasi. Kedua, pertentangan antara budaya barat dengan sisa-Barat. Pandangan ini yang dikenal dengan Eropa Sentris dalam melihat kebudayaan lain. Ketiga, pengkuan terhadap berjenis-jenis budaya. Pluralisme budaya penghargaan terhadap budaya ditangapi dikarenakan eksotis, menarik perhatian. Dan kebudayaan yang lain dilihat bukan karena eksotisnya. Keempat, penelitian budaya suatu entitas yang homogen dikuasai oleh laki-laki dan bias gender perempuan. Kelima, mencari “indigeneus culture”. Pemujaan terhadap indigeneus culture hal yang berlebihan dan kerjasama internasional mengandung unsur kebudayaan lain dapat diadopsi sesuai dengan lingkungan kebudayan yang berbeda. Keenam, penduduk asli yang berbicara tentang kebudayaannya. Orang asing tidak berwewenang mempelajari kebudayaan setempat. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).
Dalam multikulturalisme global masih berpegang pada doktrin asimilasi yang satu arah dan logika kebersamaan. Hal ini menjadi tantangan besar terhadap studi multikulturlisme yang selaknya menggali lebih jauh lagi masalah identitas dan perbedaan.(Farah Wardani, Representing Islam). Tilaar juga, mengemukakan tantangan multikultuiralisme, pertama adalah hegemoni barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan ilmu pengetahuan. Negara yang berkembang mengambil langkah-langkah seperlunya untuk mengatasi sehingga sama dengan dunia barat. Kedua, esensialisasi budaya. Multikulturalisme berusaha untuk mencari esensi budaya tanpa jatuh dalam pandangan xenophobia dan ennosentrisme. Multikulturalisme melahirkan tribalisme sampai sehingga merugikan komunitas global. Ketiga adalah proses globalisasi yang berupa monokulturalisme karena gelombang dasyat globalisasi menggiling dan menghancurkan kehidupan bersama budaya tradisional. Masyarakat akan tersapu bersih dan kehilangan akar budayanya sehingga kehilangan akar berpijak terkena arus globalisasi. (H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme).

Muhammad Abdul Halim Sani..kompas.com
 

Fasisme dan Nazi Ketakutan akan Komunisme


13346418961380409881

Kata “fasisme” hampir tidak dikenal di eropa sampai tahun 1920, ketika kata itu diadopsi oleh Benito Mussolini (Italia) sebagai nama untuk gerakan revolusioner barunya fasisme berasal dari bahasa latin fasces yang  berarti (ikatan). Pada tahun 1920 Mussolini mengadopsi dan memberikan nama yang mirip fasci kepada kelompok bersenjata yang dia harapkan akan membawanya kepada kekuasaan(Purcel,Hugh.2000.Fasisme.INSIST press:Yogyakarta.hal 2-3)
Ciri penting semua gerakan fasisme adalah mereka meletakkan negara sebagai pengatur dan pusat seluruh sejarah dan kehidupan serta pada otoritas imamah yang terbagi dari para imam dan pemimpin dimana rakyat sangat tergantung harapan untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, terbebas dari disintegrasi.
Menurut doktrin fasis, negara harus totaliter. Ini berarti negara harus memiliki kekuasaan total diatas semua aspek kehidupan yang setiap anggota-anggotanya. Disana hanya ada satu partai politik yang setiap orang memberikan suara, partai ini adaah pemerintah. Bagi orang-orang fasis, demokrasi sedikit lebih baik dari pada chaos. Mereka percaya bentuk pemerintahan yang mengijinkan warga negaranya memberikan suara seperti yang mereka suka kepada banyak partai mendorong keegoisan dan akan berakhir dalam anarkhi.
Fasis mempercayai bahwa manusia adalah predator (hewan pemangsa buas) atau Gladiator (petarung manusia yang duel/melawan binatang buas dalam masa Romawi kuno) bukan hanya pembenaran mereka untuk mendukung negara yang seluruhnya sangat kuat. Motif mereka adalah penjagaan diri sendiri sebagai kepercayaan arogan bahwa bangsa mereka pantas untuk dominan dan bahwa ras mereka supserior terhadap yang lainnya dan menganggap bangsa lain adalah bangsa yang primitif. Nasionalisme dan rasioalisme merupakan gambaran paling terkuat dari fasisme pada tahun 1930-an.
Nazi Jerman ingin mempersatukan orang-orang Jerman di Austria dan Chekhoslovakia dan memberikan mereka lebensraum (ruang hidup) dengan memberluas ke Eropa Timur. Fasis Italia ingin menghidupkan kembali dominasi latin kuna atas partai Mediteranian. Bagaimanapun, Hitler bercita-cita menjadi artis dan Mussolini menjadi jurnalis.
Mussolini pernah berkata “fasisme bukan hanya partai, ia adalah rezim; ia bukan hanya suatu rezim tetapi kepercayaan; ia bukan hanya sebuah kepercayaan tetapi agama”. Pemimpin fasis antara tahun 1920-1945 adalah diktator. Dua orang yang mencapai kekuasaan penuh, Mussolini dan Hitler menggunakan mesin demokratik dari pemilihan dan tawar menawar politik. Untuk mencapai itu, tetapi sekali lagi mereka mengambil alih pemerintah mereka dengan cara mengonsentrasikan seluruh kekuasaan di tangan mereka. Kata-kata mereka adalah hukum; kekuasaan mereka tidak diperiksa oleh kabinet, parlemen atau pemilihan umum.Ajaran ini terilhami kekuasaan Monarki Absolut Raja (pemimpin kekuasaan) yang dimana pemimpin memiliki kekusaan penuh terhadap hukum yang dibuatnya.
Fasis mempercayai bahwa negara yang kuat memerlukan diktator pada para pimpinannya. Sebenarnya, pemimpin fasis tidak suka disebut diktator. Mereka lebih suka istilah lain seperti (“fuehrer”, “duce”, atau “caudillo”) yang berarti sama.
Pada basis sejarah faisme di Jerman dan Italia merebut kekuasaan karena mereka bersikap sebagai pembela negara, pemenang hukum dan tata tertib, melawan ancaman komunis.

Latar Belakang Terjadinya Fasisme
Fasisme mulai ketika Perang Dunia I dan berakhir pada tahun 1918. perang menyebarkan benihnya ditanah Italia dan Jerman. Tanpa Mussolini dan Hitler benih-benih ini tidak akan tumbuh di dalam tatanan fasisme, berkat merekalah fasisme hidup.

Kekuatan Nasionalisme
Benih pertama adalah nasionalisme. Jerman merasa bahwa negara mereka dipermalukan oleh kekalahan mereka terutama dalan perjanjian versailles yang ditandatanganinya. Jerman dipaksa untuk menyerahkan teritori, khususnya ke Polandia dan Austria tentara dikurangi menjadi 100.000 orang walaupun ini muncul dari perang kehormatan. Jerman sangat marah karena tuduhan bahwa mereka adalah penyebab dari perang dan juga yang kalah.Ini sudah jadi hukum perang dimana pihak yang  kalah harus membayar kerugian perang.karena pada waktu perang Dunia 1 bangsa Jerman atau sering disebut “Panser’ kalah melawan Austria dan para sekutu.
Bangsa Italia mempunyai dendam serupa yang mendalam. Walaupun mereka bergabung dalam perang pada aliansi yang menang pada tahun 1915, mereka ditipu akan hasil kemenangan. Mereka kehilangan setengah juta laki-laki, dengan hampir satu juta lainnya terluka dan sebagai gantinya konferensi perdamaian versilles.
Pada kedua negara ini, orang-orang mantan dinas militer menggabungkan diri dalam asosiasi, sebagian untuk menjaga semangat perkawanan dan patriotisme selama perang, sebagian untuk balas dendam atas kekalahan. Keduanya punya kebiasaan mengganggu para politisi, yang disalahkan atas penghinaan negara mereka, mereka memukul habis-habisan sosial dan komunis yang dituduh mencoba menggulingkan pemerintah(www.yahoo.com)

Kegagalan Ekonomi
Benih kedua tumbuhnya fasisme adalah kemiskinan. Ketika banyak rakyat Jerman dan Italia merasakan rasa penghinaan nasional, banyak yang lebih merasakan penghinaan pribadi disebabkan oleh pengangguran dan kehilangan uang akibat perang Dunia 1.
Antara tahun 1918 dan 1923 kedua negara menderita bencana ekonomi. Setiap negara mengakhiri perang dalam hutang, kecuali AS. Kemiskinan di Italia membuat hutang ini dalam jumlah yang sangat besar. Pada tahun yang sama biaya hidup lebih tinggi, ratusan ribu rakyat Italia tak ada pekerjaan.
Kemiskinan di Jerman merupakan harga kekalahan untuk pembuat perdamaian di versailles mengatur bahwa Jerman harus membayar perbaikan-perbaikan suku rekening untuk kerugian-kerugian pemenang.

Frustasi akan Demokrasi
Pada pertengahan kekalahan dan depresi demokrasi berjuang untuk tetap hidup. Kekecewaan dengan demokrasi merupakan benih ketiga yang disebarkan oleh perang. Di kedua negara pemerintah disalahkan akibat perang. Di Italia parlemen yang dipilih secara demokratik menentang masuknya Italia ke dalam perang. Raja dan kabinet telah menolak itu. Langkah pertama Mussolini ke fasisme adalah kebencian akan politik dan korupsi di dalam pemerintahaan Italia.
Di Jerman istilah penyerahan dari friendensdiktat (perdamaian yang diperitah) versailles telah ditandatangani oleh pemerintah republik yang baru dibentuk setelah kaisar melarikan diri.
Bahkan tanpa korupsi dan stigma kiri oleh perang, sistem demokrasi di Italia dan Jerman sulit untuk bertahan hidup. Di kedua negara itu pemeritahan begitu lemah sehingga lembaga yang sangat kuat didalam negara seperti tentara dan pengadilan berada di luar kontrol mereka.

Ketakutan akan komunisme
Pada tahun-tahun segera sesudah tahun 1918 muncul kemungkinan besar bahwa demokrasi di Italia dan Jerman akan diakhiri oleh komunisme dari para fasisme. Perang telah menggulingkan tahta keluarga kerajaan yang berkuasa di Eropa dan melemparkan struktur politik dan sosial benua ke dalam tempat yang berlumpur.
Di Jerman pada tahun 1919 kelompok komunis, spartakis, hampir mengambil alih Berlin dan pada tahun yang sama republik Soviet sebenarnya berdiri di Munich untuk beberapa minggu. Di Italia, pada tahun 1920, komunis menduduki pabrik-pabrik di Turin dan Milan.
Bagi berjuta-juta orang Italia dan Jerman yang menginginkan hanya ketertiban dan stabilitas, tahun-tahun setelah Perang Dunia I merupakan tahun-tahun penghinaan nasional, kesengsaraan ekonomi, kekecewaan terhadap demokrasi dan ketakutan akan komunisme.
Naiknya Mussolini
Benitto Mussolini dilahirkan pada tanggal 29 Juli 1883. Ayahnya merupakan pandai besi yang miskin yang mewariskan kepada putranya 3 minat utama: politik revolusioner, minum dan wanita(www.weikemedia.com).
Pada dasarnya Mussolini adalah apa yang orang-orang Italia panggil Condottiere, yang berarti petualang, laki-laki di tindakan yang bergairah oleh ide-ide baru(www.google.com)
Pola hidup Mussolini berpura-pura mencegah revolusi oleh komunis sementara, dalam pernyataannya ia sedang mempercepat revolusi oleh fasis. Dengan masyarakat Italia di belakang sekarang ia memahami gerakan kekerasannya sendiri oleh kekuasaan. Taktik yang paling jelas dari semuanya adalah dengan sederhana menciptakan ketidaktertiban dan hingga mendiskreditkan pemerintahan demokratik bahkan lebih jelas.
Pada musim gugur 1922 Musslini merasa cukup kuat untuk mengintimidasi pusat pemerintahan sendiri. Ia memerintahkan fasisnya untuk berbasis di Roma. Ini berarti bahwa Mussolini di tawarkan pos Perdana Menteri dalam kondisi pemerintahan. Ketika Mussolini mendengar berita ini, ia pergi ke Roma dan menyambut kaki fasisnya yang lebih dengan berita bahwa mereka telah menang.

Kenaikan Hitler
Adolf Hitler yang dilahirkan di Braunau, Austria pada 20 April 1889 memang terkenal sebagai seorang orator, jago pidato (www.google.com). Betapa pun dianggap bertanggung jawab atas kematian puluhan juta jiwa semasa perang dunia II (ke banyakan bangsa Yahudi), Adolf Hitler akan tetap di catat sebagai penentu sejarah dunia, membawa Jerman keluar dari cengkraman sekutu dan bangkit menjadi penguasa Eropa.Ia menganggap bangsa Jerman (Ras Arya) merupakan bangsa yang mulia (agung) sedangkan bangsa lain dia anggap bangsa Barbar (bangsa primitif) khusus bangsa Yahudi .Tak heran jika banyak ahli sejarah politik, bahkan kejiwaan, lalu tertarik membedah profil Hitler secara mendalam. Nazi, partai berpengaruh yang ia pimpin, serta The Third Reich, visi masa depan Jerman yang ia perjuangkan, memang merupakan fenomena tersendiri. Begitu pula dengan angkatan perang Jerman yang merangsek begitu cepat ke negara-negara sekitar Jerman (Angkasa,2006,kedigdayaan Nazi Jerman (1933-1945) )
Berbagai penilaian di berikan oleh pengamat sejawat dan orang-orang yang pernah ada di dalam lingkarannya ada yang menyebutnya sebagai nasionalis sejati, orator yang sanggup mempengaruhi orang, penjahat perang yang sadis, psikopat,seorang diktator yang kejam,Tetapi ada pula yang menyebutnya sebagai pemimpin agung serta pemimpin yang lembut dan lemah yang kebapakan.Sampai-sampai para pengikutnya rela mati misalnya pada waktu hancurnya pemerintahanya yang wilayah Jerman di kuasai oleh Uni Soviet para pendukung setia meminum racun (bunuh diri) .
Apapun itu keputusannya untuk bunuh diri di ujung keambrukan Jerman Nazi harus dianggap sebagai akhir dari sebuah kisah besar yang ironis sekaligus tragis. Ia berhasil membawa keluar rakyatnya yang tengah di dera depresi ekonomi hebat, mampu membangun angkatan perang hingga terdigdaya di Eropa, namun justru memilih mengakhiri hidupnya dengan menelan racun dan menembakkan pistol ke mulut. Bersama istrinya, Eva Braun, ia bunuh diri di bunker bawah kota Berlin pada 30 April 1945, ia menyatakan merasa terhormat mati bunuh diri ketimbang menyerah kepada tentara Rusia atau dihadapkan ke Pengadilan Perang. Yang begitu luar biasa, ambisi menguasai Eropa tak pernah padam hingga ia memutuskan bunuh diri.Tapi jasad Hitler gak ada yang menemukan.Ini yang menjadi persoalan,apakah Hitler mati bunuh diri ?atau memang di bunuh. 

Pengaruh Fasisme Terhadap PD II
Eropa antara tahun 1933 sampai 1945, masa itu praktis tak ada kejadian fenomenal selain kemunculan fasisme dan geliat kehebatan NAZI. Dibawah kepemimpinan Adolf Hitler yang hanya mantan kopral, ajaran ini nyaris menguasai kontinen Eropa lewat gebrakan Reich ketiga. Sekutu bahkan harus berhitung sepuluh kali menghadapinya, mengingat angkatan perang yang dikendalikan begitu kuat dan mampu menggilas Austria, Polandai, Cekonslovakia dan Uni Soviet ( Rusia) dengan cepat.
Fasisme bersama Hitler dan Mussloini, Jerman dan Italia memang seperti dilahirkan kembali. Mereka telah dikalahkan dalam Perang Dunia I, namun “penghinaan” yang tercantum dalam perjanjian versailles 1919 telah membangkitkan semangat untuk kembali menguasai Eropa. Bersama Jepang dan Italia, Jerman bahkan nyaris memimpin dunia kalau bom atom yang mereka rancang lebih dulu selesai dari bom atom AS. Daya tariknya terpancar dari kehebatan organisasi kesatuan para militernya, angkatan perang, serta kecemerlangan ilmuannya sebagai salah satu bagian sejarah dunia yang cukup menonjol.
Perang yang digelar Jerman tak hanya meliputi kawasan Eropa saja tapi mencakup kawasan Afrika. Khusunya Afrika Utara. Pertempuran yang  berkecamuk di Afrika memang tidak dimulai oleh jerman melainkan oleh tentara Italia dibawah komando diktator Benitto Mussolini. Sebelum memulai perang di Afrika, yaitu menyerbu Mesir. Mussolini merupakan sahabat baik Hitler. Akan tetapi keduanya diam-diam saling unjuk gengsi. Ketika Hitler memutuskan menyerbu Rusia, Mussolini ternyata tak mau kalah. Ia juga memutuskan menyerbu Mesir.

Rencana Jepang untuk Asia
Jepang tentu saja mempunyai gambaran fasis. Kekuatan diktator dipegang oleh tentara atas nama kaisar. Di Jepang kekuasaan politik kepunyaan petugas tentara muda dari latar belakang sederhana (seperti Hitler dan Mussolini) yang mencela “aliansi korupsi” antara partai politik dan para kapitalis dan menyerukan revolusi “sosialis nasional”. Jadi, ketika memuliakan masa lalu nasional mereka yang dilambangkan dengan kerajaan, mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai elit modern yang menyebabkan revolusi sosial dan ekonomi.
Mereka percaya bahwa negara berharga untuk segala hal, individu boleh dikatakan tidak ada artinya, mereka percaya pada kebijakan luar negeri yang agresif untuk mencapai autarki dan “ruang hidup”. Ambisi mereka adalah menaklukkan Asia Timur dan membentuk “Asia Timur yang hebat” diperintah oleh Jepang. Di bawah Jepang ekstremis tentara terbatas kesuksesannya, sebenarnya kekuasaan mereka mulai menurun pada pertengahan 1930-an, tapi di Asia Timur, Jepang dari tahun 1931 maju menuju kerajaan yang sangat besar.

Rencana Nazi untuk Eropa
Perang di Eropa bukanlah perang benar-benar melawan fasisme, ini pada dasarnya melawan Nazisme dan khususnya perang melawan Hitler. Pada waktu itu, betapapun banyak fasis menyadari bahwa Nazi berjuang dalam perang bukan sebagai perang salib fasis tetapi untuk ambisi nasionalis dan rasialis Hitler.
Agresi diplomatik Hitler sampai permulaan Perang Dunia II pada 1939 didukung oleh fasis Eropa. Mereka menganggap itu nasionalisme gaya lama yang baik. Pencaplokan kekuatan Jerman akan Austria dan Sudentenland daerah Cechoslovakia pada 1938, penyerbuan militer Jerman akan Polandia pada tahun 1939 dilihat hanya sebagai balas dendam untuk perjanjian versailles dan sebagai usaha yang patut di puji untuk menyatukan kembali Reich Jerman.
Selama perang berkembang tetapi fasis Eropa menemukan bahwa tidak ada tempat yang nyata bagi gerakan mereka dalam orde baru Hitler untuknya. Itu adalah rencana realis Hitler untuk Eropa Timur yang menakutkan. Sebagian besar fasis, seperti yang ia jelaskan dalam Meinkampt, Hitler percaya bahwa ras superior Arya membasmi atau mengikuti sebagai budak yahudi dan slav yang lebih rendah supaya tegas dalam tempat kerajaan “Arya” diperintah semata-mata dalam kepentingan akan ras jagoan       

sumber : http://sejarah.kompasiana.com
 

Kita Masih Rasis? dalam kehidupan sehari-hari

Perlakuan bernada ejekan rasis adalah suatu hal yang sangat dibenci dalam kehidupan manusia yang beradab, sehingga selalu mendapat penolakan dari setiap ajaran agama maupun teori ilmu sosial.
Menurut Wikipedia rasisme memiliki arti suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu, bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Sedangkan menurut Kamus Besar bahasa Indonesia rasisme diartikan sebagai paham atau golongan yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) dalam masyarakat. Rasisme juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras (SARA), golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu.
Salahsatu contoh paling nyata dari tindakan rasis adalah politik apartheid di Afrika Selatan, yaitu kebijakan yang menyangkut pelayanan penduduk dengan mengutamakan golongan kulit putih dan menindas golongan kulit hitam.
Meski kebijakan politik apartheid tersebut telah musnah di Afrika Selatan beberapa tahun lalu, seiring dengan perkembangan menuju kehidupan yang senantiasa berlandaskan Hak Asasi Manusia di Negara paling ujung selatan benua Afrika itu, namun tidak di dunia sepakbola. Rasis masih merupakan virus yang susah diberantas. FIFA sampai mengkampanyekan slogan “Say No To Racism” disetiap awal pertandingan turnamen internasional maupun eksibisi.
Contoh paling anyar adalah kasus yang menimpa Luis Suarez dan Patrice Evra, terlepas dari unsur ketegangan yang melanda pertandingan besar antara Liverpool dan Manchester United, serta provokasi dari pihak-pihak lainnya. Sikap Luis Suarez yang mengatakan sesuatu hal yang berbau rasis tentu merupakan hal yang sangat disayangkan, terlebih bagi pemain kelas dunia seperti Suarez. Mundur beberapa tahun sebelumnya, kita mengenal nama Sinisa Mihajlovic sebagai pemain sepakbola yang sering mendapat sanksi akibat tindakan rasisnya, terlebih lagi Miha bermain di Lazio yang suporter ultrasnya terkenal paling rasis di Italia.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia ? apakah rasis itu ada dalam kehidupan sehari-hari ? Tanpa kita sadari, masih ada sebagian masyarakat di Negara kita yang berperilaku rasis, meskipun tindakan rasis yang ditujukan bukan pada warna kulitnya, namun lebih kepada penghinaan terhadap daerah asal, silsilah, nama maupun status sosial.
Contoh paling sahih adalah kata “kampungan” yang sering kita dengar di sinetron televisi. Kata kampungan disini berarti penghinaan terhadap orang desa, dan dianggap tidak memiliki norma kehidupan standar perkotaan. Sebagai orang yang lahir, tumbuh, besar, dan mencari penghidupan di desa tentu saya sangat miris dan tersayat hatinya bila mendengar kata tersebut disebutkan dalam adegan sinetron. Walaupun itu hanya adegan dalam sebuah sinetron tapi pengaruh kata “kampungan” yang ditimbulkan televisi sangat luas dan bisa mempengaruhi perkembangan anak khususnya anak di pedesaan. Mereka akan berada dalam situasi minder dan tidak memiliki kepercayaan diri sehingga ‘nrimo’ saja dengan keadaan dan cap kampungan yang sudah terlanjur melekat seperti dalam adegan sinetron. Pengaruh buruk juga bisa terjadi untuk anak di perkotaan, bagaimana mereka tidak akan memiliki kepekaan terhadap sesama dan lingkungan sekitarnya karena beranggapan lebih superior dibandingkan dengan anak di pedesaan. Tentu akan seperti apa generasi mereka ketika telah dewasa.
Negara kita diproklamirkan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan orang kampung atau kota. Pada masa itu semangat kebangsaan dan rasa ingin merdeka dari penjajahan begitu kuat tertanam dalam jiwa masyarakatnya. Tapi perlahan tapi pasti, Negara kita telah berada dalam titik jurang kematian budayanya, bagaimana pada akhirnya kita menerima segala sesuatu yang berasal dari Barat adalah semuanya baik dan merupakan standar hidup manusia modern tanpa kita menyaringnya dulu agar sesuai dengan kebutuhan kita. Kita seperti lupa kepada purwadaksi, dan hanya akan bereaksi ketika ada nilai budaya yang diakui oleh Negara lain tanpa merenung mengapa nilai budaya itu dicuri.
 

Masa Mahasiswa, Masa Awal Mengenal Korupsi?


13620097321359723202
Ilustrasi (Dok. issacademy)

Masa Muda memang masa dimana ada semangat yang menggebu untuk berusaha, namun di sisi lain juga masa ini akan menjadi kurang berguna jika dipakai untuk aktivitas yang kurang bermanfa’at dalam perjalanan hidup kita.

Korupsi menjadi hal yang cukup popular saat ini dan layaknya sudah sering kita mendengar berita tentang hal ini mulai dari yang kecil hingga yang nilainya besar. Pembelajalan korupsi memang sudah dimulai dari masa pemebelajaran anak-anak, namun masa yang bias dibilang kontribusi pengenalan akan korupsi dan sistem politik adalah masa Mahasiswa.

Kenapa mahasiswa?

Pernah atau mungkin seringkah anda mendengar bahwa banyak sekali demontrasi tentang hukum dan korupsi yang dilakukan Mahasiwa? Ya, hampir bisa dipastikan sebagian dari kita menggunakan masa muda saat jadi Mahasiwa dengan aktivitas ini. Karena di masa ini kita akan lebih banyak mengenal golongan atau grup Mahasiswa dengan berbagai doktrinnya yang bias juga disebut OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda).

1362009840966711926
Demo Mahasiswa (Dok. Akumassa)

Saat Mahasiswa sebagian kita mungkin akan mengenal namanya BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang kadang juga disandingkan dengan MPM (Majelis Pertimbangan Mahasiswa), kalau tentang nama mungkin setiap Perguruan Tinggi ada yang berbeda namun juga sama. Mahasiswa juga punya Presiden dalam Badan Eksekutif Mahasiswa ini, seolah –olah seperti Politik Negara maka sistem Politik di kampus ini juga menggunakan proses dalam memilih Presiden atau wakil Mahasiswa di MPM serta Himpunan Mahasiswa dalam tataran Jurusan yang umunya disebut HMJ atau Hima.

Proses Politik kampus dalam memilih wakil mereka di BEM, MPM atau HMJ/Hima inilah terkadang ada proses transaksi korupsi yang jadi pembelajaran bagi sebagian Mahasiswa. Proses Pemilihan terkadang berbeda tiap perguruan Tinggi, sebagian meniru hamper sama dengan proses Pemilihan Presiden Negara dengan menggunakan Sistem kepartaian. Dari Partai-partai inilah akan terlihat bagaimana sekat antar Mahasiswa yang sebelumnya dengan doktrin dan warna baju besar OKP sudah mengalami perbedaan maka dengan Adanya Partai terlihat OKP mana yang memiliki peran besar dan pengaruh dalam sebuah Partai, jika anggota OKP cukup banyak tentunya sebuah partai tak memerlukan bantuan koalisi dengan OKP lainnya. Hal ini hampir sama dengan yang terjadi di Politik negeri ini, sebagian partai Politik justru muncul dari Ormas atau Organisasi Masyarakat seperti Nasdem; jadi perlu dilihat lebih dalam kiprah Ormas yang proses lounching-nya terkadang terkesan terlalu besar bias jadi berubah menjadi ideology kepartaian.

Dalam proses Pemilu raya Mahasiswa, mungkin bisa ditemukan adanya kampanye hitam (black campaign) dan berbagai hal lain yang memang sebagian mahasiswa mengetahui itu salah namun dengan berbagai cara untuk menang hal itu dilakukan. Tak samapai disitu, saat sudah terpilih pun jika sebuah OKP memiliki banyak anggota atau dalam istilahnya menguasai sebuah Perguruan Tinggi maka proses pengamatan korupsi setelah terpilih jadi sedikit berkurang karena sesama OKP. Proses pengenalan korupsi ini ditunjang lagi dengan mungkin sebagian “pejabat” mereka di Badan mahasiswa melakukan korupsi seperti penggelembungan dana bahkan penggunaan dana kampus untuk keperluan pribadi dengan tidak sah.

Proses yang kurang baik ini terkadang sampai pada masa akhir yakni tanpa adanya Laporan Pertanggung Jawaban yang jelas, hal ini pernah saya temui di salah satu perguruan Tinggi yang Presiden BEM-nya kabur tak mau melakukan Pertangung Jawaban. Padahal sebelum menjadi Presiden BEM ia dikenal sangat aktif dalam bersuara.

1362009910113834876
ilustrasi (Dok. Solehin-Bakrie)

Apa yang terjadi?

Apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? Proses Politik kampus merupakan pembelajaran awal bagi generasi  muda negeri ini yang beruntung bias menimba ilmu di Perguruan Tinggi untuk mengenal sistem politik serta menjauhi tawaran yang menggiurkan untuk korupsi.

Mungkin karena inilah sebagian orang antipasti terhadap yang namanya politik termasuk para generasi muda. Karena segala hal yang di Politik digambarkan sebagian generasi muda kita adalah sebuah intrik yang kurang baik yang cenderung sebagai pembelajaran menjadi koruptor.

Semoga Generasi Muda negeri ini bukan hanya suka memprotes atau melakukan demontrasi ke Pemerintah namun juga segera melakukan perbaikan diri jika merasa akan melakukan hal yang kurang baik…

sumber :[SH] :www.kompas.com
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faqih Muhammad - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger