SECARA pribadi, saya tak punya kepedulian yang mendalam atas
merebaknya ustadz-ustadz di televisi kita akhir-akhir ini. Apalagi saya
memang telah meninggalkan aktivitas menonton televisi selama dua tahun.
Saya mengakses berita maupun informasi—termasuk informasi
keagamaan–tidak dari televisi, melainkan hanya dari sumber media online.
Itu pun informasi yang menurut saya perlu dan penting dibaca, agar
tidak jadi sampah pikiran. Sejak kecil, saya selalu diajari oleh orang
tua dan lingkungan desa saya, bahwa untuk menjalankan ajaran agama
secara baik dan utuh—dimana dibutuhkan pengetahuan agama di
dalamnya–orang harus menuntut ilmu secara mendalam dan bertahap di
madrasah-madrasah maupun pondok pesantren. Itulah dua pranata Islam
tradisional yang saya ikuti sejak kecil hingga dewasa, selain sekolah
formal (SD, SMP, SLTA) layaknya anak usia sebaya saya.
Namun ada satu hal yang selalu saya ingat, seorang santri di
pesantren tidak hanya diajari materi-materi pengetahuan keagamaan saja.
Lebih dari itu, ia mendapatkan pendidikan moral yang termanifestasi
dalam akhlak dan dipertajam lagi dengan laku dan spiritual (riyadhoh dalam bahasa pesantrennya), seperti praktik sholat malam hari yang dilanjutkan dengan mujahadah
(dzikir malam), sholawat berjamaah, puasa, dan aktivitas spiritual
lainnya. Bagi orang pesantren, penguasaan materi ataupun kepandaian
adalah sekunder, sedangkan faedah ilmu adalah yang utama–apa guna pandai
jika tak punya akhlak? Apa guna ilmu yang berlimpah jika tak
bermanfaat? Singkatnya, ilmu harus memberi barokah (berkah).
Khususnya dalam soal kegamaan, setahu saya, masyarakat desa sangat
tergantung sekali pada pranata-pranata keagamaan seperti madrasah dan
pondok pesantren, ataupun pada figur dari dua pranata tersebut, misalnya
guru madrasah atau kyai pesantren. Untuk mendapat informasi atau
pengetahuan/ilmu Islam, orang harus rela menyisihkan waktunya untuk mondok,
menuntut ilmu atau minimal bertandang ke rumah para guru dan kiyai—yang
memang telah menempuh pendidikan keagamaan yang lama—untuk menanyakan
problem-problem keagamaan. Tentunya, tidak semua golongan masyarakat
dapat mengecap pendidikan pesantren secara cukup, meski pada umumnya
mereka telah mendapatkan pendidikan dasar keagamaan (biasanya pendidikan
baca tulis Al-Quran dan kitab fikih dan akidah dasar) di
madrasah-madrasah dasar (madrasah pendahuluan sebelum masuk pondok
pesantren) juga surau/masjid sebagai arena dimana kewajiban dan prinsip
agama dalam menjalani kehidupan dipraktikkan.
Karena keterbatasan ini, mereka sangat sadar bahwa mereka sangat
bergantung pada ulama (kyai) dan guru madrasah setempat. Guru dan kyai
dianggap sebagai otoritas mulia yang harus dihormati, dimuliakan, dan
(kalau perlu) dimintai berkah. Bagi masyarakat desa, gelar kyai bukan
semata-mata bersumber dari penguasaan agama secara mendalam, melainkan
juga dikaitkan dengan pencapaian spiritualitas tinggi yang dengan
sendirinya dapat menebarkan berkah. Dalam konteks seperti inilah pranata
sosial-keagamaan (tradisional) tersebut berfungsi.
Semenjak Reformasi khususnya, otoritas tradisional ini mulai
dipertanyakan, atau minimal berkurang fungsinya dalam masyarakat kita
yang telah memasuki gelombang industrialisasi dan modernisasi.
Pergeseran ini juga ditandai dengan berubahnya persepsi masyarakat
tentang pendidikan serta struktur dan sistem pendidikan itu sendiri.
Masyarakat kita memilih menyekolahkan anaknya di pendidikan-pendidikan
formal-modern, yang memberi bekal siswa untuk mengantarkan kehidupan
dunia yang lebih baik. Selain itu, dengan semakin bertambahnya beban
materi di sekolah formal yang membuat mereka pulang semakin sore, para
murid pun semakin berjarak dari lembaga-lembaga keagamaan tradisional
seperti masjid, madrasah, dan pondok pesantren, atau bahkan dari
masyarakat yang ada di sekitarnya. Secara praktis, murid-murid ini
semakin minim pengetahuan keagamaannya, yang semata mereka dapatkan dari
pelajaran agama yang terbatas di sekolah formal. Hal ini belum
menyangkut pendidikan akhlak yang termuat dalam pelajaran agama tersebut
yang membutuhkan contoh-contoh manusia ‘hidup’ yang menjalankannya.
Namun seiring minimnya pengajaran agama, revolusi
teknologi-informasi—terutama internet—sangat mempengaruhi cara kita
mendapatkan pengetahuan. Inilah fakta awal ketercerabutan siswa-siswi
kita dari masjid, madrasah, dan pondok pesantren. Kuntowijoyo menyebut
fenomena ini sebagai ‘Islam tanpa Masjid,’ karena pengetahuan agama yang
mereka dapat tidak lahir dari masjid, madrasah, ataupun pondok
pesantren, melainkan dari informasi yang tersedia di sekolah-sekolah, newsletter, media islam komersil, baik yang cetak maupun online.
Perkembangan masyarakat yang demikian memaksa murid tidak lagi
terhubung dengan pranata sosial-keagamaan tradisional. Rumusannya sangat
sederhana: semakin aktif seorang murid dalam kegiatan sekolahnya,
semakin minim interaksinya dengan masjid, pondok pesantren, maupun
kegiatan dalam masyarakatnya. Pendeknya, siswa-siswi ini adalah
generasi—meminjam analogi Kuntowijoyo—‘muslim tanpa pesantren.’
Ustadz dan pranata keagamaan modern
Semenjak era Reformasi, kata ustadz menjadi satu kata yang populer dalam keseharian. Televisi menjadi penyebab utama kepopuleran itu. Setiap penceramah/ da’i di televisi dijuluki sebagai ustadz. Di masyarakat pedesaan khususnya, kata ustadz
tidak terlalu populer. Mereka terbiasa memanggil para ulama dengan
sebutan Kyai, Ajengan, atau tuan Guru. Kalaupun mereka mengenal kata ustadz—yang
jarang disebut—kata itu disematkan kepada guru madrasah ataupun para
pengajar (biasanya santri senior) yang membantu kyai mengajar dalam
tradisi pondok pesantren. Istilah ini pun mencerminkan makna harfiahnya
(ustadz: guru, lawannya tilmidz: murid). Pada saat bersamaan, di pesantren, ada yang dinamakan dewan asatidz (bentuk kata jamak dari ustadz),
yang arti harfiahnya adalah dewan/perkumpulan para guru di pesantren
atau madrasah. Itupun hanya tertulis pada papan pengumuman dan sangat
jarang digunakan sebagai sebutan dalam panggilan sehari-hari.
Dalam pembacaan saya, fenomena pengajian dan ustadz adalah respon
masyarakat perkotaan khususnya—atau mungkin juga desa—yang memang telah
tercerabut dengan institusi pendidikan keagamaan tradisionalnya. Ia
lahir untuk memenuhi kebutuhan dan kegairahan baru atas agama Islam,
atau katakanlah spiritualitas Islam, yang dirasa semakin sulit ditemui
dalam lingkungan perkotaan yang telah sepenuhnya termodernisasi—atau
lebih tepatnya tersekulerisasi, dalam pengertian fundamental-ontologis
kata tersebut. Masih segar dalam ingatan kita munculnya ‘kelahiran Islam
baru’ tahun 80-90-an (new Islamic born) dan semakin mencolok di tahun 2000-an, dengan tumbuh suburnya halaqah atau liqa’ keagamaan
di kampus-kampus umum di Indonesia. Menjamurnya pakaian jilbab/hijab,
maraknya sholat berjamaah di kantor-kantor perusahaan swasta, suburnya
sinetron-sinetron maupun pengajian keagamaan dalam tayangan televisi di
luar perayaan hari-hari besar keagamaan, serta semakin jamaknya kita
temui pemuda ataupun mahasiswa yang memanjangkan jenggotnya, merupakan
contoh yang lebih luas. Jika kita mau jujur, yang memeriahkan kegiatan liqa’, halaqah,
maupun kajian keislaman di universitas-universitas umum dulu adalah
generasi siswa-siswi sekolah umum formal yang waktunya dihabiskan untuk
aktivitas sekolah mereka hingga larut sore.
Oleh karena itu, sebanarnnya ‘profesi’ ustadz dan pengajian
merupakan institusi modern yang diciptakan oleh masyarakat perkotaan
yang memang sedang—entah kenapa (saya tidak tahu)—mulai bergairah
mendalami dan menghayati agamanya.
Fenomena ini bukannya sama sekali tanpa preseden. Sejak dulu hingga sekarang, di masyarakat pedesaan, kata pengajian dibedakan dengan kata ngaji dalam
bahasa jawa, mungkin juga bahasa daerah yang berdekatan. Dulu, ngaji
adalah aktivitas rutin siswa-siswi madrasah informal (biasanya dilakukan
sore hari) atau pondok pesantren yang menjadi tempat pengkajian
keilmuan melalui kitab-kitab sumber yang dianggap otoritatif, selain
kitab tafsir dan hadist —umumnya kitab-kitab imam madzhab fikih,
tauhid, Akhlak (tasawuf), termasuk yang ditulis oleh para murid dari
penafsir imam madzhab tersebut. Sesekali masjid, madrasah, dan pondok
pesantren mengadakan pengajian (ceramah agama umum) yang mendatangkan muballigh atau da’i
dari luar atau dalam daerah untuk memperingati perayaan akhir tahun
ajaran pondok, perayaan hari-hari besar Islam, juga perayaan-perayaan
yang digelar keluarga.
Dalam pemahaman mereka, pengajian bersifat sekunder dan sementara,
karena pendalaman keIslaman yang sesungguhnya telah mereka dapat di
bangku madrasah dan pondok pesantren sebagai aktivitas harian. Mereka
sangat sadar bahwa ilmu keagamaan, apalagi penghayatannya, merupakan hal
agung dan tidak boleh didapat secara instan atau sambil-lalu. Meski
tidak sepenuhnya bisa menjalani masa-masa pondok pesantren dan madrasah
secara cukup, namun mereka merupakan masyarakat yang mengidealkan sistem
tersebut dan oleh karenanya, sangat mengagungkan petuah-petuah/nasihat
dari para kyai dan guru madrasah setempat (sami’na wa atho’na).
Sebagai pranata modern, ustadz , majelis taklim, halaqah,
kajian keagamaan, dan pengajian, merupakan salah satu wujud institusi
(-onalisasi) pendidikan agama secara populer, terutama bagi masyarakat
kota yang sebagian kebiasaannya sudah menjalar ke pedesaan. Meskipun
sebagai sistem, ia relatif masih muda dan masih perlu dikembangkan
secara terpadu layaknya madrasah dan pondok pesantren. Oleh karena
sistemnya yang relatif masih instan dan hanya memenuhi kebutuhan
temporer di sela-sela rutinitas hidup perkotaan, kegiatan-kegiatan ini
bagi para siswa maupun santri madrasah atupun pondok pesantren dianggap
sebagai hal yang minor dan dipandang sebelah mata. Kegiatan-kegiatan ini
juga dianggap hanya menghasilkan kader-kader muslim berpengetahuan
instan, setengah-setengah, dan—karena lahir dari tradisi keilmuan yang
berbeda—berbeda corak penghayatan keagamaannya. Namun, harus dicatat
pula bahwa saat ini telah muncul institusi keagamaan—layaknya madrasah
kegamaan—seperti SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), yang saya duga,
muncul dan merupakan kelanjutan dari halaqah, kajian keagamaan, maupun liqa’ yang telah membentuk lembaganya dengan lebih terpadu dan sistematis. Nah, ustadz kiranya merupakan istilah yang lahir dalam lingkungan atmosfer perkotaan seperti ini.
Satu hal lagi yang juga harus dipertimbangkan bahwa medialah—cetak, elektronik, maupun online—yang ikut menentukan siapa yang disebut ustadz dan siapa yang bukan. Siapapun yang menyampaikan pengajian atau tausiyah
(kata ini dalam keseharian tidak popular di pesantren) di televisi,
akan dianggap ustadz. Pemahamannya tentang agama Islam, atau
ukuran-ukuran yang ditentukan ‘Islam tradisional’ (apakah pendidikan
Islam sang ‘ustadz’ dirasa cukup untuk menyampaikan materi dakwah?) jadi
tidak penting lagi.
Oleh karenanya, sangat mungkin pasar ‘profesi’ ustadz diramaikan oleh
calon da’i otodidak yang sumber keilmuannya didapat dari buku-buku
Islam berbahasa Indonesia. Dalam dunia industri media (baca:
komersialisasi budaya pop) hukum pasar adalah norma tertingginya.
Asalkan sang ustadz bisa menyampaikan dakwah secara menarik dan
menghibur, ia akan diterima pasar. Apakah ia benar-benar paham pesannya
sendiri, tak jadi soal. Oleh karenanya, istilah ustadz selebriti, ustad gaul, bahkan ustadz cinta
kian tak terelakkan. Dengan sendirinya, media menjelma pasar yang
menggiurkan bagi banyak calon da’i untuk berlomba-lomba menjadi ustadz,
karena keuntungan material-duniawi yang dijanjikan maupun popularitas
yang ia dapatkan. Profesi ustadz dengan sendirinya harus tunduk pada
hukum pasar yang berlaku, dan oleh karena itu, ia disejajarkan dengan
profesi artis dalam televisi. Meskipun demikian, para ustadz televisi
ini sungguh memikat mayoritas masyarakat yang memang telah lama
tercerabut dengan institusi madrasah dan pondok pesantren, masyarakat
yang merindukan moralitas agama dalam kehidupannya yang telah
termodernisasikan.
Itulah realitas keseharian kita. Yang jelas, kini para ustadz di
televise telah menjadi representasi dari masyarakat kita—di kota dan di
desa—yang di satu sisi sedang ‘haus-hausnya’ akan pengetahuan
keagamaan, namun di sisi lain, tak mendapatkan jangkar keilmuan dari
tradisi yang terpadu. Para ustadz ini menjadi semacam jembatan bagi
masyarakat yang semakin tercerabut dari madrasah dan pondok
pesantrennya.***
sumber : http://indoprogress.com