Selama
tiga dasawarsa ini, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang
ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat
untuk memikirkan, membicarakan, dan memecahkan persoalan yang muncul
dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar
kelompok yang meledak secara sporadic di akhir tahun 1990-an di berbagai
kawasan di Indonesia menjadi indicator betapa rentannya rasa kbangssaan
yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antar
kelompok social dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok
social.
Merupakan
kenyataan yang tidak bisa ditolak bahwa Negara-bangsa Indonesia terdiri
dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lainnya. Sehingga
Negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai
masyarakat “Multicultural”. Tetepi pada pihak lainnya, realitas
“Multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk
merekonstruksikan kembali “kebudayan nasional Indonesia” yang dapat
menjadi “integrating forc” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan
budaya tersebut.
Ada
tiga kelompok yang memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap
berkembangnya identitas dalam kaitannya dengan konflik yang sering
muncul. Yaitu Pertama, pandangan kaum primoldialis.
Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika
seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya
benturan-benturan kepentingan entis maupun agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis.
Menurut mereka suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai
alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang
lebih besar, baik dalam bentuk metril maupun non-materiil. Konsepsi ini
lebih banyak digunakan oleh politisi dan pra elit itu untuk mendapatkan
dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan “Islam” misalnya,
diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back-up
kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum
instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prevence yang
dikehendaki elit, selama itu pula benturan antara kelompok identitas
dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga; kaum konstruktivis,
yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku,
sebagaimana yang yang dibayangkan kaum primordialis. Ethnisitas, bagi
kelompok ini dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan
social. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang
dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi
mereka, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah.
Dalam konteks ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multicultural sebagai
sarana membangun toleransi atas keragaman. Kajian ini ramai terdengar
di kalangan akademisi, praktisi budayawan dan aktifis pada tahun 2000 di
Indonesia. Penulisan makalah ini dimaksudkan sebagai kajian tentang
filsafat social multiculturalisme dan pendidikan multicultural sebagai
bahan kajian lanjutan untuk mengetahui corak, peluang, dan tantangan
pendidikan multicultural di Indonesia.
A. Konsep Pendidikan Multikultural
Konsep
pendidikan multikultural di Negara-negara yang menganut konsep
demokratis seperti Amerika serikat dan kanada, bukan hal yang baru lagi.
Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan
diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang
bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.
Pendidikan
multicultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya dari
masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. stavenragen:
Religious,
linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal
peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their
will, to the interest of the state and the dominandt society. While many
people…had to discard their own cultures, langues, religions and
traditions, and adapt to the alien norms and customs that were
consolidated and reproduced through national institutions, incluiding
the educational and legal system. (Rudalfo Stavenhagen, 1996: 15)
Di
Negara adi kuasa-Amerika serikat sebagai contohnya muncul serangkaian
konsep system tentang prulalitas yang berbeda-beda mulai dari melting
post sampai multikulturalisme. Sejak colombus menemukan benua amerika,
berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah
berada di sana sebelum bangsa-bangsa eropa membentuk koloni-koloni
mereka di amerika utara, terdiri dari berbagai macam suku yang
berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi dimata bangsa anglo-sakson
yang menyebarkan koloni di abad ke-17 tanah di Negara baru itu ada
kawasan yang tidak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru
itu tak lebih dari makhluk primitive yang merupakan bagian dari alam
yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum puritan yang menjadi acuan
utama sebagian besar pendatang dari inggris tersebut berbagai suku
bangsa yang dilabel secara generic dengan nama “India” adalah salah satu
bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis
agama tersebut. Di sisi terlihat bagaimana pandangan perspektif tunggal
yang dating dari budaya tertentu membuatkan mata terhadap kenyataan
keragaman yang ada.
Amerika
serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaan (4
juli 1776) baru disdari bahwa masyarakat terdiri dari berbagai ras dan
asal Negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini amerika mencoba
mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan
sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang
di cita-citakan
Multikulturalisme
secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an. Pendidikan
multicultural bisa di definisikan sebagai pendidikan untuk/tentang
keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Hal
ini seiring dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan
“menara gading” yang beruaha menjauhi realitas social dan budaya.
Pendidikan menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berprndidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya
mengagungkan prestos social sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang
dialaminya.
Pendidikan
multicultural (multicultural education) merupakan respon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan
hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multicultural
merupakan pengembang kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki
berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap terhadap
orang-orang non eropa (Hilliard, 1991-1992).
Sedangkan
secara luas pendidikan multicultural itu mencakup seluruh siswa tanpa
membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya,
strata social, dan agama.
Berbicara
masalah konsep pendidikan multikulturalisme, James Bank (1994)
menjelaskan bahwa pendidikan multicultural memiliki lima dimensi yang
saling berkaitan diantaranya adalah sebagai berikut;
- Content integrations in instructional. adalah mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu
- The Knowladge Construction Process in instructiona, adalah membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
- An Equity Paedagogy in instructional. Adalah menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam, baik dari segi ras, budaya, maupun social
- Trainning participation in instructional. Adalah melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam rangka upaya menciptakan budaya akademik.
- Prejudice Reduction in instructional adalah mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menemtukan metode pengajaran mereka
Dalam
aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek)
dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami
hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang
ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik dapat
dilihat dari empat cirri sebagai berikut:
- Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuannya, kemauannya, dan sebgainya
- Peserta didik memiliki keinginan untuk berkembang ke arah dewasa
- Peserta didik memiliki latar belakang budaya, etnis, agama yang berbeda
- Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimilikinya secara individu
Dalam
perspektif tilaar, pendidikan multicultural berawal dari berkembangnya
gagasan tentang “interkultualisme” sesuai perang dunia ke II. Kemunculan
gagasan dan kesadaran “interkultualisme” ini selain terkait dengan
perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari
kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain. Juga karena
meningkatnya pluralitas di Negara-negara barat sendiri sebagai akibat
dari peningkatan migrasi dari Negaranegara baru merdeka ke amerika dan
eropa (Tilaar, 2004: 23).
Dalam
konsep pendidikan multicultural focus dari pendidikan multicultural
tidak lagi diarahkan semata-mata pada kelompok rasial, agama, dan
cultural domain atau mainstream. Focus demikian ini pernah menjadi
tekanan pada pendidikan intercultural yang menekankan peningkatan
pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok
minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan
multicultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti
(difference) atau “politic of recognition)” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok miniritas.
Dalam
konteks tersebut, pendidikan multicultural melihat masyarakat secara
lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indiferenc” dan
“non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial,
tetapi paradigma pendidikan multicultural mencakup subyek-subyek
menganai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan
kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: social, budaya,
ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Paradigma
seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “etnic
studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan
sejak dari tingakat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari
pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan
(empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.
Dalam
konsep pendidikan, istilah pendidikan multicultural dapat digunakan
baik pada tingkat deskriftif dan normative, yang menggambarkan isu-isu
dan maslah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat
multicultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang
pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi
pendidikan dalam masyarakat multicultural yang jelas mencakup
subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan
ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik,
demokratis dan pluralitas, kemanusiaan universal dan lain sebagainya
Dalam
konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multicultural
yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh Negara-negara maju, dikenal
lima pendekatan: pertama; pendidikan menganai perbedaan-perbedaan
kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua; pendidikan mengenai
perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman budaya, ketiga; pendidikan
bagi pluralisme kebudayaan, keempat; pendidikan dwi budaya. Dan kelima;
pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.
Bagian
penting dari pada pendidikan multicultural adalah bagaimana menumbuhkan
sensivitas siwa akan kebudayaan budaya masyarakat yang bersifat plural.
Hal itu sesuai dan sejalan dengan pendapat Bennet (1986) yang
menyatakan bahwa asumsi dasar pendidikan multicultural adalah bagaimana
kelompok-kelompok etnik yang beragam dapat menentukan sendiri budaya
asli yang mereka miliki, serta pada saat yang bersamaan dapat menjadi
multicultural
Dengan
kata lain orang-orang yang dapat belajar tentang berbagai macam
alternative untuk mempersepsi, berprilaku, dan mengevaluasi kelompok
lainnya sehingga mereka dapat menyesuaikan kepada makiokultur yang
diperlukan untuk kesejahteraan bersama, tanpa melakukan pengurangan
penerimaan akan etnisitasnya sendiri yang orisinal.
Fokus
perhatian pendidikan multicultural adalah memberikan wawasan budaya
kepada anggota masyarakat agar mereka dapat hidup berdampingan secara
damai dengan kelompok social lainnya. Hal ini sejalan dengan hasil
rekomendasi APNIEVE UNESCO yang menandaskan bahwa hasil pendidikan tidak
hanya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan anak didiknya,
namun juga dalam hal penanaman dan pengembangan nilai-nilai dan afeksi
mereka yakni dalam bentuk belajar bersama, berpartisipasi dan bekerja
sama dengan individu/masyarakat dari kelompok budaya yang berlainan
dalam segala aktivitas (Muthahir, 1997).
Secara lebih operasional Kazt (dalam Mogdil, 1986) menyatakan ada empat tujuan pendidikan multicultural, yaitu:
- memberikan pengalaman belajar kepada siswa yang mengenalkan secara kritis dan kemampuan evaluasi untuk melawan isu-isu seperti realisme, demokrasi, partisipatory, dan exime.
- mengembangkan keterampilan untuk klarifikasi nilai, termasuk kajian untuk mentransmisikan nilai-nilai yang laten dan manifest
- untuk menguji dinamika keberagaman budaya dan implikasinya kepada strategi pembelajaran guru
- mengkaji vareasi kebahasaan dan keberagaman gaya belajar sebagai dasar bagi pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai
Adapun
agar progam pendidikan multicultural berjalan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Yakni memberikan perspektif multicultural maka strategi
yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
- Belajar bagaimana dan dimana menentukan tujuan, informasi yang akurat tentang kelompok-kelompok kultur yang beragam
- Identifikasi serta periksalah aspek-aspek positif individu atau kelompok etnik yang berbeda
- Belajar toleran untuk keberagaman melalui eksperimentasi di dalam sekolah dan kelas dengan praktek-praktek dan kebiasaan yang berlainan
- Dapatkan, jika memungkinkan pengalaman positif dari tangan pertama dengan kelompok-kelompok budaya yang beragam
- Kembangkanlah prilaku-prilaku yang empatis melalui bermain peran (role playing) dan simulasi
- Praktek penggunan “perpective glasess”, yakni melihat suatu event babakan sejarah, atau isu-isu melalui perspektif kelompok budaya atau lainnya
- kembangkan rasa penghargaan diri (self-esteem) seluruh siswa
- Identifikasikan dan analisis streotip budaya
- Identifikasikan seluruh kasus diskriminasi serta prasangka social yang berasal dari kehidupan siswa sehari-hari (Martorella, 1994:16).
B. Tinjauan Sosial Pendidikan Multikultural
Di
Indonesia, pendidikan multicultural relative baru dikenal sebagai suatu
pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang
heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru
dilakukan. Pendidikan multicultural yang dikembangkan di Indonesia
sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter
terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal
tersebut dilaksanakan dengan tidak baik justru akan menjerumuskan kita
ke dalam perpecahan nasional
Menurut
Azumardi Azra, pada level nasional, beakhirnya sentralisme kekuasaaan
yang pada masa orde baru memaksakan “monokulturalisme” yang cenerung
seragam, memunculkan reaksi balik yang bukan tidak mengandung
implikasi-implikasi negative bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang
multicultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi
kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala “provinsialisme”
yang hamper tumpang tindih dengan “etnisitas”. Kecenderungan ini jika
kita tidak dikendalikan dapat akan dapat menimbulkan tidak hanya
disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi
polotik
Model
pendidikan di Indonesia maupun di Negara-negara lain menunjukkan
keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk
mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah
yang dilakukan dalam progam pendidikan multicultural di inggris dan
beberapa tempat di Australia dan kanada, terbatas pada keragaman budaya
yangada, jadi terbatas dimensi kognitif
Penambahan
informasi tentang keagamaan budaya merupakan model pendidikan
multicultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk
revisi buku-buku teks. Terlepas dari itu kritik atas penerapan di dalam
beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di amerika serikat
merupakan strategi yang diangap paling penting dalam reformasi
pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah amerika dari
perspektif yang lebih beragam merupakan suatu agenda pendidikan yang
diperjuangkan intelektual, aktivis, dan praktisi pendidikan. Dijepang,
aktivitas kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merivisi buku
sejarah, terutama yang menyangkut peran jepang pada perang dunia II di
asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata
sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar
tragedy kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia
diperlukan usaha yang terulang kembali. Sedangkan di Indonesia dalam
merivisi buku-buku teks agar mengkomodasi konstribusi dan partisipasi
yang lebih insklutif bagi warga dari berbagai latar belakang dalam
pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi
pembelajaran yang bisa mengatasi demdam sejarah diberbagai wilayah.
Model
lainnya adalah pendidikan multicultural tidak sekedar merivisi materi
pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam system dalam pembelajaran
itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrumen
pengajar di amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan
ketimpangan structural terhadap kelompok minoritas. Contoh lain adalah
model sekolah pembaharuan, iskandar muda di medan yang menfasilitasi
interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun progam
anak asuh lintas kelompok. Di amerika serikat bersamaan dengan asumsi
masuknya wacana multikulturalisme , dilakukan berbagai lokakarya di
sekolah-sekolah maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan
sosilal, toleransi, dan mengurangi prasangka antar kelompok.(Dewey John,
2000).
Untuk
mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multicultural di Indonesia
perlu memekai kombinasi model yang ada, seperti yang diajukan Gorski,
pendidikan multikulturala dapat mencakup tiga hal jenis transformasi,
yaitu:
- Transformasi diri
- Transformasi sekolah dan proses belajar mengajar
- Transformasi masyarakat. (Paul Gorski, 1989: 23)
Mekonstruksi
pendidikan multicultural dalam tatanan masyarakat yang penuh
permasalahan antar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan.
Pendidikan multicultural tidak berarti sebatas merayakan keragaman
belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh
diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin
meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi
atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaan dari budaya yang
dominant tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multicultural lebih
tepat diarahkan sebagai alokasi untuk menciptakan masyarakat yang
toleran bebas dari toleransi
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multicultural, yaitu:
- Tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (scooling) atau pendidikan multicultural dengan progam-progam sekolah formal. Pandangan secara luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan yang membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena progam-progam sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah
- Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan-kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompoksosial yang relative self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama laindalam satu atau lebih kegiatan.
Dalam
konteks pendidikan multicultural pendekatan ini diharapkan mampu dan
dapat mengilhami para penyusun progam-progam pendidikan multicultural
untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara streotip
menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi
pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan
anak didik dari berbagai kelompok etnik
- Dalam pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multicultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multicultural tidak dapat disamakan secara logis.
- Pendidikan multicultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan . kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi
- Kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningktkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran ini dapat menjauhkan kita pada konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non pribumi. Dikhotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multicultural perpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada pada diri peserta didik (Depag RI, 2003)
Dalam
relitas keindonesiaan dan kebhinikaan, kelima pendekatan tersebut
haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat
adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam
kelompok social dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh zakiyah drajat yang menyatakan, bahwa
masyarakat sederhana diartikan sebagai kumpulan individudan kelompok
yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaanm dan agama. ( Ika, 2003:
15).
Jadi
dapat dipahami bahwa masyarakat adalah kumpulan besar individu yang
hidup dan bekerja sama dalam masa relative lama, sehingga
individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak
social. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi
komunitas terorganisir yang berpkir tentang dirinya dan membedakan
eksistensinya dari eksistensi komunitas. Dari sisi lain, apabila
kehidupan di dalam masyarakat berati interaksi antara individu dan
lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut
adalah pendidikan atau istilah lain masyarakat pendidik.
Oleh
karenaya dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat,
secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Masyarakat tiodak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah eksistensi yang hidup dinamis, selalu berkembang
- Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan
- Individu-individu di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan yang disebut tantangan social.
- Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang memebentuk masyarakat
- Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterkaitan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang menuntut agar bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya. (Amir Muhammad, 1992: 62)
Jika
diskripsi di atas dapat kita tarik dalam dunia pendidikan, maka
masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap terhadap
perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab
keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh
alternative untuk memperkaya proses pelaksanaan pendidikan. Untuk itu
setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral
terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan hubungan
timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan
masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk
kemajuan pendidikan.
Keanekaragaman
(multikulturalisme) adalah wacana baru masyarakat dalam pengaturan
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai pengganti wacana monokultural
yang bersifat rasis dan elitis (Van Dijk, 1999). Sejalan dengan pendapat
tersebut Gidden (2000) menyatakan multikulturalisme adalah gejala baru
yang menandai era globalisasi. Dengan kata lain multikulturalisme tidak
dapat dipisahkan dari globalisasi. Ditambahkannya multikulturalisme
memiliki kelebihan dibandingkan dengan monokultural terutama dalam hal
kesetaraan dan keadilan. Pendapat diatas sependapat dengan temuan
penelitian yang dilakukan oleh Hanurawan dan Waterwort (1997)serta
suyanto Dkk (2000) yang mnunjukkan bahwa pengelolaan kehidupan social
dalam masyarakat yang bercorak multicultural menuntut adanya pengakuan
akan kesamaan hak dan kedudukan dari setiap kedudukan dari setiap
komponen social
Sementara
Duffi (1986) menyatakan bahwa masyarakat yang ercorak multikulturalisme
memiliki tiga cirri utama yang selalu melejkkat di dalamnya yakni:
- keanekaragaman (divercity)
- persamaan (equality)
- interaksi melalui pembagian tugas (interaction through sharing)
Mc. Len menandaskan bahwa sebuah masyarakat yang bercorak multicultural setidaknya memiliki sejumlah elemen pokok yaitu:
- munculnya keberagamaan
- setidaknya terdapat interaksi dan sharing antar anggota komunitas
- kesamaan akses kepada sumber daya ekonomi dan pendidikan bagi semua kelompok budaya
- terjaminnya hak-hak sipil politik masyarakat
- nilai-nilai kebudayaan yang beragam
- adanya komitmen bersama terhadap suatu bangsa (shared commitment to one nation)
Untuk
memepertahankan kehidupan bangsa yang bercorak multicultural jelas
dibutuhkan adanya prinsip toleransi dan saling menghormati antar
komponen kenbangsaan (Hanurawan, 1997) serta mau menerima perbedaan
sebagai relitas (kesadaran multicultural). Curtis (1992) menyatakan
bahwa kesadaran multicultural adalah kesadaran seorang bahwa ia hidup
dalam masyarakat yang anggotanya amat berahgam baik dari etnis, agama,
budaya, pekerjaan, social ekonnomi dan lain sebagainya.
Tujuan
keadilan social yang berakar pada demokrasi merupakan suatu keharuasan
dalam masyarakat yang bersifat multicultural. Berakar pada prinsip
demokrasi maka kesadaran multikultur perlu di asosiasikan pada setiap
individu dalam komunitas social
Untuk
mensosialisasikan kesadaran multicultural kepada seluruh komponen
social maka perlu adanya pendidikam multicultural (multiculture
education). Melalui pendidikan multicultural ini diharapkan mampu dan
memperoleh pengetahuan yang akan menimbulkan kesadaran dan akhirnya
menerapkan kesadaran multikulturalisme ini dalam kehidupan sosialnya.
Dalam bahasa Louis Gates Jr (1992) dinyatakan: “There is no tolerance
without respect-and without knowladge”.
Beberapa
negara lain, “multikulturalisme’ merupakan terapi etnosentrisme, di
Indonesia multikulturalisme bisa menjadi penyeimbang kesatuan (Budianta,
1996). Pada saat sekarang ini bangsa Indonesia sedang memulai
penyeimbangan kesatuan dan reformasi tentang keragaman etnis, agama, dan
rasial dianggap sebagai kekayaan nasional.
Dalam
perspektif ini, pendidikan multicultural dibutuhkan untuk meningkatkan
pemahaman dan penghargaan diatas semua warga masyarakat. Disamping
efektif untuk memberikan perspektif multicultural pada masyarakat,
pendidikan multicultural dapat pula diguanakan media untuk mengurangi
prasangka kelompok satu kepada kelompok lainnya (Hanurawan, 1997) Lynch
(1987) menggaris bawahi bahwa terdapat keterkaitan antara timbulnya
prasangka (prejudice) dengan lingkungan social seseorang.
Keterkaitan
ini sangat relevan seka;I dengan fakta bahwa beberapa munculnya
prasangka kelompok pada diri anak-anak diperoleh dari lingkiungan social
mereka. Dalam kaitan dengan pengembangan toleransi dan penghargaan pada
setiap anggota komunitas dan sekaligus untuk mmengeliminir prasangka
kelompok (etnis, ras, serta agama) secara negative kepada kelompok
lainnya dalam masyarakat, maka pendidikan multicultural sangat
diperlukan.
Adapun manfaat pengembngan pendidikan multicultural adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan
model pendidikan cultural untuk kelas bawah (grass roots) dengan
harapan melalui pendidikan multicultural akan membentuk masyarakat yang
mempunyai sikap inklusif
2. Mengembangkan berbagai media bagi pendidikan multicultural seperti buku panduan, buku bacaan, VCD, dan lain sebagainya
3. Mengembangkan
budaya ani kekerasan pada masyarakat, yang dimulai dengan memberikan
pendidikan multicultural untuk dapat mengeliminasi konflik
4. Membangun
strategi dalam membina toleransi antar etnik dan umat beragama pada
masyarakat yang pluralistic, yang dimulai dari penanaman afeksi terhadap
peserta didik
Adapun model pendidikan multikulturalisme yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
- Berorientasi pada proses dengan urutan pemahaman-pemahaman transformasi internalisasi
- Mengedepankan penalaran dengan menerapkan strategi induktif dan deduktif
- Mengutakmakan pendekatan emansipatory
- Memfungsikan semua system indera
- Mengutamakan pendekatan multimedia
- Tidak terkait perbedaan kelompok.