Rasionalitas Barbarisme


uncle-obama1Acapkali kekerasan diidentikkan dengan budaya masyarakat barbar, masyarakat primitif dan masyarakat berkasta rendah. Dan, siapa sangka kalau selama abad ke-19, Inggris negera pemuka revolusi industri dan pemuja pasar bebas itu ternyata negara yang paling banyak melakukan tindak kekerasan. Dan selama paruh abad ke-20 hingga kini, ternyata Amerika adalah negara yang paling banyak melakukan invansi ke negara-negara lain. Padahal Amerika maupun Inggris sama-sama kiblat “pemuja” kebebasan, hak asasi dan rujukan paling wahid dalam kreativitas ilmu, saint dan tehnologi.

Malahan sejarah mencatat, terjadinya kecamuk perang dunia kedua disinyalir akibat disponsori sekaligus dikompori oleh dua negara perkasa kapitalis itu.

Well, sejenak kita menengok aksi kekerasan di negeri kita, adakah kaitannya dengan budaya barbarism, primitivim atau kasta rendah?

Sekilas saja kita perhatikan lingkungan sekitar, adakah propaganda budaya yang lebih kenceng dan lebih sukses di tengah masyarakat kita ketimbang budaya adu otot? Adu jotos? Adu nyrocos? Kekerasan menjadi kampanye sehari-hari lewat media massa ketimbang mengolah otak. Kampanye kekerasan dilancarkan selama 24 jam nonstop melalui semua lini-lini media dan di desain secara khusus untuk anak-anak, remaja hingga orang tua yang jauh menggungguli bagaimana cara olah estetika dan kekuatan otak. Bahkan jenis kekerasan didalamnya dikemas dalam bentuk-bentuk permainan anak-anak.Fantastis!

Tidak sepenuhnya benar teori Noam Chomsky, dimana dia pernah berteori bahwa, tontonan dan fiksi yang penuh dengan kekerasan otot ketimbang olah otak, sebenarnya ditujukan untuk kaum bawah. Memang benar bahwa “kebanyakan” mereka yang membanggakan kekuatan otot adalah kaum bawah secara strata hidup dan pendidikan, namun siapa sangkal jika para pemimpin, politikus, dan borjuis juga tak jarang yang menggunakan kekuatan akal. Bahkan pemuja logika otot dan jotos.

Meskipun, teori Noam Chomsky merujuk pada masyarakat di negara-negara kasta wahid yang liberal, yang disana tersedia segala macam jenis hiburan dan jenis tontonan yang lebih memamerkan tidak hanya kekuatan estetika dan otak ketimbang otot, namun, dibanyak negara-negara kasta kelas dua dan tiga, pilihan seperti itu tak banyak tersedia karena olah estetika dan otak seringkali tak disukai dan tak diminati. Namun demikian, dua negara pemuja ilmu, kebebasan, hak asasi dan tehnologi itu ternyata masyarakat dan elit politikusnya adalah pelaku trackrecord barbarism dan primitism sekaligus. Perikehidupan elit politiknya disana tak jauh beda dengan perikehidupan politikus kita, primitif dan kasar. Mereka sama-sama kasar dalam memainkan kompetisi politik dan ekonomi sebagai medan bantai membantai yang tak kurang buas dalam perang Bharatayuda.

Ada sesuatu prinsipil yang hilang dari masyarakat, ada hal urgen paling inti yang lusuh dari tengah masyarakat. Yakni, firman Tuhan tak lagi dianggap, nilai etika dan moral dalam kitab suci di tong sampahkan. Tak heran, jika modernitas yang digadang-gadang bakal membangun masyarakat ideal yang kelak melahirkan trisula kekuatan, sains, ilmu pengetahuan dan tehnologi bagi kedamaian umat manusia, ternyata melahirkan budaya barbarims yang tak kurang bengisnya dari berbudaya tanpa budaya.

Dess, jika primitifme dan barbarisme adalah cara paling kasar dalam kompetisi politik dan ekonomi maka, kekerasan adalah bentuk kasar dari usaha mengubur kemerdekaan setiap yang “dianggap” lawan. Dan menjadi sial dan jahat lagi, jika cara-cara diatas disandingkan dengan kegemulaian retorika dan imut-imut komat-kamit diplomasi.
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faqih Muhammad - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger