Acapkali
kekerasan diidentikkan dengan budaya masyarakat barbar, masyarakat
primitif dan masyarakat berkasta rendah. Dan, siapa sangka kalau selama
abad ke-19, Inggris negera pemuka revolusi industri dan pemuja pasar
bebas itu ternyata negara yang paling banyak melakukan tindak kekerasan.
Dan selama paruh abad ke-20 hingga kini, ternyata Amerika adalah negara
yang paling banyak melakukan invansi ke negara-negara lain. Padahal
Amerika maupun Inggris sama-sama kiblat “pemuja” kebebasan, hak asasi
dan rujukan paling wahid dalam kreativitas ilmu, saint dan tehnologi.
Malahan sejarah mencatat, terjadinya kecamuk perang dunia kedua disinyalir akibat disponsori sekaligus dikompori oleh dua negara perkasa kapitalis itu.
Well, sejenak kita menengok aksi kekerasan di negeri kita, adakah kaitannya dengan budaya barbarism, primitivim atau kasta rendah?
Sekilas saja kita perhatikan lingkungan sekitar, adakah propaganda
budaya yang lebih kenceng dan lebih sukses di tengah masyarakat kita
ketimbang budaya adu otot? Adu jotos? Adu nyrocos? Kekerasan menjadi
kampanye sehari-hari lewat media massa ketimbang mengolah otak. Kampanye
kekerasan dilancarkan selama 24 jam nonstop melalui semua lini-lini
media dan di desain secara khusus untuk anak-anak, remaja hingga orang
tua yang jauh menggungguli bagaimana cara olah estetika dan kekuatan
otak. Bahkan jenis kekerasan didalamnya dikemas dalam bentuk-bentuk
permainan anak-anak.Fantastis!
Tidak sepenuhnya benar teori Noam Chomsky, dimana dia pernah berteori
bahwa, tontonan dan fiksi yang penuh dengan kekerasan otot ketimbang
olah otak, sebenarnya ditujukan untuk kaum bawah. Memang benar bahwa
“kebanyakan” mereka yang membanggakan kekuatan otot adalah kaum bawah
secara strata hidup dan pendidikan, namun siapa sangkal jika para
pemimpin, politikus, dan borjuis juga tak jarang yang menggunakan
kekuatan akal. Bahkan pemuja logika otot dan jotos.
Meskipun, teori Noam Chomsky merujuk pada masyarakat di negara-negara
kasta wahid yang liberal, yang disana tersedia segala macam jenis
hiburan dan jenis tontonan yang lebih memamerkan tidak hanya kekuatan
estetika dan otak ketimbang otot, namun, dibanyak negara-negara kasta
kelas dua dan tiga, pilihan seperti itu tak banyak tersedia karena olah
estetika dan otak seringkali tak disukai dan tak diminati. Namun
demikian, dua negara pemuja ilmu, kebebasan, hak asasi dan tehnologi itu
ternyata masyarakat dan elit politikusnya adalah pelaku trackrecord
barbarism dan primitism sekaligus. Perikehidupan elit politiknya disana
tak jauh beda dengan perikehidupan politikus kita, primitif dan kasar.
Mereka sama-sama kasar dalam memainkan kompetisi politik dan ekonomi
sebagai medan bantai membantai yang tak kurang buas dalam perang
Bharatayuda.
Ada sesuatu prinsipil yang hilang dari masyarakat, ada hal urgen
paling inti yang lusuh dari tengah masyarakat. Yakni, firman Tuhan tak
lagi dianggap, nilai etika dan moral dalam kitab suci di tong sampahkan.
Tak heran, jika modernitas yang digadang-gadang bakal membangun
masyarakat ideal yang kelak melahirkan trisula kekuatan, sains, ilmu
pengetahuan dan tehnologi bagi kedamaian umat manusia, ternyata
melahirkan budaya barbarims yang tak kurang bengisnya dari berbudaya
tanpa budaya.
Dess, jika primitifme dan barbarisme adalah cara paling
kasar dalam kompetisi politik dan ekonomi maka, kekerasan adalah bentuk
kasar dari usaha mengubur kemerdekaan setiap yang “dianggap” lawan. Dan
menjadi sial dan jahat lagi, jika cara-cara diatas disandingkan dengan
kegemulaian retorika dan imut-imut komat-kamit diplomasi.