Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian
Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter
untuk semua tingkat Pendidikan, dari SD – Perguruan Tinggi. Menurut
Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan
sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata
Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia
juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa.
Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan
Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu
(15/4/2010).
Munculnya gagasan program pendidikan
karakter di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan,
proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia
yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah
gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam
menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah.
Banyak pakar bidang moral dan agama yang
sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan
dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan
menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan,
dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan
diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan
yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal
ujian.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses
menghafal materi soal ujian, dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan
karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik;
pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria; malu berbuat curang; malu
bersikap malas; malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak
terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan
proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
Di sinilah bisa kita pahami, mengapa ada kesenjangan antara praktik
pendidikan dengan karakter peserta didik. Bisa dikatakan, dunia
Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat
pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai
program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar
dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan
yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter,
sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam bukunya yang berjudul, Pribadi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982,
cet.ke-10), Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang
pandai tapi tidak memiliki pribadi yang unggul:
”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur,
banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar,
tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat.
Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari
harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain dari
pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan
karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali
menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan
hidup.”
Budayawan Mochtar Lubis, bahkan pernah memberikan deskripsi karakter
bangsa Indonesia yang sangat negatif. Dalam ceramahnya di Taman Ismail
Marzuki, 6 April 1977, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum
manusia Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggung jawab,
berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros,
suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar
Lubis mendeskripsikan ciri-ciri utama manusia Indonesia:
1. “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatankekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”
2. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
3. “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”
4. “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua…”
“Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
5. “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”
6. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpestapesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.” “Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
1. “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatankekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”
2. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
3. “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”
4. “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua…”
“Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
5. “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”
6. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpestapesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.” “Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
Tentu, silakan tidak bersetuju dengan pendapat Mochtar Lubis!
*****
Banyak pendidik percaya, karakter suatu bangsa terkait dengan
prestasi yang diraih oleh bangsa itu dalam berbagai bidang kehidupan.
Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya, Semua Berakar Pada Karakter
(Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan, bagaimana
kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun
1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak
melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Dr. Ratna Megawangi termasuk salah cendekiawan yang sangat
gencar mempromosikan pendidikan karakter, melalui berbagai aktivitas dan
tulisannya. Pendidikan karakter by definition adalah
pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi
pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu
tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang
lain, kerja keras, dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991). Aristoteles,
kabarnya, juga berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan
kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku.
Russel Williams, seperti dikutip Ratna, menggambarkan karakter
laksana “otot”, yang akan menjadi lembek jika tidak dilatih. Dengan
latihan demi latihan, maka “otot-otot” karakter akan menjadi kuat dan
akan mewujud menjadi kebiasaan (habit). Orang yang berkarakter tidak
melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan hukuman, tetapi
karena mencintai kebaikan (loving the good). Karena cinta itulah, maka muncul keinginan untuk berbuat baik (desiring the good).
Pemimpin Cina, Deng Xiaoping, pad atahun 1985 sudah mencangkan pentingnya pendidikan karakter: Throughout
the reform of the education system, it is imperative to bear in mind
that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into
a man or woman of character and cultivating more constructive members
of society. Li Lanqing, mantan wakil PM Cina, dalam bukunya, Educations for 1.3 Billion, menjelaskan reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina. Ia menulis: After
many years of practice, character education has become the consensus of
educators and people from all walks of life across this nation. It is being advanced in a comprehensive way.”
Menurut Ratna Megawangi, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan
semua aspek dimensi manusia, sehingga tidak sesuai dengan sistem
pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek hafalan dan orientasi
untuk lulus ujian. Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,
(2010), Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan karakter
bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.
Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan
pemahaman nya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan
moral atau pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan
nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan
karakter.
Tetapi, Doni yang meraih sarjana teologi di Universitas Gregoriana Roma Italia, agama tidak dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang plural. ”Di zaman modern yang sangat multikultural ini, nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang lemah,” tulisnya.
Oleh karena itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun pendidikan agama penting dalam membantu mengembangkan karakter individu, ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu tata sosial yang stabil dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini, nilai-nilai moral akan bersifat lebih operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Namun demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa menjadi dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat dinamis dan dialogis.
Dalam pandangan Islam, pandangan sekularistik Doni K. Albertus semacam itu, tentu tidak dapat diterima. Sebab, bagi Muslim, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhamamd saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural. Memang ada pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan Islam.
Namun, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing.
Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia memang memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah negara sudah mencobanya. Indonesia bukan tidak pernah mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi, pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu! Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!
Tetapi, Doni yang meraih sarjana teologi di Universitas Gregoriana Roma Italia, agama tidak dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang plural. ”Di zaman modern yang sangat multikultural ini, nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang lemah,” tulisnya.
Oleh karena itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun pendidikan agama penting dalam membantu mengembangkan karakter individu, ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu tata sosial yang stabil dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini, nilai-nilai moral akan bersifat lebih operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Namun demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa menjadi dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat dinamis dan dialogis.
Dalam pandangan Islam, pandangan sekularistik Doni K. Albertus semacam itu, tentu tidak dapat diterima. Sebab, bagi Muslim, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhamamd saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural. Memang ada pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan Islam.
Namun, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing.
Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia memang memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah negara sudah mencobanya. Indonesia bukan tidak pernah mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi, pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu! Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!
Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati
kebijakan dan peraturan. Ide UAN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan,
banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu
tuntutan pejabat dan orang tua. Guru tidak berdaya. Kebijakan
sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas
sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat,
bukan berburu ilmu! Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini
nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat
pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.
*****
Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya
betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan
maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka
berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.
Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.
Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah
mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya
dipenuhi dengan idealisme tinggi memajukan dunia pendidikan dan
bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung,
dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia
dirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin,
mengajar, mencari guru dan dana. terkadang, ia keliling ke sejumlah kota
mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan
istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.
Disamping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool
(Sekolah Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan
naskah pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat
dibuang ke Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat).
Kisah Natsir dan sederet guru bangsa lain sangat penting untuk
diajarkan di sekolahsekolah dengan tepat dan benar. Natsir adalah contoh
guru yang berkarakter dan bekerja keras untuk kemajuan bangsanya. Ia
adalah orang yang sangat haus ilmu. Cita-citanya bukan untuk meraih ilmu
kemudian untuk mengeruk keuntungan materi dengan ilmunya. Tapi, dia
sangat haus ilmu, lalu mengamalkannya demi kemajuan masyarakatnya.
Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”,
Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu
mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini,
Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca
kemerdekaan dengan prakemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir,
bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah
kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis:
“Dahulu, mereka girang gembira,
sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan
pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam
satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak
berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang
menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang timbul penyakit
bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah… Tak
ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari
untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya…”
Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para
elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika ingin
bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia,
wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa
menjadi teladan bagi bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya,
Natsir juga menitipkan pesan kepada sejumlah cendekiawan yang
mewawancarainya, ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat
Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Lebih jauh,
kata Natsir:
”Di negara kita, penyakit cinta dunia
yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada
masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian
kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhirakhir ini
terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah
dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan
saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di
Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan
sosial yang cukup serius.”
*****
Seorang dosen fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan
kepada saya. Berdasarkan survei, separoh lebih mahasiswa kedokteran di
kampusnya mengaku, masuk fakultas kedokteran untuk mengejar materi.
Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom, ahli teknik, dan berbagai
profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk
kekayaan, maka dia akan melihat biaya kuliah yang dia keluarkan sebagai
investasi yang harus kembali jika dia lulus kuliah. Ia kuliah bukan
karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, tetapi karena berburu uang!
Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah “guru-guru sejati” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan.
Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah “guru-guru sejati” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan.
Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang
sangat serius. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden,
menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus memberi teladan.
Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, tapi rakyat dan anak
didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak
hidup sederhana dan mobil-mobil mereka – yang dibiayai oleh rakyat –
adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat.
Pada skala mikro, pendidikan karakter ini harus dimulai dari sekolah,
pesantren, rumah tangga, juga Kantor Kementerian Pendidikan dan
Kementerian Agama. Dari atas sampai ke bawah, dan sebaliknya. Sebab,
guru, murid, dan juga rakyat sudah terlalu sering melihat berbagai
paradoks. Banyak pejabat dan tokoh agama bicara tentang
taqwa; berkhutbah bahwa yang paling mulia diantara kamu adalah yang
taqwa. Tapi, faktanya, saat menikahkan anaknya, yang diberi hak istimewa
dan dipandang mulia adalah pejabat dan yang berharta. Rakyat kecil dan
orang biasa dibiarkan berdiri berjam-jam mengantri untuk bersalaman.
Kalau para tokoh agama, dosen, guru, pejabat, lebih mencintai dunia
dan jabatan, ketimbang ilmu, serta tidak sejalan antara kata dan
perbuatan, maka percayalah, Pendidikan Karakter yang diprogramkan
Kementerian Pendidikan hanya akan berujung slogan!
*****
Tidak cukup!
Jika bangsa Cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, lalu apa
bedanya orang komunis yang berkarakter dengan orang muslim yang
berkarakter? Orang komunis, atau ateis, bisa saja menjadi pribadi yang
jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab, mencintai kebersihan,
dan sebagainya. Orang muslim juga bisa seperti itu. Dimana
letak bedanya?
Bedanya pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia
bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi
seorang yang berkarakter dan beradab. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim
Asy’ari, misalnya, dalam kitabnya, Ādabul Ālim wal-Muta’allim,
mengutip pendapat Imam al-Syafi’i yang menjelaskan begitu pentingnya
kedudukan adab dalam Islam. Bahkan, Sang Imam menyatakan, beliau
mengejar adab laksana seorang ibu yang mengejar anak satu-satunya yang
hilang.
Lalu, Syaikh Hasyim Asy’ari mengutip pendapat sebagian ulama: ”at-Tawhīdu
yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu
al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū;
wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū
wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11).
Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan
wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan
iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat
padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat
mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada
hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.
Jadi, betapa pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Lalu, apa sebenarnya konsep adab?
Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan
oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah
Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta
pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam
rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu
hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah
ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti
ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu.
”Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan
keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran
dan kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas,
Risalah untuk Kaum Muslimin, (ISTAC, 2001).
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan,
jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami
dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang
beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali dan mengakui
seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda
dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika
al-Quran menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah
adalah yang paling taqwa (QS 49:13), maka seorang yang beradab tidak
akan lebih menghormat kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di
kampung yang shalih. Dalam masyarakat yang beradab, seorang penghibur
tidak akan lebih dihormati ketimbang pelajar yang memenangkan Olimpiade
fisika. Seorang pelacur atau pezina ditempatkan pada tempatnya, yang
seharusnya tidak lebih tinggi martabatnya dibandingkan muslimah-muslimah
yang shalihah. Itulah adab kepada sesama manusia.
Adab juga terkait dengan ketauhidan, sebab adab kepada Allah
mengharuskan seorang manusia tidak menserikatkan Allah dengan yang lain.
Tindakan menyamakan al-Khaliq dengan makhluk merupakan tindakan yang
tidak beradab. Karena itulah, maka dalam al-Quran disebutkan, Allah
murka karena Nabi Isa a.s. diangkat derajatnya dengan al-Khaliq, padahal
dia adalah makhluk. Tauhid adalah konsep dasar bagi pembangunan
manusia beradab. Menurut pandangan Islam, masyarakat beradab haruslah
meletakkan al-Khaliq pada tempat-Nya sebagai al-Khaliq, jangan disamakan
dengan makhluq.
Itulah adab kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw adalah juga manusia.
Tetapi, beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau adalah
utusan Allah. Sesama manusia saja tidak diperlakukan sama. Seorang
presiden dihormati, diberi pengawalan khusus, diberikan gaji yang lebih
tinggi dari gaji guru ngaji, dan sering disanjung-sanjung,
meskipun kadangkala keliru. Orang berebut untuk menjadi Presiden karena
dianggap jika menjadi Presiden akan menjadi orang terhormat atau
memiliki kekuasaan besar sehingga dapat melakukan perubahan.
Sebagai konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya, tentu saja adalah dengan cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri tauladan kehidupan (uswah hasanah). Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw, maka adab berikutnya adalah adab kepada ulama. Ulama adalah pewaris nabi. Maka, kewajiban kaum Muslim adalah mengenai, siapa ulama yang benar-benar menjalankan amanah risalah, dan siapa ulama ”palsu” atau ”ulama jahat (ulama su’). Ulama jahat harus dijauhi, sedangkan ulama yang baik harus dijadikan panutan dan dihormati sebagai ulama. Mereka tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para umara. Maka, sangatlah keliru jika seorang ulama merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan penguasa. Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan martabatnya. Ulama harusnya dihormati karena ilmunya dan ketaqwaannya, bukan karena kepintaran bicara, kepandaian menghibur, dan banyaknya pengikut. Maka, manusia beradab dalam pandangan Islam adalah yang mampu mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa ulama yang palsu sehingga dia bisa meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat rujukan.
Sebagai konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya, tentu saja adalah dengan cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri tauladan kehidupan (uswah hasanah). Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw, maka adab berikutnya adalah adab kepada ulama. Ulama adalah pewaris nabi. Maka, kewajiban kaum Muslim adalah mengenai, siapa ulama yang benar-benar menjalankan amanah risalah, dan siapa ulama ”palsu” atau ”ulama jahat (ulama su’). Ulama jahat harus dijauhi, sedangkan ulama yang baik harus dijadikan panutan dan dihormati sebagai ulama. Mereka tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para umara. Maka, sangatlah keliru jika seorang ulama merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan penguasa. Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan martabatnya. Ulama harusnya dihormati karena ilmunya dan ketaqwaannya, bukan karena kepintaran bicara, kepandaian menghibur, dan banyaknya pengikut. Maka, manusia beradab dalam pandangan Islam adalah yang mampu mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa ulama yang palsu sehingga dia bisa meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat rujukan.
Syekh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani, Thailand Selatan, (1856-1908), dalam kitabnya Hadiqatul Azhar war Rayahin
(Terj. Oleh Wan Shaghir Abdullah), berpesan agar seseorang mempunyai
adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Syekh Wan Ahmad
menyatakan : “Jadikan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu
(majelis) perhimpunan ilmu yang engkau muthalaah akan dia. Supaya
mengambil guna engkau daripada segala adab dan hikmah.”
Karena itulah, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang beradab. Sebab, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”
Karena itulah, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang beradab. Sebab, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, murid terkemuka Syaikhul Islam Ibn
Taimiyah, juga menulis sebuah buku berjudul Al-Ilmu. Beliau mengutip
ungkapan Abu Darda’ r.a. yang menyatakan: “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan merupakan jihad, sesungguhnya ia kurang akalnya.” Abu Hatim bin Hibban juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah r.a., yang pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa masuk ke masjid ku ini untuk belajar kebaikan atau untuk
mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah.”
Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Lebih fatal lagi, jika manusia yang tidak beradab itu kemudian merasa tahu, padahal dia sebenarnya ia tidak tahu.
Dengan adab inilah, seorang Muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya? Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar keras? Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab”, alias biadab. Jadi, setiap Muslim harus berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia beradab. Seharusnya, program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam program resmi Pendidikan Nasional, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Itulah hakekat dari tujuan pendidikan, menurut Islam, yakni mencetak manusia yang baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M.Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”
“Orang baik” atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Tidak cukup seorang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya, tetapi dia tidak ikhlas dalam mencari ilmu, enggan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan suka mengumbar aurat dan maksiat. Pendidikan, menurut Islam, haruslah bertujuan membangun karakter dan adab sekaligus!
Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Lebih fatal lagi, jika manusia yang tidak beradab itu kemudian merasa tahu, padahal dia sebenarnya ia tidak tahu.
Dengan adab inilah, seorang Muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya? Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar keras? Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab”, alias biadab. Jadi, setiap Muslim harus berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia beradab. Seharusnya, program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam program resmi Pendidikan Nasional, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Itulah hakekat dari tujuan pendidikan, menurut Islam, yakni mencetak manusia yang baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M.Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”
“Orang baik” atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Tidak cukup seorang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya, tetapi dia tidak ikhlas dalam mencari ilmu, enggan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan suka mengumbar aurat dan maksiat. Pendidikan, menurut Islam, haruslah bertujuan membangun karakter dan adab sekaligus!
Moh. Iqbal dengan indah menggambarkan sosok pribadi Muslim yang tangguh karena ketundukannya kepada Allah:
“Biarlah cinta membakar semua ragu dan syak wasangka,
Hanyalah kepada yang Esa kau tunduk, agar kau menjadi singa.”
Hanyalah kepada yang Esa kau tunduk, agar kau menjadi singa.”
*****
(Disampaikan dalam diskusi sabtuan di INSISTS, 12 Juni 2010)