PENDAHULUAN
Ceritanya, tahun 1400 H dalam rangka simposium peran imigran Muslim
di Amerika, diundanglah tokoh-tokoh Muslim dari berbagai negara termasuk
Indonesia-yang waktu itu dihadiri M. Natsir. Dari sana kemudian para
tokoh ini memanfaatkan moment tersebut untuk berbincang-bincang tentang
dunia Islam. Kemudian muncullah kesepakatan untuk menjadikan abad ke 15
Hijriah ini sebagai abad kebangkitan Islam. Hal ini dilihat dari kondisi
Islam dunia saat itu memang sangat tertinggal. Maka dimulailah abad
kebangkitan Islam itu dengan tekad bersama untuk mengembalikan kejayaan
Islam dengan segala kemampuan dan usaha yang dimiliki.
Saat ini, setelah 22 tahun seruan itu dikumandangkan kondisi umat
Islam belumlah seperti yang diharapkan sebagai sesuatu yang benar-benar
bangkit. Umat Islam dunia masih saja dalam kondisi keterpurukan. Mekipun
telah beberapa orang, kelompok dan organisasi yang mulai bangkit dan
menyerukan hal yang sama sambil menyadarkan umat islam dan berkarya
untuk membuktikan hal itu. Hingga saat ini praktis bisa dikatakan bahwa
umat Islam memang masih sebagai sesuatu yang belum berarti (secara
politis) bagi dunia.
Kompleksitas Problem
Kebanggaan yang dapat ditampilkan bagi umat Islam saat ini masih
sangat sedikit sekali. Paling-paling negara Arab yang kaya dengan
minyak, itupun karena keberuntungan takdir saja bahwa cadangan minyak
terbesar dunia ada disana. Tentang hal yang lain sangat sulit untuk
mencarinya. Dibidang ekonomi masyarakat Muslim dunia sama sekali tidak
bisa diandalkan. Sampai sekarang sistem yang dipakai tetap saja
kapitalisme dengan segala konsekuensinya. Negara-negara Muslim yang
memang sudah miskin semakin miskin saja dengan kapitalisme yang
dibanggakan Amerika. Sistem perekonomian Islam yanng menjanjikan
keadilan itu tidak mencul sama sekali. Padahal beberapa abad sistem ini
dipakai dan pernah terbukti keampuhannya. Sistem bank konvensional
(riba) masih menjadi pilihan utama masyarakat dunia. Belum lagi dengan
kemiskinan negara-negara Muslim yang menyebabkan mereka harus berhutang
pada negara-negara kapitalis. Yang pada gilirannya juga akan mempersulit
mereka. Bahkan untuk sekedar membayar bunga hutang.
Dari segi politik juga demikian. Amerika dengan PBB sebagai
tunggangannya praktis menguasai seluruh negara didunia tidak terkecuali
negara Muslim. Dengan kekuatan persenjataan dan teknologi tinggi, secara
politis Amerika telah menjadi polisi dunia. Begitu pula
kelompok-kelompok pertahanan dan plitik seperti NATO yang sangat
represif terhadap Islam. Dipentas dunia, negara-negara Muslim sendiri
tidak punya kekuatan jika dibanding mereka. Organisasi negara-negara
Islam seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI) tidak bisa berbuat banyak
menghadapi PBB dan NATO. Bahkan sekedar turun berperan serta dalam
menentukan harga dan kuota minyak – yang negara-negara Arab sangat
berkepentingan terhadap hal itu- tidak mampu dilakukan. Fakta-fakta
masih terpingirkannya peran Islam dalam dunia internasional ditambah
lagi dengan intervensi yang berlebihan terhadapap negara-negara Muslim
Arab dan ketidak jelasan sikap mengenai Palestina, Kashmir, Pattani,
Moro, Bosnia, Cechnya, dan Pakistan. Campur tangan pihak luar yang
bisanya sangat ditentukan oleh berbagai kepentingan politik dan ekonomi
selalu saja membersamainya. Ismail Raji al Faruqi menjelaskan kondisi
umat ini:
Dunia Ummah Islam saat ini berada pada anak tangga bangsa-bangsa
terbawah. Didalam abad ini, tidak ada kaum lain yang mengalami kekalahan
dan kehinaan seperti yang dialami kaum Muslimin. Kamum Muslimin telah
dikalahkan, dibantai, dirampas negeri dan kekayaannya, dirampas
kehidupan dan harapannya.[1]
Saat ini kondisi umat Islam terpecah belah kedalam 50-an negara.
Kolonialisme telah berhasil melakukan hal itu. Dan dari sana selalu saja
memunculkan friksi antar umat Islam sendiri mengenai batas wilayah yang
lebih sering menimbulkan peperangan berkepanjangan daripada kepahaman
dan persaudaraan.
Amerika sangat berkepentingan dengan negara Muslim (khusunya Arab)
guna kepentingan ekonomi karena ladang minyaknya, sekaligus memuaskan
ambisi politiknya. Fathy Yakan mengatakan:
Selama ini Amerika Serikat membidikkan matanya pada dunia ketiga,
khususnya negara-negara Timur Tengah. Washhington mencari jalan memulai
melaksanakan poltik perluasan yang bertujuan untuk dapat menjamah
ladang-ladang minyak, menghantam segala apa yang disebut dengan
gerakan-gherkan teror, menyebarkan pangkalan-pangkalan perang
dibeberapan negara kawasan itu. Alasan yang dipakai adalah untuk menjaga
keamanan.[2]
Bagaimanapun umat Islam telah berhasil dikelabuhi oleh berbagai gerakan pemBaratan yang berakibat ada semacam trend
dikalangan umat Islam untuk meniru Barat dan merasa asing serta phobi
pada Islam sendiri. Dari segi sosial budaya umat Islam lebih menyukai
meniru Barat dalam banyak hal seperti model berpakaian, cara bergaulan,
bahasa dan simbol-simbol budaya lainnya. Kemudian ini juga berlanjut
dengan menganggap baik segala apa yang berasal dari Barat dan sebaliknya
menganggap yang dari Islam itu jelek dan ketinggalan jaman. Hal ini
cukup lama dirasakan sehingga keagungan Islam sendiri semakin tidak
dirasakan, bahkan oleh umat Islam sendiri.
Umat Islam pernah memimpin dalam hal ilmu pengetahuan. Ilmuan Islam
telah menemukan banyak hal, kemudian ilmu itu disusun dalam buku-buku
pengetahuan yang senantia dikembangkan melalui penelitian-penelitian.
Ilmuan besar seperti Abu Sina, al FArabi, Ibn Khaldun dll membuktikan
bahwa Islam pernah memimpin kejayaan ilmu pengetahuan. Namun seiring
dengan kemunduran Islam, para ilmuan Islam pun semakin sedikit dan malah
sumber-sumberi ilmu pengetahuan dalam ribuan buku dihancurkan dan
sebagian diambil pihak Barat untuk dikembangkan. Akhirnya kemudian yang
mengalami perkembangan pesat ilmu pengetahuan justru bukan golongan
Islam. Sehingga saat ini seolah-olah bahwa semua ilmu pengetahuan itu
berasal dari Barat. Meskipun harus diakui bahwa perkembangan lebih
lanjut ilmu tersebut, sehingga mencapai struktur yang baik dan mendalam
memang berasal dari sana. Karena memang kajian, penelitian serta
pengembangan ilmu pengetahuan memang sangat giat dilakukan di Barat.
Sedangkan negara Muslim sendiri tidak serius terhadap hal itu sehingga
senantiasa tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu
dan metodologi yang dikeluarkan juga merupakan produk Barat yakni
sekulerisme. Yang kemudian menghilangkan unsur ketauhidan dalam ilmu
pengetahuan.
Teknologi kemudian juga mengikuti pola yang sama. Karena pada
prinsipnya science today is technology tomorrow, sedangkan bangsa Muslim
memang sangat kurang penguasaan konsep keilmuan disamping tidak ada
uang dan tidak memiliki perhatian untuk pengembangan ilmu menjadi
teknologi. Maka semakin lengkaplah ketertinggalan umat Islam.
Industri yang berkembang dan dimiliki oleh negara Muslim sebenarnya
adalah industri yang tidak lebih untuk sekedar memenuhi kebutuhan yang
kebanyakan tidak pokok. Itupun selalu saja bahwa bahan-bahan baku harus
diimpor dari negara-negara kapitalis. Industri yang didirikan dan
mendapat bantuan asing memang tidak pernah bisa memandirikan negara
Muslim. Karena tetap saja ada ketergantungan pada negara Barat.
Jika mau ditelusuri kebelakang, ada banyak faktor yang menyebabkan
permasalahan yang begitu kompleks terjadi dengan umat Islam. Yang secara
garis besar berupa faktor eksternal dan internal.
FAKTOR EKSTERNAL
1. Gazwul Fikri
Yang dimaksud dengan invasi pemikiran (Ghazwul Fikri) adalah usaha
suatu bangsa untuk menguasai pemikiran bangsa lain (kaum yang diinvasi),
lalu menjadikan mereka (kaum yang diinvasai) sebagai pengikut setia
terhadap setiap pemikiran, idealisme, way of life, metode pendidikan,
kebudayaan, bahasa, etika, serta norma-norma kehidupan yang ditawarkan
kaum penginvasi.[3]Invasi pemikiran jelas-jelas bermaksud
merusak tatanan masyarakat Islam, mengganti norma dan budaya Islam
dengan Barat dan menjauhkan umat Islam dengan diennya sendiri. Garis
besar langkah kerja meraka adalah; (1) Merusak Islam dari segi aqidah,
ibadah, norma dan akhlak; (2) Memecah dan memilah kaum Muslimin di muka
bumi dengan sukuisme dan nasionalisme sempit; (3) Menjelek-jelekkan
gambaran Islam; (4) Memperdayakan bangsa Muslim dengan menggambarkan
bahwa segala kemajuan kebudayaan dan peradaban dicapai dengan memisahkan
bahkan menghancurkan Islam dari masyarakat.[4]
Yang terkait dengan ghazwul fikri ini antara lain adalah Zionisme,
Orientalis dan kristenisasi. Ketiga hal in sebenarnya berbeda dan belum
tentu saling terkait satu sama lain. Zionisme[5] merupakan
gerakan politik dari sebuah etnis Yahudi ekstrim, yang bertujuan
mendirikan negara bagi bangsa Yahudi di Palestina, sebagi batu loncatan
untuk meraih apa yang mereka cita-citakan, yaitu menguasai dunia dan
menciptkan pemerintahan Yahudi Raya. Pencetus gerakan ini adalah
Theodore Hertzel, seorang wartawan Austria keturunan Yahudi. Langkah
untuk mendirikan Negara Yahudi telah dilakukan 2 kali dengan mengirim
utusan ke Sultan Abdul Hamid II, sultan Islam di Turki Utsmani untuk
meminta wilayah Palestina. Namun ditolak mentah-mentah. Kemudian sejak
itu orang Yahudi bekerja keras untuk merongrong Kesultanan Turki dan
menghapuskan khilafah Islamiyah dari muka Bumi. Gerakan ini sangat giat
menyebarkan fitnah kepada umat Islam, merusak kesucian akidah Islamiah,
memunculkan keraguan dan penyerangan melalui media-media yang sangat
banyak mereka kuasai.
Orientalisme adalah kajian yang dilakukan oleh orang-orang Barat
terhadap negara-negara timur (khususnya Islam) mengenai budaya, sejarah,
agama, sosial, ekonomi, politik dan segala hal yang terkait dengannya[6].
Gerakan ini muncul sejak keberhasilan pasukan Islam mengasai Dunia
Barat, ketika saat itu Barat masih tenggelam dalam jaman kegelapan.
Mereka ingin mempelajari sebab-sebab kemenangan Islam, seluk beluk Islam
dan permasalahan yang ada didalamnya. Motivasi mereka adalah motivasi
imperialisme, menjauhkan umat dari Islam, juga motivasi ekonomi. Yang
bertujuan untuk menciptakan keraguan kepada Islam serta membangkitkan
Nasionalisme dan etnisme.
Kristenisasi secara bahasa adalah upaya untuk mengkristenkan orang
lain dan menyebarkan ajaran kristen keberbagai negara. Namun tujuan
mereka sebenarnya bukan cuma menjadikan orang masuk agama kristen, tapi
malah yang utama adalah mengeluarkan orang Islam dari keIslamannya.[7]
2. Sekulerisme
Pemisahan dengan sangat dikotomis antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu non-agama memang merupakan bagian dari upaya untuk
menghilangkan peran agama dalam masyarakat dan memunculkan keraguan akan
kebenaran agama. Sekulerisme menjadi sesuatu yang dianggap baik oleh
Barat karena secara historis ia terlahir dari perlawanan atas kejumudan
pemikiran gereja diabad pertengahan.
Pemahaman seperti ini masih banyak berada dalam kepala umat Islam.
Muh. Natsir mengungkapkan penentangannya kepada orang yang pro sekuler
yang menganggap bahwa Kemajuan Turki karena mereka memisahkan agama dari
kehidupan.
Kemal Pasha cs sekali-kali bukan mendapat kemenangan sesudah mereka
melemparkan hukum-hukum Agama, melainkan sebaliknya, mereka lemparkan
hukum-hukum agama sesudah kemenangan dan kekuatan ada ditangan mereka.[8]
Sekulerisme berdampak cukup serius kepada umat Islam, selain hilangnya kepahaman akan syumuliataul Islam
juga menjadikan agama hanya sebatas ritual-ritual semata. Agama yang
merupakan sumber terbesar dari energi serta aspirasi dan merupakan
pemandu menuju kehidupan yang bermakna diatas bumi ini menjadi begitu
berubah. Agama hanyalah urusan akhirat. Dan yang menyebar justru
kemudian hal-hal yang menyangkut dengan mistik, takhayul, dll. Demikian
Ali Syariati mengungkap dampak negatif dari sekulerisasi ini[9].
Mereka menganggap bahwa agama memainkan peranan negatif dalam
masyarakat karena mendorong rakyat untuk mengabaikan kehidupan aktual
dan material mereka. Unsur-unsur tersembunyi dan reaksioner sejalan
dengan tangan-tangan asing yang tak terlihat memanfaatkan kesimpulan
yang keliru ini dan menggunakan kekerasan untuk melawan rakyat dan
orang-orang yang tercerahkan.
3. Kapitalisme, materialisme, metode ilmiah-positifisme dan modernisasi
Hal-hal diatas muncul dan menjadi masalah besar bagi umat Islam
sebagai salah satu produk ghazwul fikri. Berawal dari temuan metode
ilmiah dan pengembangan iptek yang bersumberkan pada paradigma material
kemudian berlanjut dengan kapitalisme, yang merasuki sistem pembangunan
dan ekonomi umat Islam. Hal ini tidak menyebabkan kecuali semakin
terpuruknya umat Islam secara ekonomi dan politik. Maka yang terjadi
sekarang adalah imperialisme epistemologi[10] oleh Barat
kepada umat Islam. Keterbelakangan pada banyak hal menyebabkan umat
Islam terpaksa mengikuti pola ini sadar atau tidak untuk tetap bisa
bertahan hidup.
Rayuan mereka pada pembesar kaum Muslimin adalah dengan memberikan
pinjaman/hutang dan sebagai imbalannya mereka memperoleh hak investasi
ekonomi dan memasok negara Muslim dengan harta dan proyek ekonomi
melalui perusahaan dan kemudian mengendalikan prilaku ekonomi seperti
yang mereka kehendaki. Dan setelah itu mereka leluasa mengubah
aturan-aturan seperti pendidikan, hukum, pemerintahan sampai pada
peradaban[11].
Bahkan kemudian mereka memasukkan unsur-unsur merusak seperti WTS,
tempat-tempat hiburan, film, diskotek, sinetron, telenovela. Yang
kemudian ditiru justru oleh umat Islam sendiri.
Manusia yang sering menggambarkan dirinya sebagai orang-orang modern
yang kini mendominasi peradaban dunia, adalah jenis manusia yang
mengabdikan diri dan hidupnya untuk materi atau materialime, sebuah
bentuk paganisme yang juga telah ada sejak dahulu. Karena itu
aspek-aspek peradaban yang dibangun, seperti hukum, politik, ekonomi,
etika dan bahkan kesadaran sosial pun bercorak materialisme. Karena itu
semua produk peradaban yang ada senantiasa memperbudak dan menindas.[12]
4. Ancaman berupa sanksi ekonomi, perdagangan maupun politik (hubungan luar negari)
Hal ini lebih mengerikan lagi. Sudah mengarah kepada menimbulkan rasa
ketakutan yang berlebihan kepada pihak Barat, khususnya Amerika dengan
PBB-nya. Sehingga banyak menghalangi tindakan ataupun sikap umat Islam
menanggapi sebuah permasalahan maupun isu. Karena apabila macam-macam
saja dengan Amerika dan cs-nya, alamat negara tidak akan tentram dalam
waktu yang lama. Secara psikologis bangsa-bangsa Muslim memang masih
terjajah.
FAKTOR INTERNAL
1. Runtuhnya Khilafah
Keruntuhan Daulah Islamiyah melalui pembubaran Khalifah oleh Mustapa
Kamal tanggal 3 Maret 1924, kemudian diikuti oleh pemisahan agama dan
negara dan model-model sekuler lainnya telah merusakkan dan
mencabik-cabik umat Islam. Setelah itu seolah-olah Islam benar-benar
telah hancur dan tidak akan pernah seperti itu lagi. Dan langkah ini
malangnya kemudian seolah menjadi preseden bagi umat Islam untuk mulai
meninggalkan ajarannya.
Dengan begitu dia telah mencerai beraikan paji-panji Islam yang
menjadi tempat bersatu kaum Muslimin sejak empat belas abad yang lalu.
Kini merekapun berpecah belah dan menyebar pada jalan yang berbeda-beda
laksana domba di malam yang hujan. Lalu akhirnya kawanan serigala
menerkam kelompok yang tercerai berai itu.
Demikian ‘Abdullah ‘azzam menceritakan kehancuran Khilafah Islamiyah[13].
Sebenarnya kehancuran ini bukan semata-mata karena faktor luar, tapi
karena memang telah terbangun kebobrokan yang besar disana sehingga
memang mencenderungannya kepada kehancuran. Dalam risalah Hari Ini dan
Kemarin, Hasan al Banna mengatakan bahwa ada 7 faktor penghancur
eksistensi Daulah Islamiyah. Yakni, (1) Pergolakan politik, fanatisme
kesukuan, perebutan kekuasanan dan ambisi terhadap kedudukan. (2)
Pertentangan agama dan mazhab. (3) Tenggelam dalam aneka bentuk
kemewahan dan kenikmatan. (4) Terjadinya transformasi kekuasaan kepada
bangsa non Arab yang belum mengeyam Islam dengan penghayatan yang benar.
(5) Mengabaikan ilmu-ilmu terapan, ilmu kauniyah. (6) Banyak penguasa
yang lengah oleh kekuasaannya, tertipu oleh kekuatannya dan tidak
memperhatikan perkembangan sosial. (7) Tertipu oleh tipu daya
musuh-musuhnya, kagum dan taklid terhadap apa yang mereka perbuat.[14]
2. Perpecahan Umat Islam dan kurang Ukhuwah
Dijadikannya negara Muslim menjadi banyak dan kecil-kecil menjadikan
umat Islam selalu dalam keadaan berpecah belah. Sehingga negara Muslim
lebih banyak disibukkan dengan perebutan batas negara dan munculnya
paham sukuisme dan nasionalisme sempit.
Diungkapkan Fathi Yakan[15]:
Sampai saat ini semua peranan bangsa Arab dan Islam hanya berada di pinggiran. Hampir tidak diperhitungkan dalam menghadapi percaturan tatanan Dunia Baru. Perpecahan bangsa Arab dan Islam, tidak adanya proyek Arab atau islam yang berskala internasional, menjadikan semua proyek Arab dan Islam hanya bersifat lokal dan sektarian. … permasalahan palestina, selalu tunduk pada kebijaksanaan politik nasional dan kepentingannya sehingga tidak memiliki dimensi Arab, apalagi dimensi Islam.
Sampai saat ini semua peranan bangsa Arab dan Islam hanya berada di pinggiran. Hampir tidak diperhitungkan dalam menghadapi percaturan tatanan Dunia Baru. Perpecahan bangsa Arab dan Islam, tidak adanya proyek Arab atau islam yang berskala internasional, menjadikan semua proyek Arab dan Islam hanya bersifat lokal dan sektarian. … permasalahan palestina, selalu tunduk pada kebijaksanaan politik nasional dan kepentingannya sehingga tidak memiliki dimensi Arab, apalagi dimensi Islam.
3. Fanatisme Mazhab
Bahkan hingga sekarangpun umat Islam masih sering terjebak dengan
pembahasan permasalah Mazhab yang notabene adalah permasalahan furu’
(cabang). Yang lebih sering perbedaan ini menimbulkan perpecahan, walau
banyak yang mengikuti mazhab dengan taklid bukan ‘ala bashira.
Pada kajian-kajian keislaman kemudian juga lebih membahas permasalahan
perbedaan mazhab dan seringnya mengarah pada menjelekkan mazhab yang
lain. Seolah surga hanya untuk mazhabnya sendiri. Perdebatan qunut dan
tidak qunut justru kadang lebih sering dilakukan meski sudah tahu bahwa
itu tidak akan selesai kecuali dengan menimbulkan ‘luka’, apalagi
permasalahan presiden wanita. Hal ini kemudian menjadikan umat Islam
tidak mau bekerja sama untuk menegakkan Islam. Justru lebih senang
bergaul dengan orang sekuler atau non Islam. Ini jelas tidak
menguntungkan Islam. Padahal perbedaan semacam ini adalah sebuah
keniscayaan. Yang harus dilakukan justru adalah berhimpun bukan
berpecah-belah.
4. Pluralisme Gerakan
Sebenarnya banyaknya gerakan Islam bisa menjadi suatu sinergi dakwah
jika saja semua elemen itu memiki visi bersama dan melakukan gerakan
dengan landasan kebersamaan, profesionalisme dan spesifikasi gerakan.
Namun karena tidak ada misi bersama, yang terjadi saat ini adalah
masing-masing gerakan bekerja nafsi-nafsi yang kadang-kadang overleap sehingga tidak optimal. Bahkan banyak yang bertentangan secara diametral sehingga justru malah menghasilkan resultan yang lebih kecil karena saling melemahkan. Dan malangnya, kadang bukannya fastabiqul khairat
malah saling menyikut, saling menyalahkan dan mengkafirkan. Lihatlah
bagaimana Salafy begitu sering menghujat Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh
dan Ikhwanul Muslimin, begitu juga sebaliknya. Atau kalau di Indonesia
bagaimana NU, Muhammadiyah, dan Persis. Boro-boro untuk maju bersama,
malah sibuk dengan mencari kesalahan orang lain?
5. Tingkat Intelektualitas
Keterpurukan ekonomi biasanya memang dibersamai dengan kurangnya
intelektual di sana. Kepengarangan ilmiah dari negara-negara Muslim
tidak ada yang mencapai 0.3% dari seluruh karya ilmiah dunia. Bahkan
jika digabungkan pun jumlahnya juga tidak mencapai 0.5%. dari seluruh
dunia yagn menghasilkan 352.000 karya ilmiah, negara-negara Muslim hanya
3.300, sedangkan Israel 6.100 buah.[16]
Yang sangat terkait dengan itu adalah pendidikan. Tingkat pendidikan
dunia Islam masih sangat memprihatinkan. Sistem pendidikan dinegara
Muslim selama ini adalah sistem yang mengadopsi Barat yang penuh dengan
sekulerisme dan menimbulkan keraguan pada umat Islam tentang ajaran
agamanya. Disekolah justru para pemuda Islam diasingkan dengan ajaran
Islam. Kepala mereka diisi dengan pemikiran-pemikiran Barat. Pemuda
Islam tidak diajarkan bagaimana sejarah masa lampau dan kejayaan
agamanya. Malah diberikan keraguan terhadap kesempurnaan Islam melalui
kebohongan-kebohongan dan membelokan sejarah. Bangsa Barat medirikan
institut-institut kebudayaan mereka. Hal ini bertujuan melepaskan pemuda
Muslim dari warisan budaya Islam dan mengagungkan apa saja yang berbau
Barat. Meremehkan agama dan minder dengan identitas keIslamannya. Mereka
yakin bahwa semua yang datang dari Barat adalah sesuatu yang baik dan
ideal.[17]
6. Salah persepsi terhadap Ajaran Islam
Dampak lain dari keberhasilan sekulerisasi dan keminderan dengan
identitas Islam adalah merosotnya pemahaman Muslim terhadap konsep Islam
sendiri. Kesempurnaan (syamil mutakammil) Islam tidak dikenal
lagi. Sehingga terjadi kerancuan dan kekaburan makna dan persepsi
terhadap ajaran Islam. Tentang Jihad seolah-olah diartikan sebagai
perperangan. Seolah Islam disebarkan dan berkembang dengan semboyan
‘Quran ditangan kiri dan pedang ditangan kanan’. Yang ternyata justru
menakutkan bagi kaum Muslimin sendiri. Begitu juga dengan konsep dakwah
yang seolah berarti seorang yang ceramah kesana kemari sehingga hanya
NATO (no action, talk only). Selain itu dakwah seolah
otoritasnya ustadz, kyai dan mubaligh saja. Begitu pula kesalahan
persepsi tentang penghargaan terhadap kaum wanita, tentang kenegaraan,
tentang ilmu pengetahuan juga tentang muamalah seperti jual beli dan
riba, hukum waris.
7. Kurangnya komitmen melaksanakan ajaran Islam
“Integritas kultur Islam dan kesatuan way of life Islam
terpecah-pecah di dalam diri mereka, di dalam pemikiran dan aksi mereka,
di dalam rumah dan keluarga mereka.”. Jauhnya umat Islam dari kehidupan
Islami menyebabkan ajaran-ajaran Islam menjadi sesuatu yang aneh justru
bagi kaum Muslimin sendiri.
8. Gap antara kaum terpelajar dan kelas bawah
Munculnya kaum intelektual Muslim adalah sebuah kemajuan bagi aset
pengembalian peradaban. Namun sayangnya orang-orang intelektual ini
masih terlalu melangit. Hanya sibuk dengan diri dan intelektualitasnya
saja tanpa memandang kepada permasalahan konkrit yang dihadapi umat saat
ini. Terdapat pula diantara kaum intelektual ini orang yang telah sadar
akan apa yang menimpa umat Islam dan telah memikirkan pula
langkah-langkah yang harus dilakukan. Namun terdapat kegagalan dalam
mensosialaisasikan dan mengkomunikasikan hal itu kepada kebanyakan umat.
Intelektual ini gagal menyadarkan umat dengan kesadaran yang telah ia
peroleh. Sehingga terkesan perjuangan elit, bukan perjuangan umat.
GELIAT ITU MULAI TAMPAK
1. Kelahiran Ikhwanul Muslimin (IM) dan Jama’atul Muslimin
Pada tahun 1928, seorang guru sekolah berusia 22 tahun bernama Hasan
al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin, gerakan paling berpengaruh pada
abad kedua puluh yang mengarahkan kembali masyarakat muslim ke tatanan
Islam murni. Al Banna mengubah mode intelektual elite menjadi gejala
popular yang kuat pengaruhnya pada interaksi antara agama dan politik,
bukan saja di mesir, namun juga di dunia Arab dan dunia Muslim.[18]
Tujuan ikhwan sebenarnya terbatas pada pembentukan generasi baru kaum
beriman yang berpegang pada ajaran Islam yang benar, dimana generasi
tersebut akan bekerja untuk membentuk bangunan umat ini dengan shibghah Islamiyah dalam semua aspek kehidupannya. Dan mengembalikan eksistensi khilafah sebagai agenda utama dalam manhajnya. “Kendati demikian, Ikhwanul Muslimin juga menyakini bahwa semua itu membutuhkan banyak persiapan yang harus diwujudkan.”[19]
Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada
dasawarsa-dasawarsa terakhir. Interpretasi Islamnya menjadi fondasi
pemikiran kebangkitan Islam kontemporer. Pemikirannya banyak
mempengaruhi para pemikir Islam seperti Sayyid Qutb di Mesir sampai
aktivis kebangkitan Islam di Aljazair, Iran, Malaysia atau Sudan[20].
Jama’at-I Islami (Partai Islam) berdiri pada 26 Agustus 1941 di Lahore
merupakan gerakan religio-politik Islam tertua dari jenisnya[21].
Sejak berdirinya partai ini berjanji akan menciptakan tatanan yang
didambakan dialam temporal ini dan mendorong kaum Muslim untuk memulai
revolusi Islam, untuk membentuk masyarkata dan politik yang sesuai
dengan ajaran agama seperti yang diinterpretasikan maududi[22].
Tujuan jangkan pendek partai ini adalah menjaga kepentingan Islam
diarena politik, dan mengupayakan agar kekuatan sekular tidak melakukan
konsolidasi kekuasaan. Gerakan lain yang juga dapat dijadikan salah satu
bentuk kebangkitan Islam adalah Revolusi Iran dengan Khameini[23]
2. Munculnya tokoh-tokoh intelektual pembaharu Islam
Perlawanan terhadap kondisi terpuruk umat Islam yang paling dikenal
adalah perjuangan seorang tokoh Muslim Jamaludi al Afgani (1838/9-1897).
Beliau salah satu tokoh yang menyatakan kembali tradisi Muslim dengan
cara yang sesuai dengan berbagai problem penting yang muncul akibat
Barat semakin mengusik Timur Tengah diabad ke 19. Dengan menolak
tradisionalisme murni yang mempertahankan warisan Islam secara tidak
kritis disatu pihak dan peniruan membabi buta terhadap Barat di lain
pihak. Afgani menjadi perintis penafsiran modern, seperti penggunaan
akal, aktivisme politik, serta kekuatan Islam[24].
Al Afghani menyerukan lewat pidatonya seruan anti inggris, yang
karenanya ia diusir dari Mesir. Ia juga mendorong pada pengikutnya tahun
1870-an untuk menerbitkan koran yang disana mereka menyebarkan
pemikiran mereka. Pemikiran-pemikiran al Afghani ini kemudian banyak
ditiru oleh murid-muridnya seperti Muhammad ‘Abduh dan juga Ikhwanul
Muslimin.
Muhammad ‘Abduh menyadari kemunduruan masyarakat Muslim bila
dikontraskan dengan masyarakt eropa. Menurut analisisnya, kondisi lemah
dan terbelakang ini disebabkan oleh hegemoni eropa yang mengancam
eksistensi masyarakat Muslim dan juga oleh realitas internal seperti
situasi yang diciptakan oleh kaum Muslim sendiri[25].
Mirip dengan yang dikatakan Afghani, ‘Abduh beranggapan bahwa Eropa
bagaimanapun harus dilawan karena mereka adalah agresor yang ingin
merebut negeri bangsa lain. Orang mesir menderita karena tidak
membedakan mana yang menipu dan mana yang tulus, mana yang benar dan
mana yang berdusta. Untuk memulai pembaruan, menurut Muh ‘Abduh kita
perlu kembali kepada pokok-pokok iman yang dipandang sebagai Islam yang
sebenarnya oleh berbagai mazhab, berbagai kelompok. Dia menyerukan agar
digunakan tradisi yang terbaik dan agar taklid buta dikutuk, karena
merintangi kemajuan. ‘Abduh membuat tafsir al Quran, karena baginya
prinsip yang menjadi dasar dari kebangkitan bangsa merupakan kepercayaan
pokok bahwa risalah al Quran bersifat universal dan meliputi segalanya.
Beliau juga concent dengan isu pendidikan dengan mengkritik
sekolah modern yang didirikan oleh misionaris asing dan juga mengkritik
sekolah yang didirkan pemerintah. “Katanya, disekoah misionaris siswa
dipaksa mempelajari Kristen sedangkan di sekolah pemerintah siswa tidak
diajar agama sama sekali.”[26] Nama-nama lain yang kemudian muncul adalah Sayyid Quthb dan Ali Syariati.
3. Lahirnya para aktivis dakwah yang mentransformasikan nilai Islam kedalam masyarakat secara langsung
Kelahiran perlawanan terhadap usaha Yahudi untuk menguasai Palestina
yang kemudian dikenal dengan Hamas dan intifadhah adalah juga merupakan
wujud kesadaran realitas. Mereka dengan kemampuan seadanya berusaha
dengan banyak cara selain untuk menghancurkan musuh juga menyadarkan
masyarakat dunia akan penderitaan Muslim di sana.[27] Di
Turki fenomena kebangkitan Islam terwujud dalam semakin bersaingnya para
pelaku ekonomi Islam yang menggunakan syariat Islam, dan kemudian
eksisnya partai Politik Islam Reefah yang sempat memenangkan pemilu
meskipun kemudian militer-sekuler menurunkannya. Begitu pula dengn FIS
di Aljazair merupakan perwujudan semakin banyaknya kelompok Islam yang
mencoba mentransformasikan nilai-nilai keislaman kedalam realitasnya
masing-masing.
Di Indonesia sendiri, fenomena mulai bangkitnya kesadaran umat
ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh cendikiawan Muslim, Hidayat
Nurwachid dan Amien Rais adalah salah dua contohnya. Begitu pula dengan
kelahiran ICMI diawal 80-an dianggap sebagai wujud semakin diseganinya
kaum Muslimin Indonesia. Dan terakhir kemunculan partai partai Islam
dalam pemilu 1999, meski saat ini belum memberikan signifikansi yang
besar.
Dalam taraf internasional muncul pula tokoh-tokoh Muslim yang dikenal
tidak cuma karena gagasannya terhadap Islam, tapi juga tidak sedikit
karena keahlian dan profesionalitasnya di bidang masing-masing. Sebut
saja Ismail Raji al Faruqi, Ziauddin Sardar, Syed Hossein Nasr, Fazlur
Rahman dan Abdus Salam. Bahkan yang terakhir ini juga meraih nobel
fisika. Penokohan dibarengi pula denga munculnya pusat-pusat kajian
Islam dan perkumpulan/organisasi Muslim, The International Institute of
Islamic Thought (IIIT), World Assembly of Muslim Youth (WAMY), Islamic
Federation of Student Organizations, National Hijrah Committee. Belum
lagi penerbitan dan jurnal yang terkait dengan studi-studi keIslaman
yang begitu banyak. Yang dengan teknologi juga dengan mudah didapatkan
situs-situs Islam di internet.
- Diskusi-diskusi dikalangan intelektual Muslim juga dihiasi dengan
ide-ide besar seperti Islamisasi ilmu pengetahuan, dan upaya
konteksualisasi ajaran Islam dengan mengkomparasikannya dengan konsepsi
Barat seperti demokrasi, gender, sistem perekonomian, parlemen,
perbankan dll. Semuanya dengan kesadaran bersama bahwa hal tersebut
dalam rangka membentuk peradaban Islam.
- Maraknya gerakan back to Islam, seperti jilbab, pengkajian Islam
(Tekstual maupun kontekstual), bank syariah, sufi modern. Dan yang
sangat serius dalam hal ini lebih banyak kaum muda Muslim. Kesadaran,
pemahaman dan ghirah berIslam ini menjadikan mereka memiliki
kebanggaan Islam dan izzah yang tinggi. Dan yang tidak kalah menonjolnya
adlah upaya pembuktian konkrit akan keunggulan Islam sperti menjalanlan
sistem perbankan syariah dan telah terbukti dibeberapa tempat lebih
baik dan menguntungkan seperti Malaysia, kepartaian seperti di turki dan
aljazair. Karena memang saat ini umat membutuhkan bukti, tidak sekedar
janji-janji dan impian serta romantisme masa lalu.
MENUJU PERADABAN ISLAM, SOLUSI ALTERNATIF
Sampai dengan tercapainya cita-cita membentuk peradaban Islam
membutuhkan waktu yang lama, bahkan beberapa generasi. Namun
bagaimanapun hal itu harus dimulai sejak sekarang. Dan selain waktu yang
lama juga dibutuhkan pemikiran yang mendalam dan intelektual muslim
yang berkualitas. Karenanya upaya ini harus senantiasa dikontinukan dan
harus ada pewarisan ide dan langkah kerja.
Merekayasa pekerjaan untuk membangun kembali peradaban Muslim
membutuhkan perumusan baru dalam pendekatan terhadapa Islam sebagai
peradaban. Hanya dnegna mendekati Islam sebagai peradaban masa depan,
kita bisa sungguh-sungguh berbuat adil kepad dien Islam. Lebih dari itu
rekonstruksi peradaban Muslim, secara esensi merupakan suatu proses
elaborasi pangadngan dunia Islam. Ia adalah proses pemberian format dan
sekaligus transformasi terus-menerus untuk mengubah fakta-fakta menjadi
nilai-nilai; aksi-aksi menjadi tujuan-tujuan; dan harapan-harapan
menjadi kenyataan-kenyataan.[28]
Untuk mencapai tujuan bersama peradaban Islam, sekiranya ada beberapa hal-hal penting sebagai piranti utama dari peradaban itu.
Islamisasi Pengetahuan
Pada era modern saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan sudah sangat
pesat. Namun diakui bahwa itu semua dikembangkan sangat banyak oleh
orang Barat, bukan kaum muslimin. Ilmu pengetahuan seolah menjadi
senjata yang sangat ampuh untuk menaklukkan alam semesta. Begitu
strategis peran ilmu pengetahuan ini. Para intelektual muslim mulai
menyadari hal tersebut dan muncullah kemudian upaya islamisasi
pengetahuan. “karena pilar peradaban modern adalah ilmu pengetahuan maka
sejumlah pemikir merasa sangat berkepentingan untuk menelaah kembali
ilmu pegetahuansecara kritis. Para pemikir memandang strategis untuk
memberi prioritas yang besar dan utama terhadap pengembangan ilmu demi
memcahkan problem diatas. Kalangan ilmuan Muslim mersaperlu melakukan
revitalisasi peradaban (c.q. ilmu pengetahuan) dengancara langkah:
Islamisasi ilmu”[29]. Gagasan Islamisasi ini dipelopri oleh
Islamil Raji al Faruqi dengan lontaran gagasannya melalui Islamization
of Knowledge dalam The First International conference of Islamic Thought
dan Islmization of Knoledge (Islamabad, 1982). Ia juga mendirikan The
International Institute of Islamic Thought (1981) di Washington.
Mengenai pemaknaan Islamisasi pengetahuan sampai sekarang masih dalam
perdebatan, tokoh-tokoh yang memiliki pandangan yang berbeda tentang
Islamisasi pengetahuan ini dapat diwakili oleh Islamil Raji al Faruqi,
Ziauddin sardar, Pervez Hoodbhoy, Fazlur Rahman.
Al Faruqi menyatakan bahwa pengetahuan modern menyebabkan adanya
pertentangan wahyu dan akan dlam diri umat Islam, memisahkan pemikiran
dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena itu
diperlukan Islamisasi ilmu dan upaya itu haurs beranjak dari tahudi. Ilm
pengetahuan Islami selalu menekankan adanay kesatuan alam semesta,
kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup[30]
Fazlur Rahman penanggapi ide ini dengan pendapat yang berbeda. Rahman
berpendapat bahwa kita tidak perlu melakukan Islamisasi ilmu. Yang
perlu kita lakukan adlah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang
memiliki kapasitas berpikir konstruktif dan positif. Tampaknya Rahman
sangat mementingkan untuk menghasilkna manusia manusia-manusia yang
mempunyai kapasitas keilmuan yang cukup baik dan dengan begitu
sacarakotamatis akan dihasilkan manusia yang mampu menghasilkan karya
secara nyata. Ziauddin Sardar juga sepakan dengan usualan Al Faruqi
meski berbeda mengenai langkah-langkahnya. Menurut sardar langkah yang
harus dilakukan adlah dengan membangun pandangan dunia (world view)
Islam dengan titik pijak utama membangaun epistemologi Islam. Sardar
justru menghawatirkan dengan langkah Al Faruqi malah adalah westernisasi
Islam, bukan Islamisasi pengetahuan.
Al Faruqi sendiri mengusulkan 12 langkah utnuk Islamisasi ilmu yakni
(1) penguasaan disiplin ilmu pengetahuan modern, (2). survei disiplin
ilmu, (3). penguasaan khazanah Islam: sebuah Ontologi, (4). penguasaan
khazanah ilmiah Islam: sebuah sintesa, (5) penentuan relevansi Islam
yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu, (6). penilaian kritis
terhadap ilmu modern, 7 penilaian kritis terhadap khazanah Islam, (8).
survei permasalahanyang dihadapai umat Islam, (9) survei permasalahan
yang dihadapi umat manusia, (10) analisis kreatif dan sintesis, (11)
penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan (12)
penyebarluasan ilmu yang telah diIslamisasikan itu.
Pandangan berbeda dikemukakan oleh Dr. Thaha Jabir al alwani, beliau
menganggap yang diperlukan pada ilmu pengetahuan saat ini adalah taujih (pengarahan) sehingga sasaran dan tujuan ilmu-ilmu itu diarahkan dengan arahan yang Islami.
Misalnya semua ilmu pengetahaun dan persoalan pemikiran yang
berkaitan dengan objek-objek ilmu alam fenomena, sifat materi,
karakteristik dsb. adalah temasuk masalah bersama antara kita dan
seluruh umat manusia. Metodenya terlihat jelas dengan sifat kenetralan
yang bersifata ilmiah; karena masalah ilmu alam didasarkan atas
eksperimen yang dapat dilihat dan dirasakan denga kehidupan materi.”[31]
Apapun cara dan langkah serta pemahaman tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan, yang jelas yang diinginkan bersama adalah bahwa umat Islam
dapat menguasai ilmu pengetahuan sehingga dengan itu dapat lebih
mensejahterakan umat dan menggunakan ilmu pengetahuan untuk kepentingan
kebaikan dan kebahagian umat manusia. Dan dengan ilmu pengetahuan dapat
lebih mendekatkan manusia kepada penciptanya dan lebih mengetahui
tentang hakikat alam semesta, termasuk dirinya. “Ilmu pengetahuan adalah
hikmah yang hilang dari umat Islam, oleh karena itu umat Islam harus
mengambilnya dimanapun ditemukan”.
Konsekuensi dari penguasaan ilmu pengetahuan adalah penguasaan teknologi.
Hal ini sangat membantu umat Islam dalam upaya mensejahterkan umat
Islam. Tanpa struktur pengetahuan yang baik, teknologi tidak bisa
dikuasai secara penuh, pengalaman dibeberapa negara yang hanya mengcopy paste
teknology bangsa lain hanyalah menghasilkan teknologi yang senantiasa
bergantung pada orang lain. Sedangkan pengembangan teknologi sendiri
berhenti karena tidak punya landasan keilmuan. Sehingga senantiasa
menjadi pengguna teknologi, bukan pengembang dan senantiasa tertinggal
dari negara lain. Kondisi Negara Muslim saat ini masih sangat rendah
penguasaan teknologinya. Hal ini memang membutuhkan waktu yang cukup
lama. Tapi hal ini menjadi landasan bagi kemandirian negara Muslim.
Intelektualitas muslim tidak cuma diartikan dengan munculnya muslim berkualitas tinggi. Tapi juga membutuhkan kuantitas yang tidak sedikit.
Kuantitas intelektual ini terkait pada lapangan kerja dan tenaga ahli.
Kurangnya tenaga ahli muslim terkadang memaksa untuk tetap saja
mengimpor sumber daya dari luar sedangkan orang pribumi hanyalah buruh
kelas rendah dengan gaji yang rendah pula.
Kemandirian ekonomi negara Muslim
Kemandirian ekonomi negara Muslim adalah hal yang seharusnya
dijadikan hal penting. Meski saat ini kondisi perekonomian hampir
disemua negara Muslim dalam kondisi memprihatinkan, namun basis-basis
bagi kemandirian itu harus ditanamkan dengan kokoh. Selain iptek yang
tak kalah penting adalah pertanian mengarah pada swasembada, kemudian
usaha-usaha bagi pemenuhan kebutuhan primer masyarakat[32].
Hal terakhir ini sangat penting dalam kemandirian dan independensi
negara-negara Muslim. Kita mana mungkin bisa lantang menyuarakan
kebenaran jika itu terkait dan dapat menyinggung perasaan negara donor
atau negara tempat mengimpor bahan pokok. Selain itu pembangunan yang
butuh banyak dana dapat dilakukan dengan kebersamaan sesama negara
Muslim. Meski uang negara muslim tidak sebanyak IMF atau World Bank.
Tapi hal ini akan menjamin independensi dan semangat kemandirian negara
muslim.
Tugas yang tak kalah penting dan mendesak adalah membentuk pribadi-pribadi yang memiliki loyalitas yang tinggi kepada Islam yang berlandaskan atas pengetahuan (‘ala Bashira) yang utuh terhadap ajaran Islam. Pembentukan syakhsiyah islamiyah ini harus dilakkan secara terus menerus dengan intens,
karena pribadi-pribadi inilah yang akan mengisi, bekerja dan berjuang
membangun peradaban muslim. Kepribadian yang dimaksud adalah juga
melingkupi pola fikir dan tingkah laku yang mencerminkan pelaksanaan
nilai-nilai keislaman secara kaaffah. Dari pribadi-pribadi Islam akan
terbentuk keluarga yang islami yang membina keluarganya secara islami
dan melahirkan kader dakwah, dari keluarga ini akan tercipta masyarakat
yang islami dan kemudian akan membentuk kebudayaan Islam dan pada
muaranya akan tercipta peradaban Islam.
Menjadi orang yang tercerahkan (dapat
menyatu dengan masyarakat menghilangkan gap intelek non intelek). Dr Ali
Syari’ati menyatakan bahwa seorang intelektual haruslah mampu
mengkomunikasikan ide dan keintelektualannya kepada masyarakat, yang
dengan itu ia lebih mudah membangun masyarakatnya. Beliau menyebut
orang-orang seperti ini dengan sebutan orang-orang yang tercerahkan.
Siapakah orang yang tercerahkan itu? Pendeknya, orang yang tercerahkan adalah iorang yang sadar akan ‘keadaan kemanusiaan’ (human condition)
di masanya, serta setting kesejarahnnya dan kemasyarakatnnya. Kesadaran
semacam ini dengan sendirinya akan memberinya rasa tanggung jawab
sosial. Jika kebetulan ia termasuk kalangan terpelajar, maka ia akan
lebih berpengaruh; dan jika tidak, maka kurang pula pengaruhnya.[33]
Mereka bertujuan untuk memberikan kepada ummatnya suatu keyakainan
bersama yang dinamis yang membantu mereka untuk menacaapai kesadaran
diri dan merumuskan cita-cita mereka. Dengan demikian maka intelektual
adalah bukan sekelompok elit seperti menara gading yang bercerita dan
berangan-angan tentang peadaban Islam namun gagal mentransformasikan hal
itu kedalam masyarakat dalam bentuk-bentuk yang nyata. Termasuk
diantaranya adalah organisasi gerakan Islam. Organisasi maupun LSM
muslim harus mampu membumi dan menyatu dengan rakyat sehingga gagasan
yang muncul bisa dengan cepat tertransfer kedalam masyarakat Islam.
Gerakan Islam bukanlah semata gerakan elit[34].
Membentuk jaringan dan kerjasama antar gerakan dan elemen organisasi Islam.
Lembaga, pusat studi dan kajian serta ormas Islam harus memiliki
jaringan yang kuat dan luas sehingga informasi dan ukhuwah dapat
senantiasa terbina. Dari sana kemudian gagasan kemajuan Islam dapat
disintesiskan dan kerja serta gerakan dapat disinergiskan sehingga
dakwah bisa lebih optimal. Dari sana kemudian dapat senantiasa dilakukan
kerjasama (lokal, nasional dan internasional) sehingga pengaruh bisa
lebih besar lagi. OKI seharusnya bisa lebih diberdayakan utnuk lebih
mengoptimalkan gerakan Islam internasional.
Dengan bekal jaringan dan kerja sama global ini dapat dilakukan
upaya-upaya nyata pembumian ajaran Islam dengan mempraktikkan ajaran
Islam secara utuh, tanpa adaptasi produk sekuler. Pendirian bank syariah
misalnya dapat dilakukan dengan kerjasama global dunia Islam sehingga
bisa lebih berpengaruh. Begitu pula sistem perdagangan. Dan dengan
mempraktekkan secara nyata ini juga sarana untuk membuktikan kepada
seluruh manusia akan keunggulan ajaran Islam. Umat Islam harus mampu
membuktikan bahwa bank syariah dan sistem perdagangan Islam lebih
unggul, menguntungkan dan profesional, melalui persaingan secara sehat
dengan sistem kapitalisme.
Konsentrasi memperbaiki pendidikan juga menghapus sekulerisasi dari akar-akarnya.
Islamisasi ilmu juga harus pula dibarengi dengan upaya memperbaiki
kebobrakan sistem pendidikan. Hal ini mutlak dilakukan karena dari
pendidikan inilah generasi muda dibentu. Semua tokoh pembaharu dan
penyokong gagasan islamisasi sains sepakat bahwa perbaikansistem
pendidikan adalah hal yang urgen bagi terbentuknya peradaban Islam.
Bahkan Sardar menulis bab khusus bertajuk “merumuskan kembali konsep
universitas Islam”. Bagaimanapun sistem pendidikan masih didominasi oleh
pemikiran sekulerisasi. Oleh karena itu perlu usaha keras untuk
melakukan perbaikan sistem.
Ukhuwah Islamiyah, bagaimana menghapuskan perselisihan panjang antar negara Muslim.
Jika itu menyangkuy egoisme, nasionalisme sempit kesukuan, maka
persatuan umat Islam tidak akan terwujud. Yang harus dibangun adalah
kesadaran bahwa umat Islam saat ini tengah dalam kondisi terpuruk, oleh
karenanya umat Islam harus berupaya menegakkan kembali izzah Islam dan
hal itu membutuhkan banyak energi, oleh karenanya sangat dibutuhkan
persatuan dan persaudaraan dikalangan umat Islam sehingga dapat dibentuk
sinergi. Sehingga negara-negara muslim juga harus berupaya bekerja sama
dalam banyak bidang yang itu dapat lebih mengoptimalkan usaha
mengembalikan kejayaan Islam.
Tentu saja bahwa selalu ada saja berbedaan diantara kaum muslimin,
baik itu suku, negara, mazhab dll, namun hendaklah kita bekerjasama
dalam hal yang disepakati dan bertoleransi dalam hal yang berbeda.
Karenanya tidak ada saling jegal dan menjatuhkan antar negara muslim
sendiri.
Tindak lanjut dari adanya kesatuan dan kekeluargaan itu adalah harus
ada upaya memunculkan kesadaran akan urgensi gerakan yang kontinu dan
kebangkitan kolektif umat itslam. Karenanya forum-forum yang
menghubungkan negara-negara muslim seperti OKI harus betul-betul mampu
membangun visi bersama umat Islam dan menjaga stamina gerakan persatuan
dan persaudaraan.
Perlu pula mengembangkan gerakan dan organisasi dakwah berskala internasional
yang dalam pengelolaan dan strukturnya tidak serumit membangaun pola
hubungan negara-negara. Gerakan atau oragnaisasi ini lebih mudah untuk
menyatukan visi dan fikrah dakwah dari anggotanya meskipun lintas
negara. Hal ini akan lebih dapat menyatukan umat Islam dalam
persaudaraan dan kasih sayang. Telah ada gerakan dakwah internasional
seperti Hizbut Tahrir, Salafy, Ikhwanul Muslimin, Tabligh dll. Gerakan
seperti ini relatif lebih mampu membangun solidaritas dikalangan muslim,
membangun perasaan senasip meski beda negara, bahkan perhatian yang
besar terhadap kondisi, penderitaan dan perkembangan muslim ditempat
lain. Dan gerakan semacam ini tidak akan terkendala dengan faham
nasionalisme sempit. Pemahaman gerakan ini terhadap nasionalisme adalah
dimana ada kaum muslimin, itulah tanah air Islam. Baik organisasi
pergerakan maupun negara muslim memang harus memiliki misi besar dan
bersama yakni menegakkan peradaban Islam dan penegakan syumuliatul Islam
serta mewujudkan daulah Islamiyah ‘alamiyah. Negara maupun
PENUTUP
Demikianlah, bahwa dengan kondisi yang terjadi denganumat Islam saat
ini, permasalahannya yang kompleks tidak boleh menjadikan umat berputus
asa, malah hal ini menjadi tantangan besar bagi umat, khususnya
intelektual muslim untuk mengupayakan tercipanya kesadaran bersama dan
usaha-usaha berbaikan yang sinergi antar seluruh elemen muslim. Dan
hanya dengan bersungguh-sungguh sajalah langkah-langkah menuju
terbentuknya peradaban Islam dan pengembalian kejayaan Islam itu dapat
terwujud.
REFERENSI
[1] Isma’il Raji al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Pustaka, Bandung, 1995
[2] Fathi Yakan, Globalisasi Telaah dan Peran Islam Terhadap Tatanan Dunia Baru. Pustaka Progresif, Surabaya, 1993
[3] Nabil bin Abdurrahman al Muhaisy, Virus Fikrah: Melemahkan Ketahanan Ummat”,
WALA Press, Jakarta, 1994.. Untuk tulisan yang khusus membahas tentang
Ghazwul fikri ini lengkap dengan target, penguasaan dll lihat Dr Abdul
Shabur Marzuq, Ghazwul Fikri Invasi Pemikiran,
[4] Prof. Abdul Rahman H Habanakah, Metode Merusak Akhlak dari Barat, GIP 1995
[5] Dalam buku R Garaudy. “Zionis Sebuah Gerakan Agama dan Politik,
GIP, Jakarta, 1995 dibahas dengan tuntas sepak terjang Yahudi.. Buku
lain yang juga mengungkap Zionis selain endnote 3 adalah Ghazi Bin
Muhammad Al Qarni, Menyingkap Konspirasi Kejahatan Yahudi. CIP,
1997. Buku ini mengungkap Yahudi dan zionis lebih banyak mengacu pada
tabiat utamanya yang ada di Al Quran dan Injil. Juga mengungkap tentang
Zionist Sages Protocols, kitab undang-undang Yahudi. Endnote 1 juga
membahas zionis (hal 31-42)
[6] Nabil, op. cit.
[7] Di buku virus fikrah dikutipkan pula perkataan samuel Zuwaimer
ketua konferensi kristenisasi di Yerussalem tentang hal ini. (hal 24)
[8] M Natsir, Capita Selecta, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
[9] Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam. Mizan, Bandung, 1989
[10] Dalam buku prosiding simposium Islamisasi Sains (diselenggarakan
di Indonesia … LUPA) terdapat sebuah makalah yang didalamnya ada bab
khusus mengenai imperialisme epistemologi
[11] Hasan al Banna menulis artikel khusus “Tirani Materialisme di Negara-negara Muslim”. Dalam rangkaian buku Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan, Intermedia, Solo, 1998
[12] Buku terbaru Suharsono et al, Pola Transformasi Islam: Refleksi atas Sistematika Nuzulnya Wahyu, Inisiasi Press, 1999
[13] Beliau menuliskannya dalam Abdullah Azzam, Pelita yang Hilang,
Pustaka Al Alaq, Solo, 1993. Diceritakan keruntuhan Khilafah Islamiyah
dan banyak mengangkat Perjalanan hidup dan siap sebenarnya Mustafa Kemal
sampai dengan kematiannya.
[14] Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan 2, Intermedia, Solo,
1998 diceritakan tentang Ikhwanul Muslimin diawal berdirinya dengan
pengungkapan tujuan, cara dan sikapnya terhadap apa yang terjadi pada
umat.
[15] Dalam Fathi Yakan op. cit. juga dituliskan tentang dimana posisi umat Islam dalam tatanan dunia baru.
[16] Pervez Hoodbhoy, Sains dan Islam: Usaha Memenangkan Rasionalitas, ,
1973. Beliau memasukkan banyak data-data tahun 1983 tentang kondisi
intelektualitas Negara Muslim dan dibandingkan dengan seluruh dunia
[17] Lihat Ismail Raji al Faruqi op.cit. ditambahkan sebuah permasalahan lagi, yakni tidak adanya ketajaman wawasan (vision). “Itulah
sebabnya selama hampir 2 abad dengan sistem pendidikan sekular barat,
kaum Muslimin tidak menghasilkan sesuatu pun juga yang sebanding
kreativitas atau kehebatan barat”.
[18] David Commins, “Hasan al Banna”, dalam Ali Rahnema ed., Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1996
[19] Hasan Al Banna op. cit. hal 311. Selain buku tersebut sebenarnya
sangat banyak buku yang membicarakan Ikhwanul Muslimin, baik yang
memuji maupun mencela.
[20] John L Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas, Mizan, Bandung 1994 menuliskan dampak pemikiran Maududi pada gerakan Islam di dunia Arab, Afghanistan, Iran dan Malaysia.
[21] Ibid (lagi) hal 115. buku lain yang menceritakan tentang sepakterjang al Maududi dan Jama’ati Islami adalah “Upaya Al Maududi Memurnikan Ajaran Islam” (LUPA)
[22] Buku tentang Al Maududi lain yang membicarakan tentang negara
adalah (kalo’ tidak salah judul) Islam dan Negara Pemikiran al Maududi,
GIP 1995/6
[23] Dalam Ali Rahnema op. cit. juga dibahas nama Khomeini. Dan dalam
buku-buku terbitan Mizan juga cukup banyak tentang Khomeini, Iran dan
Syi’ah.
[24] Ali Rahnema op. cit.. dan HAMKA, Said Jamaluddin al Afghani, Bulan Bintang, Jakarta, 1981
[25] Ibid., hal 53
[26] Ibid., hal 59
[27] Ahmad Izzudin, Hamas dan Intifhadhah, GIP, Jakarta, 1993
[28] Ziauddin Sardar mengambil kutipan ini dari ‘Reconstructing the Muslim Civilization’,
Afkar Inquiry 1984. dalam Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual, Risalah
Gusti, Surabaya, 1998. Sardar juga menggambarkan peradaban Muslim dengan
skema berbentuk bunga, meliputi 7 bidang dalam pusat bunga, lingkaran
konsentris dan daun primer
[29] Dr. Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994
[30] Pemikiran Islamisasi pengetahuan Raji al Faruqi dapat ditelaah
Ismail Raji al Faruqi juga makalahnya dalam Internasional Conference of
Islamic Thougt and Islamizations of Knowledge.
[31]Thaha Jabir al ‘Alwani, Krisis Pemikiran Modern: Diagnosisi dan Resep Pengobatan,. LKPSI, Jakarta, 1989
[32] Pervez hoodbhoy, op. cit., menunjukkan bagaimana negara-negara
Muslim masih sangat tergantung pada negara barat dalam pemenuhan
kebutuhan pokok.
[33] Dr. Ali Syari’ati, op. cit.
[34] Fathi Yakan, op. cit., juga dibahas tentang gerakan elit dan beberapa kelemahannya.
[35] Ilustrasi gambar dari berbagai sumber (Inet)