Mungkinkah Gratifikasi Seks?


Bukan sebuah hal yang baru tetapi sangat membingungkan jika tindakan ini benar-benar di bawa ke dalam proses hukum. Gratifikasi seks yang terkuak di Singapura, si pelaku mantan pejabat pertahanan sipil Singapura (SCDF), Peter Lim menerima gratifikasi seks dari 3 (tiga) wanita sebagai imbalan jasa diloloskannya kontrak proyek teknologi informasi rupanya bisa diproses secara hukum sebagai tindakan korupsi. Mungkinkah ini terjadi di Indonesia?

Berbagai prediksi pun mengemuka terhadap kemungkinan gratifikasi seks terjadi di dua bidang, politik dan hukum. Pengalaman berharga pernah terjadi dalam jajaran penegak hukum yakni hakim ketika mantan hakim PN Yogyakarta, DD meminta wanita penari telanjang sebagai imbalan pada pihak yang sedang berperkara (Andi Saputra/www.newsdetik.com, 7 Juni 2012). Artinya bentuk tindakan ini dimungkinkan terjadi di Indonesia tidak hanya di Singapura.

Melihat dasar dari tindakan ini merupakan tindakan asusila yang dilarang oleh hukum pidana sebenarnya tindakan meminta pelayanan jasa seksual termasuk dalam tindakan asusila yang dilarang KUHP. Permasalahannya, ketika layanan seksual ini diminta oleh pihak yang memiliki jabatan dan diberikan oleh pihak lain dengan tujuan pejabat menggunakan kewenangannya untuk mengabulkan keinginan pihak tersebut sudah termasuk dalam tindakan gratifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lalu dimungkinkankah, gratifikasi seks dipahami sebagai tindak pidana sebagaimana berlaku di Singapura? Berdasarkan ketentuan hukum pidana yang berlaku saat ini tidaklah mungkin. Mengingat konsiderans Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggunakan pendekatan ekonomi pada masalah dirugikannya negara akibat tindakan korupsi maka kemungkinan dimasukkannya layanan seksual sebagai ”produk” gratifikasi sangat susah. Lain halnya jika penafsiran terhadap obyek gratifikasi meluas menjadi ”barang yang bernilai ekonomis” sehingga menggerakkan pejabat untuk melakukan tindak pidana. Pemahaman obyek gratifikasi tidak sebatas uang karena memang didalamnya terkandung nilai ekonomis tetapi obyek yang dinilai ekonomis.

Teringat akan pertimbangan putusan seorang hakim pengadilan tinggi Medan, Bismar Siregar saat memutus perkara pidana pencabulan seorang guru yang mencabuli anak didiknya. Hal yang sangat berani dilakukan oleh Bismar ketika ia menilai tindakan tersebut bukan hanya tindak pidana percabulan tetapi tindak pidana penipuan (pasal 378 KUHP) dengan mendasarkan pemahaman ”barang” menurut budaya Tapanuli sebagai bonda yang termasuk di dalamnya ”jasa” seksual. Sebuah pertimbangan yang dapat dikategorikan terobosan hukum walaupun pemahaman hukum terhadap layanan seksual tidak termasuk dalam pemahaman jasa seperti dimaksudkan dalam pasal 378 KUHP.

Kembali kepada masalah gratifikasi seks, pemahaman pada tataran postivisme hukum memang tidak ada jalan keluar bagi pemidanaan tindakan tersebut. Andaikata dikenakan ketentuan hukum pidana maka akan dikenakan ketentuan hukum pidana terkait penyediaan layanan seksual (germo) seperti diatur dalam pasal 296 KUHP atau overspel bila pasangan yang melakukan aktivitas seksual masih terikat perkawinan dengan orang lain secara sah (pasal 284 KUHP). Kelemahannya tindakan gratifikasi sebagai inti dari maksud pelaku justru tidak terbukti.

Sebagai bagian dari penegakan hukum, hakim mendapatkan sebuah tantangan dalam memberikan penafsiran hukum yang tepat apabila perkara semacam ini diajukan. Hakim memiliki kemandirian memiliki fungsi menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUDN 1945 sehingga dimungkinkan melakukan terobosan hukum. Hanya saja kemungkinan munculnya kasus gratifikasi seks sampai ke proses pengadilan sangat kecil mengingat paradigma aparat penegak hukum masih terbelenggu positivisme hukum dan sulitnya proses pembuktian terhadap perkara gratifikasi seks. Sebenarnya sulitnya pembuktian tidak dapat dijadikan dasar argumentasi yang tepat untuk menolak tindak pidana ini. Justru cara pandang kita dalam menilai pemberian layanan seks inilah yang menguntungkan penerima gratifikasi walaupun tidak dapat dinilai secara ekonomis tetapi tetap memberikan keuntungan pada penerima dan kerugian pada negara.

Tentang penulis:
Hwian Christianto SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Kontak person: 085 631 73015. Email: hwall4jc@yahoo.co.id
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faqih Muhammad - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger