Dominasi Pragmatisme dalam Dunia Kerja

Potret Dunia Kerja: Pragmatisme


Bila diperhatikan, sebagian nilai dan praksis agama masih ditemukan dalam dunia kerja. Di perusahaan-perusahaan yang relatif besar, masih ada ruangan untuk sembahyang; masih ada mushola. Menejemen perusahaan masih mengijinkan ruangan dipakai untuk acara kebaktian. Ada anggaran untuk membiayai kegiatan agama. Masih ada tunjangan Hari Raya Keagamaan. Namun, fakta-fakta ini bukanlah menunjukkan bahwa nilai-nilai agama dominan dalam dunia kerja. Sikap ini hanya merupakan bentuk kompromi dan toleransi terhadap agama. Yang dominan adalah falsafah pragmatis. 

dollar
Pragmatisme adalah satu pikiran yang menghubungkan teori dan praktek; falsafah yang menekankan makna tindakan manusia dalam dunia pengetahuan dan pengalaman hidup sehari-hari. Dalam perkembangannya, kebenaran akan disebut kebenaran bila itu dapat dibuktikan. Kebenaran bukan lagi sesuatu yang mutlak, tetapi yang relatif. Kebenaran bergantung pada ruang dan waktu. Berbeda dengan pengikut agama yang menganggap bahwa kebenaran adalah mutlak, kaum pragmatis tidak melihatnya demikian. Kalaupun ada yang disebut kebenaran, yang menjadi ukuran adalah keuntungan. Bila keyakinan memberikan faedah kepada pengikutnya, keyakinan itu akan disebut kebenaran. Bila tidak, keyakinan itu bukanlah kebenaran. 

Menyedihkan, tapi itulah realita dunia kerja di republik ini, yang hampir semua penduduknya percaya kepada Tuhan yang Maha Esa. Rajin sembahyang, membaca Kitab Suci, berdoa, berpuasa, dan melakukan berbagai ritual agama lainnya hanya tindakan figuran untuk memuaskan tuntutan sosial sebagai orang yang beragama. Etika-etika universal tergusur. Apa yang disebut kejujuran, menghargai milik orang lain, dan mengatakan yang benar semakin tersisih. Etika-etika tidak perlu sepanjang keuntungan didapat. 

Dunia kerja seperti ini membuat manusia bekerja hanya untuk mengejar keuntungan. Menipu, mengambil milik orang lain, berbohong atau 'memberikan' wanita bukan lagi tindakan yang salah. Yang paling penting adalah bagaimana mendapat keuntungan. Hasil diutamakan, bukan proses. Demikianlah anjuran falsafah pragmatis ini. 

Ini tidak lepas dari pengaruh tokoh-tokoh Pragmatisme seperti Peirce, William James dan Dewey. Mereka berusaha memisahkan manusia dari Tuhan yang Maha Esa. Mereka menggusur nilai-nilai agama dan berusaha agar relasi manusia dan Tuhan terputus dalam dunia kerja. Akibatnya, muncul konflik; yang pro dan kontra nilai-nilai agama saling 'menyikut' dan yang menyedihkan, pengikut falsafah Peirce, James dan Dewey ini sering berhasil dan menduduki jabatan-jabatan strategis di kantor. Yang memegang nilai-nilai agama pun semakin tersudut. Dengan membludaknya pendukung falsafah 'yang-penting- untung' di lingkaran pemegang saham- ini membuat Pragmatisme semakin merajalela dalam dunia kerja. 

Bagaimana nasib dunia kerja di masa-masa mendatang bila falsafah yang menekankan keuntungan ini terus bercokol? Mungkinkah dunia kerja akan lebih baik? Mungkinkah Indonesia Raya tercapai? Yang jelas Pragmatisme berbenturan dengan sila pertama. Falsafah ini menolak eksistensi Tuhan. Para pendiri republik ini membentengi negeri ini dengan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Mereka yakin bahwa hanya dengan menjunjung dan menerapkan nilai-nilai Pancasila, visi Indonesia Raya- negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur- bisa terwujud.
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faqih Muhammad - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger