Demokrasi Liberal dan Kapitalisme jadi Biang Keladi Korupsi

Dari berbagai kasus yang terkuak, tak disangka pihak yang terlibat korupsi kian hari semakin luas dan beragam. Mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dari aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, atau hakim hingga pejabat dari tingkat menteri hingga kepala daerah. Bahkan, tahun 2013 diprediksi oleh peneliti korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Apung Widadi, sebagai tahun yang akan ‘dimeriahkan’ oleh kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik. Sebab, tahun ini sudah masuk tahapan Pemilu Tahun 2014.

Syamsuddin Haris, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di sela-sela diskusi “Budaya Politik dan Kelas Menengah” di Cikini, Jakarta, beberapa waktu lalu mengatakan bahwa parpol bukan lagi sebagai pilar demokrasi, tetapi pilar korupsi.

Mahalnya pembiayaan proses politik yang dikarenakan fenomena amerikanisasi metode kampanye, yang membuat parpol menggunakan iklan media massa secara massif dan jasa profesional dalam menangani kegiatan politiknya, tentu harus ditopang oleh sumber pendanaan yang besar. Bisa berasal dari harta pribadi atau kas parpol. Namun sayangnya, tidak semua parpol memiliki sumber pendanaan yang jelas sehingga terjadi siklus money making power, power making money; yang melibatkan campur tangan dan pemilik modal dalam membiayai kegiatan politik.

Dengan proses itulah, kekuasaan didapat. Lalu, kekuasaan tersebut dipakai untuk mengembalikan modal dan memberikan keuntungan kepada pemodal, juga memupuk modal untuk mempertahankan kekuasaan pada proses politik berikutnya. Dan korupsi adalah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mewujudkan tiga tujuan tersebut dalam waktu yang relatif singkat.

Korupsi terjadi dengan berbagai bentuk dan modus, bisa melalui cara konvensional, yakni korupsi APBN seperti mark-up, fee proyek dan pengambilan dana proyek, atau melalui “perdagangan” kebijakan; di kabinet atau parlemen, yang bisa menghasilkan dana politik jauh lebih besar tapi sulit terdeteksi. Bahkan, anggaran dan kebijakan sengaja didesain agar memunculkan peluang korupsi.
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Abdullah Dahlan, peneliti bidang politik ICW, “Kementerian dan lembaga mulai mendesain program yang populis sesuai dengan kepentingan partai politik. Selain itu, partai politik mulai menginstruksikan para kadernya untuk mengumpulkan dana modal politik. Disinyalir, proyek-proyek besar dan siluman seperti proyek BLBI, Century, atau Hambalang akan bermunculan kemudian dijadikan sebagai pendanaan politik."

Cara-cara korupsi semacam itu, diperparah lagi dengan payahnya pemberantasan korupsi, karena penegakkan hukum yang terkesan tebang pilih. Asas pembuktian terbalik yang terbukti efektif dan telah berhasil diselenggarakan di beberapa negara, seperti Inggris, Malaysia, dan Singapura justru dijauhi. Dalam pemberantasannya, hanya bertumpu pada penggunaan bukti materiil padahal Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menemukan 35 modus penyamaran transaksi tindak pidana korupsi dan pencucian uang oleh anggota DPR.

Pun ketika akhirnya koruptor diadili, vonis yang diberikan sangat rendah, tidak memberikan efek jera, dan tidak pula bersifat preventif terhadap ‘calon’ pelaku lainnya. Harta hasil korupsi pun terbilang masih aman karena ketiadaan proses “pemiskinan” terhadap koruptor. Semua hal itu mengerucut pada satu kesimpulan, bahwa masalah korupsi bukan sekadar masalah personal; karena personal, dalam hal ini dikondisikan oleh sistem dan ideologi, yakni demokrasi dan kapitalisme.
Berbeda halnya dengan ideologi Islam dan sistem pemerintahan yang bernama Khilafah yang pernah diterapkan selama 13 abad lamanya, memiliki ciri khas dan keunggulan dalam menekan angka korupsi, seperti:
Pertama, motif kepemimpinan bukan didasari atas harta atau kekuasaan, namun sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap Allah SWT.

Kedua, APBN tidak dibuat setiap tahun dan bisa dirancang sendiri oleh Khalifah (pemimpin negara), sebab notabene pos pendapatan dan pengeluarannya telah ditetapkan oleh syariah. Majelis Umat dalam hal ini hanya memberikan masukan yang tidak mengikat Khalifah. Hal ini akan meniadakan tindakan mafia anggaran dan makelar proyek.

Ketiga, pembuatan UU dan kebijakan hanya berpatokan pada Al-Quran dan As-Sunnah, bukan pada kekuasaan legislasi yang bisa dipermainkan sesuai kepentingan kapitalis, bahkan asing. Politisi maupun anggota Majelis Umat tidak turut menentukan hal tersebut dan hanya fokus pada fungsi kontrol dan koreksi.

Keempat, biaya politik minimalis. Kepala daerah tidak dipilih oleh penduduk daerah setempat, namun ditunjuk oleh Khalifah sehingga meminimalisir munculnya intervensi pemilik modal dalam membiayai proses politik. Selain itu, keberlangsungan pemimpin daerah juga ditentukan oleh keridaan masyarakat. Jika mereka tak menerimanya atau meminta diganti, maka Khalifah harus mengganti kepala daerah itu.

Kelima, batasan yang simpel dan jelas mengenai harta ghulul (harta yang diperoleh secara ilegal), yakni harta apa saja yang diperoleh selain dari pendapatan yang telah ditentukan.

Keenam, pertambahan harta yang tak wajar cukup dibuktikan dengan asas pembuktian terbalik. Jika tak dapat mempertanggungjawabkan asal-muasalnya, maka termasuk harta ghulul. Hal ini mudah diketahui melalui pencatatan kekayaan aparat, pejabat dan penguasa seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. Harta yang terbukti merupakan hasil korupsi, setengahnya diambil oleh negara dan dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal (Al-Hafizh as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, hal 132). Inilah yang dinamakan dengan proses pemiskinan koruptor.

Ketujuh, penegakan hukum yang tegas sehingga bersifat kuratif bagi pelaku; menimbulkan efek jera dan menebus dosa, serta preventif bagi yang lainnya. Korupsi termasuk sanksi ta’zir yang bentuk dan kadar sanksinya diserahkan pada ijtihad Khalifah atau qadi, menurut syariah. Bentuknya bisa berupa penyitaan harta, pengeksposan, penjara sangat lama, dicambuk, hingga hukuman mati (Mushannaf Ibn Aby Syaibah, V/528).

Bisa dikatakan hanya sebatas mimpi jika kita mengharapkan negeri bebas korupsi pada sistem demokrasi dan ideologi kapitalisme yang telah jelas identitasnya sebagai biang keladi korupsi itu sendiri. Jika ideologi Islam dan sistem Khilafah mampu memberantas korupsi dari akarnya, mengapa tidak kita beralih, demi masa depan negeri yang lebih baik?

Penulis : Kamila Aziza Rabiula,*Staf Kajian Strategis Kementerian Luar Negeri BEM Fkep Unpad

Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Faqih Muhammad - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger