Formulasi pendidikan karakter (upaya merekonstruksi pendidikan Indonesia)
“Semakin
jelas apa yang tengah merusak tatanan pendidikan di Indonesia, yaitu
arus kapitalisme yang dimotori oleh amerika dan dunia barat. Sering kita
beranggapan bahwa istilah liberlisme hanya ada dalam ilmu ekonomi.
Namun tampaknya laju pendidikan Indonesia akhir-akhir ini telah mengarah
pada suatu paradigma baru yang kita kenal sebagai liberalisme, yang
diakui merusak moral bangsa. Sebagian besar oramg berpendapat bahwa
pendidikan karakter mempunyai peran yang urgent dalam membenahi moral
bangsa kita yang semakin tak jelas arah tujuannya.”
Belakangan
ini, sekolah yang dulunya sabagai sarana sosial untuk memanusiakan
manusia kini elah beralih menjadi ladang bisnis untuk memperoleh
keuntungan sebanyak-banyaknhya. Mahalnya biaya pendidikan dan banyaknya
pungutan liar seakan tak menampik adanya pengalihan fungsi sekolah
sebagai sarana perdaganga. Belum lagi bermacam problematika pendidikan
yang kian akrab menjadi teman bergurau kita.
Beberapa saat yang lalu, masyarakat dibuat gembira dengan adanya
isu-isu tentang sekolah gratis. Namun sepertinya masysrakat dibuat bodoh
dengan kebijakan tersebut. Karena prakteknya dilapangan, tidak ada satu
sekolah pun yang benar-benar mematuhi kebijakan pemerintah tersebut.
Adanya progam sekolah gratis ternyata bukan solusi pasti kemelut
pendidikan di Indonesia.
Namun
begitulah wajah pendidikan Indonesia akhir-akhir ini yang telah
diwarnai dengan pengaruh liberalisme. Karena ulah kapitalisme yang telah
merebak di indonesia, ribuan anak tak dapat menikmati bangku sekolah,
mereka terpaksa merintih kesakitan menahan hawa panas negeri ini.
Mereka sendiri, menangis, tertawa melihat para aktor dalam negeri. Lalu
dimana pemerintah Indonesia yang harusnya melindungi hak-hak mereka?
Ketika
pemerintah tak mampu memenuhi hak dasar warga negara, berarti dapat
dikatakan bahwa negara telah gagal (falled state). Adanya standar
kelulusan UN dapat dijadikan bukti bahwa pemerintah telah gagal dalam
menjalankan amanat undang-andang. Tidak hanya itu, munculnya Sistem
Kredit Semester (SKS) juga menjadi bukti kegagalan dalam menjalankan
cita-cita luhur Indonesia dalam upaya mencerdaskan bangsa. SKS
merupakan suatu praktisi cita-cita kapitalist yang ditampakkan pada
sektor pendidikan. Pendidikan dibatasi dengan nilai raport sehingga
berdaya jual tinggi. Kecerdasan bangsa dipasung dengan kurikulum desain
yang berorientasi industrial bukan pada prinsip pendidikan humanistis
dan cita-cita pendidikan sebagaimana termaktub dalam undang-undang.
Semua itu merupakan fakta yang tak terelakan akan pengaruh kapitalisme
di Indonesia. Kapitalisme yang awalnya dimotori oleh bangsa-bangsa barat
kini menjadi trendsetter di Indonesia. Ketika sesuatu telah dipengaruhi
oleh kapitalis, maka hanya hasil yang didepankan. Lembaga pendidikanpun
dijadikan sebagai tempat jual-beli. Sebagai bangsa plagiat, masyarakat
Indonesia memang lebih suka meniru apapun yang berasal dari barat,
termasuk dalam pendidikan. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir,
yang jelas pendidikan kita saat ini berada di ujung tanduk, bahkan hal
ini terjadi disaat kondisi bangsa ini sedang carut-marut.
Lalu adakah solusi terbaik yang dapat menyelamatkan pendidikan di Indonesia?
Berangkat
dari hal diatas, maka perlu adanya suatu formulasi baru yang mampu
merekonstruksi, mengakomodir dan manata moral peserta didik. Sempat
berhembus angin surga, ketika menteri pendidikan mengangkat tema besar
pada acara hari pendidikan nasional (hardiknas) tahun 2010 “pendidikan
karakter untuk membangun keberadaban bangsa”. Karena pendidikan karakter
dianggap mampu untuk menuntaskan persoalan bangsa yang saat ini sedang
dilanda krisis, baik krisis moneter, krisis kepercayaan maupun krisis
moral.
Dunia
pendidikan di harapkan menjadi motor penggerak yang dapat menfasilitasi
perkembangan karakter Seperti tujuan pendidikan yang telah ditetapkan
dalam UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 3 yaitu: “mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga Negara yang domokratis serta bertanggung jawab.”
Pendidikan
karakter yang dicanangkan diharapkan mampu memberikan kontribusi besar
bagi bangsa ini. Dengan adanya pendidikan karakter diharapkan mampu
memperbaiki kondisi bangsa yang saat ini mengalami degradasi moral.
Namun ketika fakta berkata lain, muncul sebuah pertanyaan, bagaimana
peran pendidikan karakter yang katanya mampu merekonstruksi akhlak
peserta didik sehingga mampu merekonstruklsi pendidikan di Indonesia
yang saat ini bercorak kapitalis industrialis?
Sementara
ini, pandidkan karakter dianggap sudah bisa dalam mengakomodir serta
manata moral peserta didik. Pendidikan karakter sejak dini mampu
menciptakan karakter peserta didik dan memudahkan bagi kita untuk
membentuk kafrakter-karakter positif (akhlakul karimah). Sehingga
membentuk watak dan keberadaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan bangsa.
Dengan
demikian perlu adanya terobosan yang mampu mengembangkan sayap
pendididkan karakter sebagai formulasi terbaru yang mampu membentuk
akhlakul karimah. Sehingga terbentuk tunas bangsa yang berakhlak mulia,
cerdas, kreatif, inovatif, cakap, demokratis, serta bertanggung jawab
guna terbentuknya generasi muda yang mampu membawa indonesia kearah yang
lebih bermartabat dan bertaqwa.